Oleh: Laili Khairnur
(Direktur Eksekutif Lembaga Gemawan)
Fenomena korupsi semakin menjadi-jadi dalam pemberitaan koran dan televisi, terutama pengungkapan kasus-kasus Korupsi yang melibatkan para wakil rakyat yang sekarang sedang marak diusut oleh aparat kejaksaan diberbagai daerah.
Kalau dapat dikaitkan dengan korupsi politik maka maraknya korupsi yang terjadi yang melibatkan para wakil rakyat dapat dikategorikan dalam korupsi politik Dalam hal ini korupsi politik yang dilakukan oleh aktor-aktor politik. Kita mengenal kasus Abdullah Puteh, Kasus DPRD Sumbar dan lainnya.. Dalam konteks lokal (Kal-Bar) kita sudah membaca dibeberapa koran lokal, yang saat ini gencar memberitakan beberapa kasus dugaan korupsi, diantaranya kasus Yayasan Bestari, dugaan korupsi dana PSDH- DR yang melibatkan mantan Bupati Kab. Pontianak serta Bupati Sintang ,kasus dugaan korupsi DPRD Propinsi Kalbar, DPRD Kab. Sambas, Kab, Ketapang dll. Kelihatannya pemberantasan korupsi memang belum membuahkan hasil yang maksimal.
Hal ini disebabkan banyak faktor diantaranya adalah tidak adanya political will dari penguasa untuk melakukan pemberantasan korupsi, ditambah lagi lemahnya penegakan hukum dengan kerja aparat yang lamban. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh RRI Imam Prasodjo (Pengamat Politik UI) mengatakan bahwa Indonesia ini terjepit dalam Satanic System, sistem yang mengajak orang untuk melakukan kejahatan. Dan tragisnya lagi pendukung Satanic System ini jumlahnya lebih banyak, berkuasa dan punya banyak uang. Sehingga kelompok yang mengkampanyekan kebaikan menjadi kurang populer bahkan dicibir sebagai sok suci, pahlawan kesiangan dan lain sebagainya. Sehingga kalau tidak kuat maka akan mundur selangkah demi selangkah.
Namun dibalik pesimisme dan banyaknya tantangan yang dihadapi, gerakan anti korupsi mencoba untuk tetap konsisten dan berusaha memperbaiki diri . Dalam konteks pemberantasan korupsi kelompok ini mencoba selalu melakukan analisa dan evaluasi terhadap pekerjaan mereka. Dari hasil evaluasi tersebut ada beberapa sebab kenapa pemberantasan korupsi mengalami kelemahan. Pertama, kebanyakan kelompok yang melakukan kerja pemberantasan korupsi hanya mampu memetakan masalah korupsi tapi tidak mampu menawarkan solusi. Sebagai contoh banyak tindak korupsi diketahui namun sesudah itu tidak tahu mau melakukan apa. Misalnya kita tahu bahwa dalam pengadaan barang selalu ada mark-up yang dilakukan instansi terkait, atau tidak dilakukannya mekanisme tender yang transparan dalam sebuah proyek pembangunan, atau banyak pengusaha yang dikenakan uang pelicin dan lain sebagainya tapi setelah itu akan melakukan apa? . Kedua, tidak mampu menjelaskan kepada rakyat dampak korupsi terhadap kehidupan rakyat secara konkrit dan riil . Sehingga isu korupsi hanya menjadi wacana elit dan persoalan politik semata. Padahal kalau kita mau jujur berapa bayi dan ibu yang meninggal karena uang subsidi kesehatannya diselewengkan oleh koruptor sehingga mereka tidak bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang seharusnya bisa menyelamatkan nyawa mereka. Berapa sekolah yang roboh dan anak-anak tidak bisa sekolah ketika dana hibah pendidikan diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, atau cerita-cerita yang merugikan masyarakat kecil lainnya. Ketiga, terlalu percaya kepada mekanisme hukum. Artinya ketika kasus korupsi sudah sampai ketangan penegak hukum, masyarakat tidak melakukan kontrol dan pengawasan terhadap kasus tersebut sehingga seolah-olah menyerahkan kasus korupsi tersebut sepenuhnya kepada mekanisme hukum. Sebagai warga negara yang baik memang sudah sepantasnya kita mengedepankan proses hukum, namun dalam realitas hukum di Indonesia maka kata tidak percaya kepada mekanisme hukum menjadi hal yang biasa. Berdasarkan catatan ICW (2003), mereka sudah memasukkan 48 kasus dugaan korupsi kepada pihak berwenang namun satupun kasus tersebut tidak ada yang menghantar para koruptor ke penjara. Dalam konteks ini tidak ada success story yang muncul. Hal ini disinyalir bahwa ternyata hukum konvensional tidak bisa menyelesaikan tindak pidana korupsi, disamping aparat penegak hukum yang juga merupakan bagian dari persoalan korupsi itu sendiri dimana kita mengenal adanya mafia peradilan yang masih bergerak leluasa. Berdasar fakta inilah urgensi keberadaan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (sebagai amanat dari UU 31/1999 yang telah direvisi menjadi UU 20/2000) menjadi penting dan didorong bekerja secara maksimal dalam menangani kasus-kasus korupsi sampai pada tingkat penyidikan dan penyelidikan, karena aparat penegak hukum dianggap sudah gagal menangani kasus korupsi. Sehingga sebuah komisi yang independent, berwibawa, powerfull dan berani menyelesaikan kasus-kasus korupsi harus disupport keberadaannya. Kelemahan keempat, kegagalan merubah gerakan anti korupsi menjadi gerakan sosial. Hal ini bisa dianalisis dari dua sisi, dari sisi masyarakat yang cenderung apatis dan tidak menyadari telah menyuburkan praktek korupsi terjadi. Hal ini bisa dilihat dari masih maraknya petty corruption (korupsi kecil-kecilan) yang terjadi pada pembuatan KTP, SIM dan lainnya. Tapi pada level ini kita juga tidak bisa menyalahkan masyarakat sepenuhnya karena kadang birokrasi yang berbelit-belit (tidak efisien) justru membuat orang memilih jalan pintas. Jadi kadang masyarakat terpaksa melakukannya karena persoalan waktu dan sistem yang ada dalam sebuah birokrasi. Pada sisi lain kita juga melihat bahwa gerakan anti korupsi hanya sebatas gerakan elit yang hanya bisa dikonsumsi secara terbatas oleh kelompok tertentu saja. Bahkan ada kecendrungan bahwa kasus korupsi hanya bisa terselesaikan apabila ada political conflic interest dalam kasus tersebut, sehingga korupsi cenderung dianggap sangat politis. Dan tentu saja yang bisa mengkonsumsinya adalah kelompok yang terbatas. Kelemahan kelima, kurang punya kreatifitas untuk melakukan social sanction. Hal ini berkaitan dengan banyaknya koruptor yang jelas-jelas terbukti bersalah masih dapat dengan leluasa menduduki jabatan tertentu. Mungkin ada anggapan bahwa ternyata mereka masih tetap dihormati karena jabatan yang dia pegang, jadi forget it about morality. Sehingga seorang koruptor masih bisa disanjung dan dipuja-puja karena dia masih berkuasa. Kalau seperti itu apa yang bisa diharapkan dari bangsa ini. Ketika hukum tidak bisa menyentuh para koruptor tersebut dan kita juga cenderung memaafkan hanya karena dipermukaan mereka bersikap seperti orang yang punya moral dan niat baik. Ketika seorang pencuri ayam dan pencuri handphone bisa dihukum sampai bertahun-tahun dan digebuki sampai babak belur hanya karena dia dianggap manusia kelas rendahan, tapi para koruptor yang mencuri uang rakyat dan negara sampai triliyunan rupiah justru bebas tanpa sedikitpun tersentuh oleh hukum hanya karena dia punya jabatan yang terhormat. Jadi dimana letak keadilan dalam mekanisme hukum ? Apa perlu terminologi koruptor harus dirubah menjadi “perampok uang rakyat” sehingga kita jadi peduli dengan masalah korupsi. Dan kita bisa melihat secara objective makna dari seorang maling atau pencuri.
Semoga hasil renungan ini bisa kita jadikan platform bersama membangun gerakan anti korupsi yang massif. Agar keadilan bisa dirasakan setiap rakyat tanpa memandang jabatan dan siapa dirinya.