DANGKAN KOTA: Program Manajer TFCA Kalimantan di Kabupaten Kapuas Hulu dari lembaga Gemawan, Deni Patriatna (kanan) di sosialisasi Perlindungan Wilayah Perkebunan Karet Tradisional di Balai Desa Dangkan Kota, Silat Hulu, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalbar, pertengahan 2014. Foto: GEMAWAN.
Kapuas Hulu, GEMAWAN.
Progam (Tropical Forest Conservation Act) TFCA Kalimantan bersama lembaga Gemawan, menyasar “Perlindungan Wilayah Perkebunan Karet Tradisional Rakyat di Kabupaten Kapuas Hulu”, Provinsi Kalbar. Tepatnya penguatan petani karet di desa Nanga Ngeri, Lebak Najah, dan Dangkan Kota kecamatan Silat Hulu.
TFCA Kalimantan merupakan program kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat sebagai pengalihan hutang untuk kegiatan konservasi hutan, khususnya di Kalimantan.
Penggiat Gemawan, Deni Patriatna menerangkan cobaan dalam penguatan karet di pedalaman kabupaten ujung timur Provinsi Kalbar ini, buruknya infrastruktur jalan menuju ke desa Nanga Ngeri dan desa Lebak Najah. Terutama pada saat musim penghujan hal ini berkaitan dengan transportasi petani ke pedagang, pengepul, pasar karet.
“Keberadaan Lembaga Gemawan pada tiga desa di kecamatan Silat Hulu sedang dimonitoring oleh pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit, grup PT Sinar Mas yang telah masuk di Silat Hulu. Informasi ini diketahui warga, di antaranya Kades Nanga Ngeri, Ahmad Dait kala itu. Menurutnya sejak kedatangan tim Gemawan saat melakukan pertemuan kampung, April 2014. Saat itu pula pihak perushaan berusaha memasukan alat beratnya di kawasan antara desa Nanga Ngeri dan Dangkan Kota,” ungkap Deni, program manajer untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat di Kapuas Hulu.
Kemudian, lanjutnya, program ini akan bersinggungan dengan kepentingan dari pihak pengumpul kulat karet pada masing-masing desa. Pola pikir masyarakat petani karet yang masih tradisional dalam pengelolaan perkebunan dan cenderung belum ada semangat bertani.
Belum ada upaya yang dirasakan masyarakat dalam hal pemberdayaan dari pemerintah melalui Penyuluhan-penyuluhan pertanian di bidang perkebunan karet di kecamata Silat Hulu.
“Cobaan lainnya ada akifitas penambangan emas tanpa ijin (PETI) dilakukan masyarakat di areal sungai, hutan, dan kebun karet. Kondisi ini dikarenakan keputusasaan masyarakat tentang harga karet yang tidak mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya,” timpal Deni.
Hasil penelitian di lapangan bersama tim, papar Deni, masih adanya celah atau jarak atas pengetahuan petani atas kualitas produksi getah (latek), volume produksifitas, good agriculture practice (GAP; praktek pertanian yang baik).
“Dalam ancaman kebijakan adanya rencana alih fungsi lahan kelola masyarakat karena iklim investasi sedang bagus. Ditemukan juga kapasitas tenaga penyuluh lapangan atau saluran informasi yang lain dari Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu, khususnya dengan perkebunan karet rakyat, masih belum maksimal. Patut diduga karena konsen pemerintah daerah ke komoditas tanaman lain,” kupas Deni.
“Keterikatan dengan pengepul atau tengkulak dikarenakan keterbatasan modal dalam pemeliharaan. Petani karet biasa ambil barang sembilan bahan pokok (Sembako) hingga biaya produksi karet ke tengkulak, ketika panen barulah membayar. Harga karet juga dipengaruhi pengepul maupun tengkulak,” tambahnya.
Pengambil kebijakan di Pemerintah Desa (Pemdes) Desa Nanga Dangkan, menolak sosialisasi dan implementasi program karet rakyat, namun masyarakat desa yang masih cinta berkebun karet, dilibatkan di setiap kegiatan yang dilaksanakan di desa Dangkan Kota.
“Kita perlu merancang adanya modul pelatihan capacity building (pembangunan kapasitas, Red) yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, khususnya petani karet tradisional. Kita juga meminta ke Pemkab Kapuas Hulu untuk menempatkan tenaga penyuluh perkebunan yang aktif di kecamatan Silat Hulu,” pungkasnya. (Gemawan-Mud)