Bertempat di Rumah Gerakan Gemawan, kawasan Ujung Pandang, Pontianak, Gemawan kembali menggelar diskusi Bincang untuk Masyarakat Indonesia (BUMI). Forum BUMI, ujar Hermawansyah, akan selalu menghadirkan para stakeholder agar bisa saling berbagi gagasan mereka. Tema yang diusung kali ini mengenai multikulturalisme, dengan menghadirkan 3 orang narasumber, yakni H. Hildi Hamid, M. Riza Fahmi, serta Laili Khairnur.
“Ruang ini menjadi tempat sharing pengetahuan serta berbagi gagasan-gagasan perubahan untuk Kalimantan Barat, itulah yang kira-kira yang ingin diwakafkan Gemawan untuk Kalimantan Barat,” ujar Hermawansyah, Dewan Pengurus Gemawan, dalam sambutannya pada Halal Bihalal dan Diskusi BUMI.
Dalam kegiatan yang berlangsung pada Rabu (25/5), Hermawansyah menyebutkan Azerbaijan terkenal dengan toleransinya, sehingga kehadiran para narasumber ini sangat tepat untuk menggali khazanah pengalaman mereka di negeri yang bergelar The Land of Tolerance itu.
Multikulturalisme merupakan fenomena dunia modern yang muncul di awal tahun 1960-an. Multikulturalisme – sebagai sebuah model alternatif dalam membangun negara dan mengelola kemajemukan masyarakat – menekankan pentingnya memelihara pluralisme budaya dan mempertahankan warisan budaya, termasuk agama. Dalam perkembangannya, sejarah multikulturalisme bukan lagi hanya sebatas toleransi, tetapi meningkat pada dimensi keadilan sosial seluruh masyarakat tanpa mempedulikan latar belakang ras, budaya, etnis, dan agama.
Baca juga: Festival Komik 2022: Merajut Mimpi Lewat Cerita Komik Kampung Beting
“Saat ini di Azerbaijan toleransi yang kita lihat banyak terlihat di sesama umat Islam, di antara Syiah dan Sunni. Jadi di sana Masjid Sunni dan Syiah mempersilahkan keduanya untuk tetap beribadah di mesjid tanpa melihat mesjid tersebut beraliran apa,” ucap H. Hildi Hamid mengawali materinya.
Pria yang pernah menjabat Bupati Kayong Utara selama dua periode ini sekarang menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Azerbaijan. “Azerbaijan negara yang aman dan ramah, termasuk keamanan terhadap perempuan,” terangnya kepada para peserta yang berasal dari berbagai organisasi. Ia mencontohkan, bahkan ketika perempuan pulang malam menggunakan taksi, perempuan tersebut tetap akan merasa sangat aman tanpa ada gangguan.
“Toleransi kuat terjadi di Azerbaijan bisa jadi dikarenakan mereka sudah capek dijajah selama 30 tahun,” jawabnya ketika ditanya mengenai faktor penyebab baiknya keamanan di Azerbaijan.
Multikulturalisme: Berangkat dari Kegelisahan
M. Riza Fahmi, narasumber kedua, menjelaskan mengenai penelitian yang dilakukannya di Azerbaijan selama 3 bulan. “Penelitian ini merupakan sebuah kegelisahan saya sebagai seorang muslim yang tinggal di negara dominan muslim, tapi kita masih kalah dengan perkembangan rata-rata dunia, secara demokrasi masih lemah, miskin, dan rentan konflik,” papar akademisi IAIN Pontianak yang kini sedang menyelesaikan doktoral di UIN Sunan Gunung Djati.
Pada kegiatan yang dipandu Ridho Faizinda, Deputi Direktur Gemawan, ia juga menjelaskan bahwa program multikulturalisme Azerbaijan menjadi agenda besar mengenalkan kepada negara Eropa dan Asia Tengah bahwa Azerbaijan adalah negara yang paling toleran. Terdapat dua faktor utama, menurut Riza, yang menyebabkan multikulturalisme berkembang baik di Azerbaijan, yakni keramahan masyarakat di sana menyikapi perbedaan dan faktor terbiasanya mereka dengan perbedaan. Azerbaijan merupakan persimpangan budaya negara Eropa dan Asia, sehingga menyebabkan mudahnya transfer budaya dan migrasi manusia dari berbagai latar belakang.
“Saya meyakini kenapa Azerbaijan menjadi salah satu negara yang toleran adalah karena mereka meyakini pengetahuan lokal dan aksi lokal yang mereka miliki dalam membangun identitas diri,” ujar Laili Khairnur, Direktur Gemawan pada diskusi yang dimulai sekitar pukul 13.30 WIB.
Baca juga: Launching Rumah Gerakan Gemawan: Tempat Diskusi Komunitas di Kalimantan Barat
Aktivis perempuan ini berpandangan kebanggaan terhadap identitas lokal itu menyebabkan Azerbaijan mampu menghadapi tantangan di dalam negeri mereka.
Menanggapi tentang multikulturalisme, Laili menyatakan bahwa multikulturalisme terjadi karena berbesar hati menerima perbedaan. “Saya juga meyakini perempuan memiliki peran pada perdamaian dan multikulturalisme dalam sejarah peradaban,” tegasnya.
Sekilas Multikulturalisme Azerbaijan
Banyak komunitas dengan beragam kebudayaan mendiami kawasan yang kini dipimpin oleh Ilham Aliyev, seperti Azeri atau Azerbaijan, Lezgian, Armenia, Russia, Avar, Turki, Ukraina, Georgia, Yahudi, Kurdi, dan lainnya. Etnis mayoritas adalah Azeri Turki sebanyak 90,6%, etnik Dagesti 2,2%, etnik Rusia 1,8%, dan etnis lain 3,9%. Kebutuhan ekonomi Azerbaijan disokong dari sektor minyak dan gas alam. Kualitas minyak Azerbaijan diakui dunia sebagai yang terbaik.
Azerbaijan dikenal sebagai Negara Api karena memiliki api abadi yang disebut penduduk setempat dengan Yanar Dag. Berdasarkan sensus 2014, 99,2% dari total 9.494.600 jiwa penduduk di Negeri Api ini beragama Islam. 85% populasi beragama Islam itu merupakan penganut Muslim Syiah, menjadikan Azerbaijan sebagai negara dengan populasi Muslim Syiah terbesar kedua setelah Iran. Agama lain yang dianut di Azerbaijan adalah Kristen, Yahudi dan aliran kepercayaan, seperti Zoroastrianisme. Seluruh etnis dan agama yang beragam itu hidup saling berdampingan.
Meskipun mayoritas beragama Islam, Azerbaijan adalah negara sekuler yang berhasil membangun relasi kuat di antara semua komunitas agama dan keyakinan. Ketika Indonesia dan berbagai belahan dunia mengalami masalah intoleransi dan konflik agama, etnis, dan ras, Azerbaijan justru menunjukan bahwa semua warganya bisa hidup berdampingan dengan tenang dan aman di tengah banyaknya perbedaan.
Karena itulah negara ini mendapat julukan sebagai tanah toleransi (The Land of Tolerance), wadah sebuah komunitas masyarakat yang di dalamnya setiap orang saling menghargai dan menghormati sesama manusia tanpa melihat identitas primordial mereka. Penghargaan dan penghormatan itu berada di bawah payung multikulturalisme, yang menjamin keadilan bagi setiap warganya.