19-Kak Laili Khairnur berikan materi Ciptakan Desa yang Adil pada Perempuan di kantor SI

GERAKAN PEREMPUAN DESA: Direktur lembaga Gemawan, Laili Khairnur mengajak aparatur desa berikan kuota perempuan di BPD dan posisi strategisnya yang berhubungan dengan kebijakan perempuan di sampaikan di Kelas I Angkatan I Sekolah Desa di kompleks kantor Swandiri Institute (SI) Pontianak, Sabtu (19/12/2015). FOTO: MAHMUDI/GEMAWAN.

Pontianak, GEMAWAN.
Komposisi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diharapkan berkomposisi minimal 30 persen untuk kaum hawa atau perempuan. Demikian amanat undang-undang nomor 6 tahun 2014 (UU 6/2014) tentang Desa.

“Semangat pemberian kuota perempuan, sesuai pasal 58 UU Desa, menerangkan jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah gasal (ganjil, Red), paling sedikit lima orang dan paling banyak sembilan orang dengan memperhatikan wilayah, penduduk, kemampuan keuangan desa, dan perempuan,” ungkap Laili Khairnur, Direktur Lembaga Gemawan ketika mengajar di Kelas I Angkatan I Sekolah Desa Gemawan di kompleks kantor Swandiri Institute (SI) Pontianak, Sabtu (19/12/2015).

Penjelasan pasal 54 UU Desa, kata Laili Khairnur, dimaksud dengan unsur masyarakat adalah antara lain tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, perwakilan kelompok tani, kelompok nelayan, kelompok perajin, kelompok perempuan, dan kelompok masyarakat miskin.

“Peraturan Pemerintah (PP) 43/2014 tentang Pelaksanaan UU Desa, terkait BPD di pasal 72, menerangkan pengisian keanggotaan BPD dilaksanakan secara demokratis, melalui proses pemilihan secara langsung atau musyawarah perwakilan dengan menjamin keterwakilan perempuan,” tegas Laili.

Musyawarah Desa (Musdes), lanjutnya, pasal 80 terkait unsur masyarakat yang terlibat dalam Musdes di point h, sudah dijelaskan perwakilan kelompok perempuan. Kemudian pasal 127, terkait Bab Pemberdayaan Masyarakat dan Pendampingan Masyarakat Desa ayat 2 point d, menyusun perencanaan dan penganggaran yang berpihak kepada kepentingan warga miskin, warga disabilitas, perempuan, anak, dan kelompok marginal .

Pada bagian penjelasan, pasal 150 point g, peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas anak usia dini, kualitas kepemudaan, dan kualitas perempuan.

“Apa yang harus dilakukan? Menjadikan perempuan desa sebagai subyek, integrasi analisis gender dalam program yang dilakukan, baik oleh negara/desa maupun oleh para penggerak perubahan sosial,” papar Laili Khairnur.

Kemudian, tambahnya, memperkuat dan memanfaatkan pengetahuan lokal perempuan tentang pengelolaan ruang hidup perempuan dan masyarakat desa. Keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di berbagai level desa.

Memastikan agar hak dan kebutuhan perempuan desa dari berbagai kelompok sosial, dipenuhi melalui pengaturan desa, pembangunan desa dan kawasan perdesaan, serta kebijakan dan program pemerintah lainnya.

Mendorong pembentukan dan penguatan organisasi perempuan di tingkat basis sebagai laboratorium sosial mereka dalam proses demokrasi dan penguatan hak. Sinergisitas kelompok perempuan desa dengan kelompok masyarakat lainnya dalam upaya desa membangun.

“Membangun budaya yang mendorong relasi yang adil antara laki-laki dan perempuan di pembangunan pemerintahan desa,” saran Laili Khairnur.

Dikatakannya struktur yg menindas menyebabkan perempuan yang merupakan kelompok terbesar di masyarakat semakin mengalami keterpurukan. Ini sebab budaya dan struktur patriarkhi atau kaum laki berkuasa atas perempuan. Dominasi yang tidak bertanggungjawab mengakibatkan eksploitasi, penindasan, diskriminasi, dan kekerasan.

“Gender itu perbedaan sifat. Pelabelan dan peran sosial perempuan dan laki-laki yang diciptakan masyarakat, termasuk di dalamnya budaya,interpretasi agama, dan struktur politik yang mana perbedaan ini dapat dipelajari dan berubah berdasarkan waktu dan tempat. Perempuan dan laki-laki, subyek setara dalam upaya mendorong struktur pengelolaan sumber kehidupan yang lebih adil,” tutur Laili Khairnur.

Pelabelan gender, laki-laki, digambarkan kuat, rasional, tampan, kasar, maskulin, dan mengurusi perkara publik. Pelabelan gender perempuan, digambarkan lemah, emosional, cantik, halus atau lembut, feminin, dan mengurusi perkara domestik.

“Konsep kesetaraan gender, suatu kondisi perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama, guna mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan,” ungkap Laili Khairnur.

Dikatakannya kesetaraan gender memberi kesempatan, baik pada perempuan maupun laki-laki untuk secara setara, sama, sebanding menikmati hak-haknya sebagai manusia. Secara sosial mempunyai benda-benda, kesempatan, sumberdaya, dan menikmati manfaat dari hasil pembangunan.

“Keadilan gender, suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki. Suatu proses untuk menjadi fair (adil), baik pada perempuan maupun laki-laki,” ujar Laili Khairnur.

Guna memastikan adanya fair, tegasnya, harus tersedia suatu ukuran untuk mengompensasi kerugian secara sejarah maupun sosial yang mencegah perempuan dan laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan. Strategi keadilan gender pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan gender.

“Keadilan merupakan cara, kesetaraan adalah hasilnya,” tegas Laili Khairnur.

Dalam analisnya ada lima ketidakadilan gender. Pertama, subordinasi, maksudnya suatu keyakinan bahwa jenis kelamin satu lebih diutamakan dari pada jenis kelamin yang lainnya. Imbasnya, menimbulkan ketidaksetaraan, merasa menjadi nomor dua, tidak mendapat ruang berpendapat dan lainya.

Kedua, marginalisasi, adalah sikap perilaku masyarakat atau negara yang berakibat pada penyisihan bagi perempuan dan laki-laki. Marginalisasi lebih kepada peminggiran ekonomi. Marginalisasi juga didasarkan akibat perbedaan gender yang memberi batasan pada peran perempuan.

Ketiga, stereotype (pelabelan), penandaan yang acap kali bersifat negatif. Secara umum terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Stereotype menghasilkan ketidakadilan dan diskriminasi gender.

Keempat, peran ganda. Misalnya ketika seorang perempuan bekerja di wilayah publik, ketika balik ke rumah dia akan tetap melakukan peran domestik, seperti mencuci, memasak, mengurus anak, dan lain-lain. Sedangkan sang suami, ketika balik rumah langsung nyantai. Padahal kedua-duanya bekerja di luar demi ekonomi keluarga.
Kelima, kekerasan, baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin, keluarga, masyarakat, negara kepada jenis kelamin lainya.

“Mengutip sensus nasional penduduk, angka kemiskinan perempuan, penduduk perempuan berusia 10 tahun ke atas yang belum atau tidak pernah sekolah, jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki, yakni 11,56 persen berbanding 5,43 persen,” ucap Laili Khairnur.

Ia mengupas, penduduk perempuan buta huruf 12,28 persen perempuan dan laki-laki hanya 5,84 persen. Angka kematian ibu hamil dan melahirkan 307 per 100.000 kelahiran hidup. Prevalensi anemia (kekurangan darah) pada ibu hamil lebih dari 50 persen.

Tenaga kerja perempuan yang tidak pernah sekolah 53,5 persen, laki-laki 46,5 persen. Perempuan tamat sekolah dasar (SD) 32,8 persen, laki-laki 67,2 persen.

Perempuan bekerja 30,8 juta, laki-laki 59,9 juta. Padahal penduduk usia kerja perempuan mencapai 50,2 persen dari total penduduk usia kerja laki-laki yang berjumlah 152,6 juta orang. Angka itu lebih tinggi dari penduduk usia kerja laki-laki 49,8 persen.

“Apa yang diinginkan kaum perempuan? Pertama, akses. Diartikan kapasitas sumber daya perempuan boleh mengakses dan aktif di bidang sosial, ekonomi, dan politik,” ungkap Laili Khairnur.

Kedua, imbuhnya, kapasitas. Guna menggunakan sumberdaya untuk sepenuhnya berpartisipasi secara aktif dan produktif, baik secara sosial, ekonomi, dan politik, dalam masyarakat termasuk akses ke sumberdaya, pelayanan, tenaga kerja dan pekerjaan, serta informasi dan manfaat.

Contohnya memberi kesempatan yang sama bagi anak perempuan dan laki-laki, melanjutkan sekolah sesuai dengan minat dan kemampuannya dengan asumsi sumberdaya keluarga mencukupi.

“Perkebunan teh di Jawa Barat kenapa banyak pekerjanya perempuan? Karena upahnya lebih rendah dari kaum laki-laki. Jadi perusahaan perkebunan pilih buruh perempuan untuk efisiensi,” ucap Laili Khairnur.

Ketiga, partisipasi. Aiartikan sebagai “Who does what?” (Siapa melakukan apa?). Suami dan istri berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas penggunaan sumberdaya keluarga dan masyarakat secara demokratis. Bila perlu melibatkan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan.

Keempat, kontrol. Diartikan sebagai ”Who has what?” (Siapa punya apa?). Perempuan dan laki-laki mempunyai kontrol yang sama dalam penggunaan sumberdaya keluarga dan masayarakat. Suami dan istri dapat memiliki properti secara mandiri.

Kelima, manfaat. Semua aktivitas keluarga dan masyarakat harus mempunyai manfaat yang sama bagi seluruh anggota keluarga dan masyarakat.

“Kenapa kita harus bekerja bersama perempuan? Karena setiap orang punya sejarah dengan perempuan. Apakah dia seorang perempuan maupun karena setiap orang lahir dari rahim seorang perempuan. Belum selesai dengan persoalan internal, secara ekternal perempuan juga dihantam oleh apa yang namanya globalisasi,” ulas Laili Khairnur.

Dikatakannya pemain utama globalisasi di kelompok G-7 yang beranggotakan Amerikan Serikat, , Jepang, Jerman, Inggris, Italia, Kanada, dan Perancis. G-7 bikin standarisasi perdagangan melalui WTO.

G-7 memiliki kekuatan uang, melalui lembaga-lembaga keuangan. Standarisasi Perdagangan melalui WTO. Didukung IMF, ADB, AfDB, dan lain-lain, memberikan hutang ke negara-negara berkembang.

“UU Desa sekarang ingin menunjukkan Kades yang dipilih rakyatnya untuk mengelola wilayahnya. Tahun 2016 kita akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), siap tidak siap, kita harus siap. Padahal sebenarnya kita belum siap maka kekuatan kita harus dibangun. Perkuat peran perempuan dan pemerintahan desa. Sebab produk desa-desa kita akan bersaing dengan desa-desa di Malaysia, Thailand, Filipina, hingga Vietnam,” ulas Laili Khairnur.

Dampak globalisasi, jelasnya, negara yang tidak siap terjebak skenario neo-liberalisme (Neolib), terjebak perangkap utang, terjebak perangkap multi national corporations (MNCs) atau perusahan lintas negara.

Resep Neolib ada tiga, yaitu deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi. Cara bekerja mereka mengajukan syarat-syarat yang menuju tiga resep Neolib, menentukan pilihan teknologi, dan mensyaratkan penggunaan jasa -jasa internasional.

MNCs berkantor pusat di satu negara namun miliki kantor cabang di berbagai negara maju dan berkembang. Perubahan-perubahan multi dimensi dan globalisasi, bawa berbagai pengaruh dan dampak bagi negara-negara berkembang. Posisi negara berkembang sendiri dapat menguntungkan bagi korporasi.

MNCs memang perlu investasikan sumber daya modal mereka di negara berkembang. Alasannya, rendahnya biaya tenaga kerja, kemudahan dapat sumber daya natural, dan rakyat negara berkembang sebagai pasar empuk bagi produk-produk MNSc.

“Perusahaan transnasional yang menguasai perdagangan pangan antara lain Cargill menguasai 85 persen distribusi pangan dunia. Tahun 2000, keuntungan Cargill Rp48 miliar Dolar AS setara dengan pendapatan 28 negara miskin dan berkembang,” analisis Laili Khairnur.

MNSc lainnya, jelas Laili Khairnur, ada Monsanto, Syngenta, Aventis, dan Du pont menguasai dua-pertiga perdagangan pestisida dunia, seperempat pasar bibit dunia, dan menguasai 100 persen perdagangan bibit transgenic.

Bayer, Orynova, dan Zeneca Mogen menguasai sepertiga pasar pestisida dunia. Du Pont, Affymetrix menguasai 87 persen pasar terigu dunia.

“Apa dampaknya bagi Perempuan? Pembagian kerja secara seksual imbas feminisasi kemiskinan, traficking, bekerja tanpa perlindungan, mekanisasi pertanian-revolusi hijau, massifikasi industri seks, pengalienasian perempuan dari kemanusiaan,” tegas Laili Khairnur.

Ia menerangkan perspektif gerakan perempyan, secara individu, mengedepankan hak-hak individu yang sama, setara, dan berkeadilan sosial. Kekerasan terhadap bagaimana kekuatan menindas dan menyengsarakan kaum perempuan yang mayoritas di kelompok masyarakat. Tahun 1980-an, kekerasan identik dilakukan negara dan modal, 1990-an identik kekerasan domestik, 2000-an perubahan struktur yang lebih adil.

Banyak tokoh perempuan dalam perjuangan Kemerdekaan Indonesia: Cut Nya’ Dhien di Aceh, Kartini di perjuangan pendidikan wanita, Kongres Perempuan, dan lain-lain.

Monumen Mother of Plaza The Mayo di negara Chili, guna memperingati perjuangan kaum ibu. Kala itu Chili negara militeristik, banyak anak-anaknya dijadikan militer tanpa izin dan banyak yang tidak pulang ke rumah. Disebabkan bapak-bapaknya tidak berani maka kaum ibu mereka melawan pemerintahan militer dan berhasil.

Di India ada Gerakan Perempuan Dalit untuk perjuangan dapatkan lahan 5 hektar untuk bercocok-tanam. Tahun 1997 di kota-kota besar di Indonesia ada Gerakan Suara Ibu Peduli, Ketika Susu Tidak Terbeli. Kemudian Gerakan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA).

Aturan terkait partisipasi perempuan, didukung Human Right Declaration (Deklarasi Hak-hak asasi Manusia), UU 7/1984 ratifikasi CEDAW (Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan), Inpres 5/1995 tentang peningkatan peranan wanita dalam pembangunan daerah, Inpres 9/2000 tentang mainstreaming gender dalam pembangunan nasional.

“Kemudian UU 11/2005 tentang Hak-hak Sosial Ekonomi dan Budaya, UU 12/2005 tentang Hak-hak Sipil dan Politik, UU 2/2011 tentang Partai Politik, UU 6/2014 tentang Desa, dan lain-lain,” pungkasnya. (Gemawan-Mud)

Ciptakan Desa yang Adil pada Perempuan