Oleh: Hermawansyah
A. Pengantar
Luas wilayah suatu daerah dan tingkat kepadatan penduduk tentu saja mempengaruhi rentang kendali birokrasi pemerintahan dalam menjalankan fungsi pelayanan publik. Efektivitas pelayanan publik secara umum mensyaratkan adanya ketersediaan anggaran, aparatur pelaksana program yang cukup, serta masyarakat yang merasakan manfaat. Berangkat dari premis dasar di atas, maka berapapun anggaran dan aparatur pelaksana yang dibutuhkan harus dapat dipenuhi oleh pemerintah. Sebab tugas birokrasi pemerintahan adalah menjalankan fungsi pelayanan publik untuk masyarakat, bukan melayani birokrasi itu sendiri.
Proposisi di atas bisa jadi benar jika diletakkan pada kasus daerah-daerah kabupaten/kota dan provinsi di Jawa yang luas wilayahnya tidak begitu besar, tingkat kepadatan penduduknya tinggi, anggaran pembangunan memadai, serta aparatur birokrasinya cukup. Dengan modal komitmen kuat pemerintah daerah dan kreatifitas program yang dilaksanakan, maka dapat dipastikan masyarakatnya akan terlayani dengan baik. Akan tetapi bagaimana dengan daerah seperti di Kalimanatan Barat yang wilayah provinsinya lebih besar dari luas wilayah pulau Jawa dan Madura, sementara tingkat kepadatan penduduknya lebih kecil ?
Tulisan singkat ini ingin memetakan 2 (dua) persoalan pokok yang menjadi alasan pemekaran daerah ;
Pertama, apakah ketertinggalan kondisi masyarakat Kalimantan Barat akibat pelayanan publik yang belum efektif ? dan
Kedua, apakah hal tersebut dikarenakan rentang kendali birokrasi terlalu jauh sebagai konsekuensi wilayah yang terlalu luas ?
B. Efektifitas Pelayanan Publik dan Penataan Daerah
Kalimantan Barat adalah daerah provinsi yang memilki segudang potensi, sumber daya alam seperti perikanan dan kelautan, pertanian, perkebunan, pertambangan, serta perindustrian dan pariwisata. Dengan dukungan anggaran daerah yang setiap tahun mengalami peningkatan signifikan hingga hampir 2 trilyun dalam RAPBD Tahun 2012, Pemerintah Provinsi Kalbar tentunya sudah lebih leluasa dalam merancang program-program pembangunan. Sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur memiliki kewenangan untuk melakukan koordinasi, integrasi dan sinergi program pembangunan dengan seluruh bupati/walikota untuk mencapai target-target pembangunan, utamanya adalah Millenium Development Goals (MDGs),
antara lain; menekan angka kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan, menekan angka kematian anak dan meningkatkan kesehatan ibu, serta memperbaiki infrastruktur guna menggerakkan roda dan pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi ironisnya, hingga saat ini Kalimantan Barat masih memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terendah dan angka pengangguran tertinggi di Pulau Kalimantan. Fakta tersebut tentu saja memicu pernyataan kritis, ‘pasti ada yang salah dengan kondisi tersebut’? apakah pemerintah tidak mampu mengelola potensi yang ada untuk menggerakkan roda pembangunan, apakah pemerintah tidak mampu membuat progaram-program pelayanan publik yang dapat langsung menyentuh kebutuhan riil masyarakat, atau karena faktor lain ?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kita lihat bagaimana gerak pembangunan di tingkat kabupaten/kota yang pada akhirnya terakumulasi dalam capaian di tingkat provinsi. Dalam hal ini menarik untuk dilihat perkembangan daerah hasil pemekaran seperti Sambas sebagai kabupaten pemekaran pertama, serta Kayong Utara dan Kubu Raya yang merupakan kabupaten terakhir yang dimekarkan.
B.1. Sambas
Kabupaten Sambas memiliki luas wilayah sekitar 6.395,70 Km2 atau 639.570 ha dan jumlah penduduk 538.944 ribu jiwa, terdiri dari 17 Kecamatan, 183 Desa dan 570 Dusun. Potensi yang diandalkan adalah sumberdaya alam seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan. Perekonomian masyarakat selama ini ditopang oleh empat komoditi unggulan yaitu padi, karet, kelapa dan jeruk siam. (Sambas dalam angka, 2010). Selain itu, kabupaten Sambas juga berbatasan langsung dengan negara tetangga Malaysia serta lautnya bersebelahan dengan laut Natuna. Dengan demikian, kabupaten Sambas sangat potensial dan strategis untuk berkembang. Akan tetapi setelah lebih dari 12 tahun usia pemekaran, dari indikator IPM justru Kabupaten Sambas menunjukkan tanda-tanda kemunduran dengan menduduki peringkat terakhir dari 14 kabupaten/kota se-Kalbar. Pertumbuhan ekonominya hanya berkisar di angka 5.88, juga masih dibawah kabupaten Kubu Raya dan Kayong Utara yang baru memasuki 3 – 4 tahun usia pemekaran. Padahal sebagai daerah perbatasan, tentu saja tidak sulit bagi pimpinan daerah untuk menggalang dukungan dana pusat guna mendukung program-program pembangunan.
B.2. Kayong Utara & Kubu Raya
Dua kabupaten yang terakhir dimekarkan ini sangat menarik untuk dikaji perkembangannya, dengan komitmen kuat dari Pemerintah Kabupaten dan kemampuan mengemas program pelayanan publik, dua daerah ini menunjukkan kemajuan signifikan.
Kayong Utara merupakan kabupaten terkecil dengan luas wilayah hanya 4.221 Km2 dan jumlah penduduk tidak sampai 100.000 jiwa. Dengan keterbatasan anggaran dan sumberdaya aparatur, ternyata mampu melaksanakan program populis pelayanan pendidikan dan kesehatan gratis bagi warganya. Padahal di kabupaten yang terdiri dari 6 kecamatan dan 54 desa ini terdapat 2 kecamatan kepulauan yang secara geografi sangat jauh dari ibukota kabupaten. Akan tetapi pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemkab kayong Utara dapat menjangkau warganya yang berada di ujung kepulauan. Untuk memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi warga di pulau-pulau terluar, pemkab Kayong Utara secara kreatif membuat ‘Puskesmas Terapung’ yang secara reguler mengelilingi pulau mengunjungi warga. Dan ini terbukti berdasarkan data BPS hasil Sensus Penduduk tahun 2010, Kayong Utara berhasil mendongkrak skor IPM naik satu tingkat dari urutan terakhir menjadi urutan ke 13 dari 14 kabupaten/kota se-kalbar. Begitu juga pertumbuhan ekonominya meningkat tajam dari 2.78 pada tahun 2009 menjadi 5.92 pada tahun 2010.
Kabupaten Kubu Raya juga menunjukkan hal serupa, dengan luas wilayah 6.985,20 Km2 yang terdiri dari 9 kecamatan, 101 desa dan 370 dusun, serta memiliki jumlah penduduk sebanyak 480.398 jiwa. Walaupun dengan kemampuan anggaran yang terbatas ternyata mampu melayani kebutuhan warganya. Sebagai daerah yang memiliki potensi pertanian, program ‘beras lokal’ mampu mendongkrak pendapatan warga petani. Selain itu, kabupaten ini juga kaya dengan program inovasi seperti koperasi gramen, Sarjana Pendamping Desa, Jamkesda, dan lain-lain. Inovasi kebijakan ini yang mampu menempatkan IPM Kubu Raya pada peringkat ke 11 dari 14 kabupaten/kota se-kalbar. Disamping itu, pertumbuhan ekonomi di kabupaten ini juga meningkat dari 5.87 pada tahun 2009 menjadi 6.23 pada tahun 2010. (Sensus Penduduk BPS tahun 2010)
Pimpinan daerah dua kabupaten ini memang dikenal publik sebagai ‘bupati inovatif’ di kalbar. Bupati Kubu Raya dengan slogan ‘berlari lebih kencang, berproses lebih cepat’, dan bupati Kayong Utara dengan motto ‘asal mau, apapun bisa’ mampu memompa semangat aparaturnya giat bekerja untuk melayani masyarakat.
C. Pemekaran; keinginan atau kebutuhan ?
Sejak dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999, sebagai tonggak kebijakan yang membuka kran pemekaran daerah, hingga tahun 2010 tercatat telah bertambah 205 daerah baru yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten dan 34 kota. Jumlah ini tentu sangat mungkin terus bertambah seiring banyaknya aspirasi masyarakat daerah yang ingin wilayahnya dimekarkan. Akan tetapi perkembangan ini juga harus dicermati serius dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap daerah otonom baru yang telah terbentuk. Bahkan Presiden SBY di depan Sidang Paripurna DPR RI tanggal 3 September 2009 menyatakan perlunya moratorium pemekaran daerah sampai ada proses evaluasi untuk mengetahui keberhasilan, kegagalan serta permasalahannya. (Partnership Policy Paper No. 1/2011, hal 2).
Di Kalimantan Barat sendiri hingga kini telah ada 7 daerah pemekaran daerah otonom baru. Disisi lain, aspirasi untuk dilakukan pemekaran juga terus bermunculan, mulai dari Sambas Pesisir/Sambas Darussalam, Kendawangan, Kabupaten Perbatasan di Kapuas Hulu, Tayan, hingga yang paling gencar adalah pemekaran Provinsi Kapuas Raya. Sementara secara faktual, perbedaan karakteristik wilayah, potensi sumber daya alam, konstalasi politik lokal serta komitmen dan gaya kepemimpinan masing-masing daerah tersebut mempengaruhi perkembangannya. Disisi lain, fenomena faktual bahwa kabupaten yang dimekarkan justru telah menghambat perkembangan kabupaten induk juga terjadi antara Kubu Raya dan Kabupaten Pontianak. Belum lagi kalau dilihat kecendrungan maraknya praktek penyimpangan dan korupsi, serta fenomena oligarkhi politik lokal.
Secara umum terdapat perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal pemekaran daerah. Pemerintah pusat, ketika merumuskan PP 129/2000 berkeinginan untuk mencari daerah otonom baru yang dapat berdiri sendiri dan mandiri. Oleh karenanya disusunlah seperangkat indikator yang pada hakekatnya berupaya mengidentifikasi kemampuan calon daerah otonom baru. Di sisi lain, ternyata pemerintah daerah, demikian pula para elit lokal dan masyarakat awam, memiliki pendapat yang berbeda. Pemerintah daerah melihat pemekaran daerah sebagai upaya untuk secara cepat keluar dari kondisi keterpurukan. (studi dampak pemekaran daerah 2001-2007, Bappenas-UNDP, Juli 2008, hal 31). Sebab hingga saat ini, pemerintah pusat juga belum memiliki blue print yang jelas dalam mendorong perkembangan daerah otonom baru. Padahal mestinya pemerintah pusat dapat membuat guidelines yang dapat dijadikan panduan bagi daerah otonom baru guna merancang kebijakan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Hal ini dimaksudkan bukan dalam perspektif ingin kembali pada semangat sentralisasi, akan tetapi untuk memperjelas peran pemerintah pusat dalam memfasilitasi perkembangan daerah otonom baru. Sehingga ketika dievaluasi, semangat yang muncul tidak kembali mempersalahkan aspirasi masyarakat daerah yang ingin dimekarkan. Dengan demikian, pertanyaan klasik bahwa pemekaran daerah merupakan kebutuhan atau keinginan menjadi selalu relevan untuk terus diketengahkan.
D. Penutup
Berangkat dari deskripsi faktual di atas, premis bahwa daerah yang geografi dan wilayahnya luas harus dimekarkan guna mendekatkan pelayanan publik perlu dikaji lebih lanjut. Sebab essensi dari pemekaran daerah adalah bagaimana pelayanan publiknya efektif agar daerah yang bersangkutan dapat segera keluar dari kondisi ketertinggalan. Belajar dari pengalaman Sambas dan Kubu raya yang sama-sama memiliki wilayah luas dan berpenduduk besar, akan tetapi indikator keberhasilannya berbeda. Hal tersebut tentu saja tergantung efektifitas pelayanan publiknya. Begitu juga dengan Kayong Utara yang wilayah dan penduduknya kecil tapi sebaran penduduknya tidak merata karena memiliki 2 kecamatan kepulauan, Pemkab Kayong Utara secara kreatif mampu memberikan pelayanan publik dengan baik.
Fenomena perkembangan daerah pemekaran yang berbeda-beda di Kalbar, merefleksikan bahwa pemekaran harus dibarengi dengan penataan demokrasi dan kepemimpinan lokal. Sebab faktor kepemimpinan lokal sangat mempengaruhi inovasi kebijakan daerah guna memberikan pelayanan terbaik pada warga masyarakatnya.
1. Disampaikan dalam FGD Desain Penataan Daerah di Provinsi Kalbar 2012-2025,Lembaga Penelitian Untan – Kemitraan, Pontianak, 8 Desember 2011
2. Penulis adalah Dewan Pengurus Lembaga Gemawan
Tentang Penulis
Hermawansyah, pria kelahiran Desa Sungai Bakau Kecil, Kabupaten Mempawah. Anak ke-dua dari tiga bersaudara ini sejak menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura telah aktif dalam gerakan sosial politik. Saat itu ia bergabung dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Di tahun 1999, ia bersama kolega mendirikan Lembaga Gemawan, sebuah lembaga non pemerintah (CSO/ civil society organization) di Kalimantan Barat yang bergerak pada bidang advokasi dan peningkatan kapasitas komunitas masyarakat tingkat tapak.