Berkah Sedekah Sampah Bank Sampah Serumpun Sejati

“Kami (bank sampah, red.) tak butuh bantuan besar. Cukup fasilitas sederhana agar sampah tak jadi beban,” Nurpunati, Bank Sampah Serumpun Sejati.

Di sudut Jalan H. Basuni, Kelurahan Bukit Batu, Singkawang, Nurpunati telah mengukir kisah luar biasa sejak 2015. Bermula dari kegelisahannya melihat sampah yang menggunung tanpa nilai, perempuan berdarah Jawa ini menggagas Bank Sampah Serumpun Sejati—sebuah inisiatif yang terinspirasi oleh kesuksesan pengelolaan sampah di kota-kota besar.

Awalnya, banyak yang meragukan niatnya. “Orang bilang ini kerja sia-sia. Tapi saya yakin, sampah bisa jadi berkah,” ujarnya dengan tekad yang tak mudah pudar.

Setiap hari, Nurpunati dan anggota berkutat dengan botol plastik, kaleng, kardus, dan gelas mineral. Sampah-sampah itu dipilah dengan cermat, lalu dijual ke Bank Sampah Induk (BSI).

Harga sampah cukup fluktuatif: kardus Rp1.000/kg (lebih murah dari harga pasar Rp1.200), kaleng geprek Rp15.000 (naik dari Rp10.000), atau gelas plastik bersih Rp3.700/kg.

Saat harga anjlok, sampah disimpan dalam karung-karung yang menumpuk di halaman, meski risiko tikus dan bau selalu mengintai. Pembayaran ke anggota dilakukan setelah sampah laku, dengan tabungan tertinggi anggota sekitar ratusan ribu. Sementara itu, tabungan Nurpunati pernah menyentuh jutaan rupiah setelah 4-5 kali penjualan.

Baca juga: Berbagi Berkah Sedekah Sampah untuk Kaum Lemah, Serumpun Sejati Sambut Ramadhan

Tak sekadar mengumpulkan, mereka menyulap limbah menjadi karya seni: bunga plastik berwarna-warni, vas dari koran bekas, hingga kaligrafi yang memukau. Ide kreasi ini lahir dari eksperimen mandiri dan tutorial YouTube. “Dasar botol plastik saya potong seperti kelopak bunga, lalu dicat,” cerita Nurpunati, yang menjual karyanya seharga Rp40.000-50.000 per item.

Namun, antusiasme anggota masih terbatas. Sebagian malu mengangkut sampah, sementara generasi muda enggan bergabung. “Mereka bilang ini kerja ‘emak-emak’,” keluhnya, sembari terus merangkai plastik bekas menjadi seni yang bermakna.

Persoalan lain datang dari kesadaran warga. Saat kerja bakti di Terminal Bengkayang, Nurpunati tercengang melihat sampah botol impor hingga popok bayi berserakan. “Banyak yang buang sampah sembarangan, padahal bak sudah disediakan,” ujarnya.

Ia kerap dianggap “dari DLH” saat menegur warga, padahal niatnya hanya mengajak menjaga kebersihan lingkungan. Anggota Dewan menyarankan sosialisasi melalui jalur formal, tapi ia ragu: “Kalau kami yang menyampaikan, takut dianggap sok.”

Sempat terjadi saat lab DLH di Bukit Batu diprotes warga karena tumpukan karung sampah. “Mereka bilang sampah itu bau, padahal ini anorganik,” jelas Nurpunati. Ia berupaya mencari tahu hal ihwal tumpukan sampah tersebut. Ternyata, sampah tertahan karena Pontianak tak mampu menerima lebih banyak limbah. Masalah ini diselesaikan lewat mediasi dengan lurah, meski akar konflik belum tuntas.

Di tengah riuhnya persoalan, prestasi mereka bersinar: dua kali juara lomba PHBS tingkat kota dan provinsi (2017-2018). Nurpunati bahkan diundang sebagai narasumber, meski menolak ajuan ke tingkat nasional karena syarat administrasi yang rumit.

Baca juga: Berkah Sedekah Sampah, Serumpun Sejati Bagikan 20 Paket Sembako

Bank Sampah, Menuai Harapan

Di balik semua tantangan, program keranjang sedekah sampah di empat titik tetap berjalan. Hasilnya digunakan untuk membeli sembako bagi panti asuhan, bahkan pernah mencapai Rp1 juta.

“Ini (mengelola sampah, red.) tanggung jawab bersama, bukan untuk cari popularitas,” tegasnya ketika merespon situasi sampah di kotanya.

“Kami (bank sampah, red.) tak butuh bantuan besar. Cukup fasilitas sederhana agar sampah tak jadi beban,” tutupnya menuai harapan.

Penulis: Wanti A., pegiat Gemawan.

Bank Sampah Serumpun Sejati: Harapan dan Ketegaran
Tag pada: