
Masitah, seorang perempuan tangguh asal Dusun Keranji, Desa Tanjung Mekar, Kabupaten Sambas, telah mengabdikan hidupnya untuk pemberdayaan perempuan dan pelestarian budaya lokal. Ia resmi menikah dengan Hasbian pada 20 Mei 1990, dan sejak saat itu menjalani keseharian sebagai istri sekaligus penjahit rumahan. Meskipun hanya lulusan SMK, keterampilan menjahit yang ia pelajari sejak sekolah menjadi bekal berharga dalam menopang ekonomi keluarga.
Selain menjahit, Masitah juga mengabdikan diri sebagai guru PAUD di desanya. Ia dikenal aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dan organisasi perempuan. Pada periode 2020–2023, ia dipercaya sebagai Ketua SERUMPUN Sambas (Serikat Perempuan Pantai Utara) dan kini menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal SERUMPUN periode 2023–2027.
Menyadari bahwa menjahit adalah pekerjaan musiman, pada tahun 1991 Masitah mulai belajar menenun. Ia menerima upah dari seorang warga Tionghoa di Pasar Sambas, sembari tetap menjalankan jasa menjahit di rumah. “Sebagai manusia biasa, pasti ada keinginan untuk berubah, menjadi lebih maju, berilmu, dan berwawasan,” ujarnya.
Tahun 1992, ia bersama suami mulai hidup mandiri di tempat tinggal baru di Dusun Keranji. Di sana, ia aktif bersosialisasi dengan warga dan bergabung dalam berbagai kegiatan seperti PKK, BKMT, Posyandu, hingga kini menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Tanjung Mekar.
Berbekal penghasilan dari menjahit dan menenun, serta dukungan suami dan orang tua, pada tahun 1993 Masitah mulai membeli peralatan tenun sendiri. Ia menenun dan memasarkan hasil karyanya secara mandiri. Langkah ini menjadi titik tolak perjalanan usahanya yang terus berkembang.
Perempuan Penggerak
Pada tahun 2006, ia mengenal Lembaga Swadaya Masyarakat Gemawan melalui kegiatan ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil). Bersama perempuan lainnya, ia membentuk kelompok perempuan bernama ASOKA di Desa Tanjung Mekar dengan anggota awal sebanyak 25 orang, dan Masitah dipercaya sebagai ketua. Gerakan ini kemudian meluas ke desa-desa dampingan lain seperti Sejangkung, Tebas, Subah, dan Paloh.
Kelompok-kelompok perempuan dampingan Gemawan rutin mengikuti pertemuan bulanan yang berisi diskusi, berbagi pengetahuan, dan berbagai pelatihan seperti kepemimpinan perempuan, gender, kewirausahaan, penggunaan pewarna alami untuk tenun, pengemasan produk, hingga strategi pemasaran. Pendampingan ini memperkuat kapasitas dan solidaritas perempuan dalam mengembangkan potensi ekonomi mereka.
Melihat kebutuhan yang terus meningkat, Masitah terdorong untuk memperluas usahanya. Dari satu alat tenun, kini ia memiliki empat alat tenun kain dan satu alat tenun selendang. Ia juga bekerja sama dengan anggota kelompoknya untuk saling mendukung produksi. Kini, Masitah tidak lagi menenun sendiri, melainkan memberdayakan lima perempuan lain sebagai tenaga kerja, sembari tetap melayani jasa menjahit.
“Alhamdulillah, sekarang saya bisa membantu ibu-ibu lain mendapatkan penghasilan. Terima kasih kepada Lembaga Gemawan yang telah mendampingi kami, memberi keberanian untuk maju, keluar dari masalah, dan menciptakan perubahan,” tuturnya dengan penuh syukur.
Masitah membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pelaku utama perubahan, bukan hanya di rumah, tetapi juga di tengah masyarakat. Komitmennya dalam menjahit, menenun, dan membangun komunitas perempuan adalah kisah inspiratif tentang keberdayaan dari desa yang berdampak luas.
Penulis: Siti Rahmawati, pegiat Gemawan.