SUKADANA—Cita-cita anggota DPRD KKU berasal dari kaum hawa di pemilihan umum legislatif (Pileg) 9 April 2014, masih jauh dari harapan. Sebab calon legislatif (Caleg) perempuan, diduga masih sebatas dijadikan pelengkap penderita. Peningkatan kapasitas kaum hawa di Kayong Utara mutlak diperlukan adanya.
“Peningkatan 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2014 sangat penting. Keterwakilan perempuan di parlemen dapat membangun struktur politik yang akomodatif, proses politik yang partisipatif dan iklusif, serta mengembangkan budaya politik yang lebih demokratis secara berkelanjutan, sehingga tercapainya demokrasi yang bersifat prosedural dan subtansial yang berkualitas,” kupas Laili Khairnur, direktris lembaga Gemawan di acara pendidikan politik yang dihelat Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) KKU di Hotel Mahkota Kayong Sukadana, Jumat (7/3).
Dikatakannya peningkatan 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen, dapat mewujudkan tercapainya target MDGs (pencapaian pembangunan milenium) tahun 2015,. Ini akan menjadi modal dasar politik guna menjamin pembangunan politik yang demokratis secara berkelanjutan. Keterwakilan perempuan dalam parlemen diharapkan dapat mendorong percepatan pelaksanaan pengarusutamaan gender di pusat dan daerah
“Keterlibatan kaum perempuan di bidang politik, khususnya di legislatif, akan memberikan. keseimbangan peran gender dalam mewarnai perumusan peraturan perundang-undangan, penganggaran, dan pengawasan yang akan lebih berpihak pada kesejahteraan perempuan dan anak khususnya serta masyarakat pada umumnya,” tutur Laili.
Laili menganalisis, masih dominannya pencitraan publik di komunitas perempuan, bahwa perempuan mempunyai banyak keterbatasan untuk berkiprah di dunia politik. Masih lemahnya sumber daya manusia (SDM) dan pemahaman politik oleh perempuan, sehingga masih mempraktekkan politik yang sama sebagaimana politisi umumnya
“Kemudian adanya rasa kurang percaya diri atau kendala psikologis untuk bersaing dengan laki-laki. Terbatasnya perempuan yang berkualitas dan memiliki kualifikasi dalam dunia politik. Misalnya leadership (kepemimpinan, red), organisasi, public speaking (berbicara di muka umum, red), lobi, mempengaruhi massa, dan lain-lain,” ujar Laili.
Masalah eksternal, sambungnya, budaya patriarkhis masih dominan di masyarakat. Rendahnya politicall will (kehendak politik) dari penyelenggara negara terhadap partisipasi perempuan dalam politik.
“Masih banyak aktor politik laki-laki yang menganggap rendah kaum perempuan. Birokrasi juga masih didominasi laki-laki. Sistem politik juga masih setengah hati mengakomodir keterwakilan perempuan. Media massa juga masih kurang advokatif terhadap potensi politik perempuan,” sindir Laili.
Ia mengupas agenda baru politik perempuan, seperti memperluas makna dan praktek representasi politik dengan meningkatkan pencalonan dan pemenangan kandidat perempuan, serta memenangkan agenda kebijakan publik yang berkeadilan. Menyusun agenda bersama untuk menghapuskan ketimpangan relasi kuasa, kenali dan tolak sikap buta gender dalam institusi politik.
“Buat kebijakan dan alokasi budget yang pro rakyat dan pelayanan publik yang baik. Membangun keterikatan dengan masyarakat di basis, aktivis masyarakat sipil, jurnalis, organisasi profesi, perempuan pejabat publik sebagai bagian dari upaya membangun komunikasi dengan konstituen dan untuk saling mengawasi. Terus meningkatkan kapasitas dengan terus membangun komunikasi dan diskusi dengan pihak yang berkompeten,” saran Laili. (mah)
Sumber : Harian Pontianak Post
Tanggal : Selasa, 11 Maret 2014