ASURANSI PADI: Kawasan pertanian di desa Tanjung Satai kecamatan Pulau Maya, Kabupaten Kayong Utara, Provinsi Kalbar, selain menghadapi tantangan benih unggul dan pupuk mahal, juga sarana dan prasarana kawasan produksi padi dengan pasar. Sedangkan asuransi pertanian hanya mengganti ganti rugi kerusakan padi, bukan menanggung sarana dan prasarana yang rusak. Foto: Abang Rustaman/GEMAWAN.
Pontianak, GEMAWAN.
Adalah Univesitas Tribuana Tungga Dewi (Unitri) Malang-Jawa Timur, bekerja sama dengan badan usaha milik negara (BUMN) asuransi PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), helat forum grup discusion (FGD) bedah konsep terkait peluang dan tantangan asuransi pertanian, akhir tahun 2015 silam.
Unitri sendiri bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kayong Utara dalam program beasiswa bagi lulusan SMA dan yang sederajat berprestasi di Negeri Bertuah, julukan Kayong Utara. Sebagai daerah baru, buah pemekaran kabupaten Ketapang, Kayong Utara sebagai kawasan bahari namun tetap memperkuat dunia pertaniannya.
Program beasiswa Pemkab Kayong bersama Unitri Malang, diharapkan dapat memenuhi pemenuhan sumber daya manusia (SDM) daerah. Satu di antaranya dalam memperkuat dunia pertanian Kayong Utara, sebagai lumbung padi kawasan selatan Kalbar.
Tantangan dunia pertanian di Kayong Utara dan Kalbar pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, ancaman hama penyakit, bencana alam, dan lain-lain yang dikategorikan force majeure.
Guna melindungi petani dalam menghadapi gagal panen, pemerintah menerbitkan Asuransi Pertanian, sebagaimana diatur di undang-undang nomor 19 tahun 2013 (UU 19/2013) tentang perlindungan dan pemberdayaan petani, Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) RI nomor 40/Permentan/SR.230/7/2015 tentang asuransi pertanian, dan Surat Menteri BUMN nomor S 586/MBU/9/2015 tentang persetujuan menyetujui PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) sebagai pelaksana asuransi pertanian.
PT Asuransi Jasa Indonesia (Persero) yang biasa disingkat Jasindo, sebelum tahun 1945 merupakan dua perusahaan yang berbeda. Pertama, perusahaan asuransi umum milik pemerintah kolonial Belanda NV Assurantie Maatschappij de Nederlander. Kedua, perusahaan asuransi umum Inggris di Jakarta, Bloom Vander.
Ketika Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, berlaku kebijakan pemindahan kekuasaan dan kepemilikan Kerajaan Belanda ke Republik Indonesia. Termasuk, melakukan nasionalisasi terhadap dua perusahaan itu. Dasar pelaksanaan kebijakan nasionalisasi tertuang di UU 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jasindo yang ditunjuk sebagai pelaksana asuransi pertanian, memiliki kebijakan asuransi pertanian ini hanya diberikan ke petani yang terhimpun di kelompok tani (Poktan) yang terdaftar di Jasindo.
FGD di kampus Unitri Malang akhir tahun 2015 silam itu, guna membahas percobaan asuransi pertanian yang dihelat di 150 hektar tanah di tiga wilayah, yakni Gresik dan Tuban di Provinsi Jawa Timur dan di Provinsi Sumatera Selatan.
Dalam asuransi ini, para petani dapat menerima klaim asuransi kalau alami gagal panen disebabkan kekeringan, bencana alam, hingga serangan hawa. Klaim ganti rugi mencapai kisaran Rp6 juta perhektar. Itu akan cocok kalau yang ditanam padi.
Namun ketika yang ditanam sayur-mayur maupun buah-buahan jenis yang mahal, seperti cabai merah atau hijau keriting, tomat, kacang panjang, buncis, brokoli, gambas atau oyong, pare atau paria, terong, serai, kol, kobis, sawi keriting, bawang, jamur layak konsumsi, ubi jalar, dan lain-lain, maka klaim ganti rugi Rp6 juta perhektar sangat jauh dari harapan. Sebab sayur-mayur maupun buah dalam sehektar bisa membutuhkan modal Rp20-50 juta.
“Nah, bolehkah petani karet dapat asuransi pertanian?” tanya Muhammad Zuni Irawan, fasilitator Gemawan di ruang kerjanya.
“Sebab saat ini, Jasindo melalui otoritas jasa keuangan (OJK) masih fokus yang dapat diasuransikan pada tanaman padi,” timpal Zuni. Sektor lain masih dalam pembahasan OJK dan Kementan-RI.
Beleid asuransi pertanian dimasukkan OJK ke dalam industri keuangan non-bank (IKNB). OJK dan Kementerian Pertanian (Kementan) sepaham, asuransi pertanian di Indonesia sebagai negari agraris dipandang perlu.
Pertanian tidak bisa melawan iklim tetapi bisa direncanakan dan bisa diasuransikan terhadap resiko yang bakal dihadapi.
“Asuransi pertanian Indonesia menganut skema ini, 80 persen premi dibayar pemerintah, sedangkan 20 persen dibayar petani,” kata Zuni.
Rinciannya pemerintah mengalokasikan premi Rp150 miliar untuk 1 juta hektare lahan pertanian padi. Asumsinya premi perhektar ditetapkan Rp 180 ribu, pemerintah bayar 80 persen dan petani hanya bayar 20 persen.
Total pertanggungan petani per 1 hektar maksimal Rp6 juta dengan asumsi biaya tanam semusim yang mencapai Rp6 juta .
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah rumah tangga usaha tani di Indonesia 2003 mencapai 31,17 juta jiwa. Memasuki tahun 2013, menyusut 26,13 juta jiwa. Jadi sekitar 1,75 persen pertahun terjadi penurunan jumlah rumah tangga usaha tani.
“Kalau dibiarkan, usaha rumah tangga usaha tani di negara kita semakin hancur. Di sinilah perlunya penguatan pertanian di negara kita pada umumnya dan Kalbar pada khususnya,” pinta Zuni.
Dikeluarkannya asuransi pertanian mengacu amanat undang-undang nomor 19 tahun 2013 (UU 19/2013) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani pasal 37 ayat 1 berbunyi, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban melindungi usaha tani yang dilakukan oleh petani dalam bentuk asuransi pertanian.
Banyak pihak sepakat, asuransi pertanian masih perlu dievaluasi. Seperti di ganti rugi yang disebutkan sebesar Rp6 juta per hektar. Jika dibandingkan biaya dikeluarkan petani, angka itu diyakini kurang mencukupi.
Mengutip data pemerintah, ongkos usaha tanaman tahun 2014 untuk padi sawah seharga Rp12,7 juta, sedangkan padi ladang sebesar Rp7,8 juta. Padahal petani juga perlu memenuhi kebutuhan dirinya dan rumahtangganya hingga masa panen berikutnya.
Pihak pemerintah sendiri ketika akan menambah subsidi, juga berpikir ulang karena akan membebani anggaran pendapatan dan belanja negara (ABPN).
Asuransi pertanian sendiri hanya memberikan perlindungan terhadap risiko gagal panen. Sedangkan resiko petani di negara ini juga dihinggapi tantangan harga jual rendah. Seperti harga karet yang anjlok, pemerintah belum bisa berbuat banyak untuk membantu petani. Ditambah lagi, harga pupuk yang tinggi dan benih unggul yang mahal.
“Dengan segala kelebihan dan kelemahan asuransi pertanian, tetap saja banyak petani Kalbar menunggu implementasi nyata di lapangan,” pungkas Zuni. (Gemawan-Mud)