DISKUSI KARET: Fasilitator senior Gemawan, Uray Endang Kusuma (ketiga dari kiri) memimpin diskusi bersama empat mahasiswa S—2 Universitas Colorado AS di kantor Gemawan, Minggu (5/6/2016). Foto: Mahmudi/GEMAWAN.
Pontianak, GEMAWAN.
Dalam diskusi bersama empat mahasiswa strata dua (S—2) Universitas Colorado Amerika Serikat (AS) di Gemawan, terungkap penyebaran bibit karet dibawa misionaris untuk membantu ekonomi warga pelosok desa.
Keempat mahasiswa S—2 Universitas Colorado AS, adalah Gwen dari Amerika Serikat, Mikael dari Tiongkok, Santiago dari Kolombia (Amerika Selatan), dan Bo dari Amerika Serikat, Minggu (05/06/2016).
“Usai ditemukan tanaman dan bibit karet dari hutan Amazon di negara Brazil, akhirnya dikenalkan pemerintah kolonial Belanda ke Indonesia untuk dikembangkan. Indonesia pernah menjadi produsen karet terbesar di dunia, sebelum direbut Thailand,” kata Deni Prinatna, fasilitator Gemawan.
Satu di antara pihak yang ikut andil dalam penyebaran tanaman karet ke pelosok negeri, tambah Deni, para misionaris Kristen di Hindia Belanda atau nama Indonesia di masa silam. Tujuannya untuk membantu ekonomi warga pedesaan. Alasannya, dunia industri dunia mulai membutuhkan karet sebagai satu di antara bahan baku utama.
“Para misionaris membantu penyebaran karet ke pelosok negeri,” papar Deni.
Sejarah pengembangan tanaman karet hingga masuk ke Indonesia. Syahdan pada zaman dahulu, Christopher Columbus menemukan benua Amerika tahun 1476, Columbus tercengang melihat orang-orang Indian bermain menggunakan suatu bahan yang dapat mantul-mantul bila dijatuhkan ke tanah. Namanya, bola.
Bola zaman itu, terbuat dari campuran kayu, akar, dan dan rumput yang dicampur dengan getah karet (lateks). Adonan itu dipanaskan di atas api unggun dan dibulatkan khas bola kuno.
Tahun 1731, ilmuwan mulai tertarik untuk menyelidiki bahan itu. Seperti ahli berkebangsaan Perancis, Fresnau melaporkan banyak tanaman yang dapat menghasilkan lateks atau karet, di antaranya dari jenis Havea Brasilienss yang tumbuh di hutan Amazon di Brazil.
Saat ini tanaman tersebut menjadi tanaman penghasil karet utama dan sudah dibudidayakan di Asia Tenggara yang menjadi penghasil karet utama di dunia saat ini.
Tahun 1864 untuk pertama kalinya tanaman karet diperkenalkan di Hindia Belanda (nama kuno Indonesia) oleh pemerintah kolonial Belanda.
Memasuki tahun 1876, Kew Botanical Garden juga mengirimkan 18 buah biji karet ke pemerintahan kolonial Belanda namun hanya dua biji yang berhasil tetap segar selama di perjalanan. Dua biji ini kemudian ditanam di Cultuurtuin Bogor sebagai koleksi dan menjadi pohon karet tertua di Indonesia.
Melalui tanaman koleksi itu, pohon karet selanjutnya dikembangkan ke beberapa daerah sebagai tanaman perkebunan komersil. Daerah yang pertama kali digunakan sebagai tempat uji coba penanaman karet adalah Pamanukan dan Ciasem, Jawa Barat.
Jenis pertama kali diujicobakan di dua daerah itu, species Ficus elastica atau karet rembung. Jenis karet Havea brasiliensis baru ditanam di Sumatera bahagian timur tahun 1902 dan di Jawa tahun 1906.
Pada awalnya, penanaman Hevea di Indonesia kurang direspon positif karena masyarakat telah lebih dahulu mengenal pohon lokal, yaitu Fiscus elastica. Pohon berdaun lebar dan bersinar ini merupakan pohon favorit masyarakat Belanda.
Tahun 1889, Belanda buka perkebunan karet di Pamanukan dan Ciasemlanden (Jawa Barat) dengan karet jenis Fiscus Elastica. Perkebunan ini dianggap sebagai perkebunan karet tertua di dunia.
Hasil dari perkebunan kurang memuaskan karena produktivitas lateks rendah dan tanaman mudah terserang hama dan penyakit.
Pemerintah Belanda mengadakan perbaikan, mulai mencari daerah di Indonesia yang cocok untuk ditanami karet jenis Hevea. Penamanan karet Hevea komersial di Indonesia diawali tahun 1902 di Sumatera dan dilanjutkan di Jawa tahun 1906.
Akibat peningkatan permintaan akan karet di pasar internasional, perusahaan Belanda-Amerika, Holland Amerikaance Plantage Matschappij (HAPM) pada tahun 1910-1911, ikut menanamkan modal dalam membuka perkebunan karet di Sumatera.
Perkebunan karet rakyat di Indonesia juga berkembang seiring dengan naiknya permintaan karet dunia dan kenaikkan harga. Perkara yang ikut menunjang dibukanya perkebunan karet, pemeliharaan tanaman karet relatif mudah.
Pada masa itu, penduduk umumnya membudidayakan karet sambil menanam padi. Jika tanah yang diolah kurang subur maka pindah mencari lahan baru. Namun tetap memantau pertumbuhan karet yang telah ditanam secara berkala hingga dapat dipanen.
Keberhasilan di Jawa dan Sumatera, membuat bibit karet mulai diujicobakan di Kalimantan dan pulau-pulau lain di Indonesia. Menjadikan negara ini, baik di zaman pemerintah kolonial Belanda maupun Republik Indonesia, penghasil karet utama dunia. (Gemawan-Mud)