Semua dimulai dari jejak relawan. Setapak demi setapak hingga direktur. Keberadaannya mengubah watak organisasi. Lebih berperspektif gender. Teror dan intimidasi makanan hari-hari. Tetap berdiri tegak di jalur pemberdayaan jadi sikap berani perempuan aktivis Kalbar.
Tak bisa dipungkiri, pendidikan dan latar belakang keluarga mencipta sikap dan cara pandang seseorang. Kondisi itu menempa orang sekuat baja atau selembut sutera. Begitu pun dengan Laili Khairnur, Direktur Lembaga Gemawan. Sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang didirikan anak-anak muda dan aktivis kampus di Kalbar.
Terlahir dari keluarga pendidik di Sambas. Ayah bernama H Tajuin Sulung. Ibu bernama Karimah Binti Satok. Laili nomor empat dari lima bersaudara. Dua perempuan dan tiga lelaki.
Bapaknya mantan kepala sekolah SMP 2 di Sambas. Sekolah favorit di Sambas. Sempat jadi anggota Masyumi, partai Islam. Salah satu pelopornya, Muhammad Natsir. Namun bapak aktif di Muhammadiyah sebagai pilihan organisasi kemasyarakatannya.
Latar belakang itu, membuat Laili kenal dan bersinggungan dengan politik sedari kecil. Kerabatnya orang politik. Fachri Satok, Ketua DPRD Kalbar pertama, abang ibunya. Keluarga dekat dengan isu-isu politik.
Dahulu, Sambas merupakan kecamatan. Kecil dan jauh dari akses apa pun. Ibukota Sambas di Singkawang. Setelah pemekaran, Sambas jadi kabupaten tersendiri dengan ibukota di Kota Sambas.
Ia jarang ke Pontianak. Lebih banyak belajar di rumah.
“Aku lebih banyak belajar dan dapatkan nilai-nilai dari Bapak,” kata Laili.
Ibunya meninggal saat ia berumur 11 tahun. Kepergian sang ibu, sangat mempengaruhi psikologi dan ruang sosial di keluarga.
Orangtua lelaki memainkan peran publik dan domestik. Sebagai bapak dan ibu. Hal itu sesuatu yang sulit. Begitu pun bagi anak perempuan. Ada hal-hal khusus yang terkadang tak nyaman dibicarakan dengan ayah. Terutama menyangkut hal keperempuanan. Misalnya mengenai haid pertama.
Ada perasaan bingung. Harus cerita ke siapa. Akhirnya, ia bercerita pada ayahnya. Sang ayah pun bingung harus bicara apa. Ia hanya menyarankan anak membeli pembalut.
Kehilangan figur ibu sangat berat. Tapi di balik itu, ada jiwa saling menguatkan dan melindungi. Kondisi itu membuatnya untuk tampil memimpin.
“Mengambil aksi terhadap situasi,” kata Laili.
Pengalaman masa kecil di Sambas sangat berkesan. Ia tinggal di rumah nenek. Sebagian besar lingkungan hidup di bawah rata-rata. Banyak dari suami tetangga yang juga masih kerabat dekat ibunya bekerja di PT. Ini sebutan bagi pekerja di pabrik kayu. Para istri harus berperan sebagai ibu dan ayah bagi anak.
Melihat kondisi itu, ayah selalu berpesan pada anak, agar selalu berbagi dengan tetangga. Dalam urusan makanan atau apa pun. Apa yang dimakan keluarga ini, bakal diberikan pada tetangga. Hidup tak bisa sendiri. Harus peduli dengan orang lain. Urusan kemandirian, dari kecil sudah diajari mandiri. Keadaan mengondisikan.
“Karena itulah, setiap situasi harus direspons,” kata Laili.
Suatu ketika, keluarga pindah ke lingkungan lebih sepi. Sebagian besar tetangga orang Tionghoa. Beda budaya, agama dan lainnya. Dari sana, ia belajar pluralisme. Hal itu membuatnya terbuka dan berteman dengan siapa saja. Saling memberi dengan tetangga merupakan hal biasa.
Bertemu Aktivisme
Masuk kuliah jurusan Tarbiyah, IAIN Sunan Kalijaga, angkatan 1993, Laili bergaul dan kenal banyak orang. Salah satunya senior dari Madura. Ia menganggap orang itu saudara angkat. Pada 1998, ia ikut seniornya ke Madura. Padahal, saat 1997, ada kerusuhan antarkomunitas di Kalbar. Banyak teman menyarankan, ia tak pergi ke Madura. Bisa gawat. Laili yakin saja.
“Kalau kita berbuat baik, alam juga akan berbuat baik,” katanya.
Setiba di Madura, ada orang bertanya. Ia berasal dari mana? Dijawabnya dari Sambas. Mereka heran dan menyambut baik kedatangannya. Ia baik-baik saja. Sebab, bukan bagian dari orang yang bertikai.
Laili juga ikut berbagai lembaga penelitian. Ia ikut relawan untuk survei. Salah satunya, Institute Development and Economic Analysis (IDEA) Yogyakarta. Saat itu ketuanya Revrisond Baswir. IDEA lebih banyak bergerak ke isu anggaran dan korupsi.
Laili pernah ikut survei kecenderungan pemilih di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Saat itu, LP3ES lembaga besar dan disegani. Punya terbitan Majalah Prisma. LP3ES jadi barometer ilmu ekonomi dan sosial. Banyak orang cerdas menulis di Majalah Prisma.
Laili menyelesaikan kuliah selama 5,5 tahun. Bukan berarti tak bisa. Semua pelajaran sudah diselesaikan. Kalau pun membuat skripsi, ia tak mau biasa. Ia membuat skripsi studi literatur, agar dapat nilai A. Skripsi kuantitatif paling banter dapat nilai B.
Ia dapat mempertahankan skripsinya dengan baik. Diberi nilai 80 lebih. Dapat nilai A. Nilai akhir kuliah, dapat IP 3,49. Tak sampai cumlaude.
Selesai ujian skripsi, ada tradisi memberikan buku pada dosen. Buku diserahkan pas minta tanda tangan skripsi. Nah, saat memberikan buku, dosen tanya ke Laili. “Oh, pernah jadi salah satu volunteer di LP3ES?” tanya dosen sambil membuka CV Laili.
Dosen merasa bangga telah menguji mahasiswa yang pernah bersentuhan dengan LP3ES. Sang dosen minta Laili tanda tangan di buku yang diberikan. “Jadi, kita tukaran tanda tangan,” kata Laili.
Buku yang diberikan ke dosen berjudul Rethinking Islam, karya Muhammad Arkoun. Saat itu, Arkoun sedang jadi bacaan populer.
Selesai kuliah, ia bingung. Tak ada kegiatan. Laili kembali ke Sambas. Setahun tak melakukan apa pun. Akhirnya, ia ingin ambil kuliah S2. Berangkat tes ke Yogyakarta.
Sambil menunggu tes, ia ketemu beberapa teman sesama aktivis. Ia merasa takjub. Teman banyak kemajuan. Aktivitas luar biasa banyak.
Suatu ketika IDEA Yogyakarta menyelenggarakan workshop nasional pelatihan anggaran. Peserta dari seluruh Indonesia. Tak ada peserta dari Kalbar. Akhirnya, Laili mewakili Kalbar. Teman memberitahu, ada LSM di Kalbar. Namanya Gemawan.
Ia berada di persimpangan. Mengambil kuliah atau beraktivitas di LSM. Kalau ambil kuliah S2, ia akan tertinggal dua tahun. Sementara teman satu angkatan sudah sangat maju, dari segi kegiatan dan jaringan. Ia memutuskan tak ambil beasiswa S2. Padahal sudah lulus tes.
Ia pulang ke Sambas. Ayahnya tersenyum saja saat diberitahu, kesempatan S2 tak diambil. Orangtua berpendapat, asal ada penjelasan yang bisa diterima, tak masalah. Orangtua memberi saran, tak apa kerja swasta asal bisa mengatur keuangan. Begitu pun saat memutuskan tak ingin kerja sebagai PNS. Kenapa?
“Aku tak senang lihat seragam. Seragam seperti pengekangan,” kata Laili.
Aktivis Kalbar Bergelut di Gemawan
Sebelum memulai karier sebagai aktivis di LSM, Laili pernah jadi dosen di Universitas Muhammadiyah Pontianak. Setahun mengajar, ia dapat tawaran sebagai dosen tetap. Syaratnya, tak boleh beraktivitas di luar kampus. Ia bingung lagi, karena harus memutuskan. Tugas dosen ditinggalkan.
“Saya lebih senang cari di luar dari pada dikekang,” kata Laili.
Suatu ketika, ia menghubungi Yudhi, anggota Gemawan. Ia dapat nama Yudhi dari teman di Yogyakarta. Gemawan masih labil. Terkadang ada program, kadang tidak.
Laili memutuskan bergabung di Gemawan pada 2000 bersama sejumlah aktivis Kalbar. Ia jadi relawan bergaji Rp150 ribu sebulan. Itu uang perjalanan saja. Ia menikmati dan senang. Tahun 2003, ia sudah datang ke Dusun Camar Bulan, Desa Temajuk. Jatuh dari motor. Menyeberangi jalur pantai dan hujan-hujanan jadi hal biasa.
Awalnya Gemawan punya beberapa divisi. Setiap divisi punya kantor sendiri. Tahun 2004, Laili membuat Divisi Perempuan di Gemawan. Ada kuota 30 persen bagi badan pelaksana harus perempuan. Laili mengubah Gemawan yang awalnya macho menjadi adil gender.
Tahun 2005, Gemawan menyatukan semua divisi dalam satu kantor. Penggabungan membawa keuntungan tersendiri. Gemawan jadi lebih terkoordinasi. Tak terlalu boros dalam pengeluaran pendanaan sewa kantor. Laili ditunjuk sebagai Direktur.
Awalnya, tak banyak orang mau diangkat sebagai Direktur Gemawan. Tugasnya berat. Program masih sedikit. Direktur harus mengembangkan organisasi. Cari uang buat program. Sama dengan sebuah usaha. Cari dana sendiri untuk aktivitas.
Lalu, bagaimana cara mengelola organisasi LSM seperti Gemawan?
“Ada kebersamaan dalam mengelola Gemawan,” kata Laili.
Kalau ada masalah selalu diselesaikan secara bersama. Ada rasa kekeluargaan terbina. Malah, orang di Gemawan kalau ada masalah, biasanya ke teman di Gemawan. Bukan ke rumah atau keluarga. Untuk membina kebersamaan, ada family gathering setahun sekali. Seluruh keluarga yang bekerja di Gemawan, ikut acara tersebut.
Kebersamaan dilakukan dalam menyelesaikan pekerjaan. Harus saling bantu. Setiap orang diberi pemahaman tidak mengerjakan pekerjaan sendiri. Selama masih ada yang bisa dibantu, mesti saling membantu.
Ada nilai kekeluargaan diterapkan. Saling mengenal sesama teman. Tujuannya, menutupi kekurangan. Karenanya, harus saling menguatkan. Ia memberi contoh. Ada banyak LSM atau lembaga, akhirnya tidak bisa bertahan karena konflik internal.
Sebagai aset penting organisasi, staf diperlakukan secara manusiawi. Mereka ditingkatkan keahliannya. Ada kesempatan dan keadilan diberikan. Setiap orang dapat jatah sesuai haknya. Misal, orang diberi kesempatan meningkatkan kemampuan. Kalau ada pendidikan, setiap orang dapat kesempatan. Digilir sesuai kemampuan dan kebutuhan.
“Kita coba meminimalisir konflik dengan distribusi yang adil, kata Laili.
Kalau urusan diteror dan dipergunjingkan, menjadi hal biasa. Kalau orang tak kuat akan mundur. Ia yakin bahwa orang di Gemawan lebih kuat dari peneror. Tapi aturan harus ditegakkan. Ada aturan main yang harus selalu ditegakkan dan dihormati. Kalau pemimpinnya baik, bawahan akan berbuat baik. Pemimpin harus jadi contoh.
Ia selalu berusaha jadi orang yang pertama datang ke kantor. Kecuali ada kegiatan di luar kantor atau ada urusan penting lainnya. Berusaha pulang paling terakhir. Hal itu untuk menunjukkan, pemimpin memang seperti itu. Ada pengertian sesama mereka.
Laili senang menulis. Namun, sekarang ini, waktunya tersita menangani berbagai pekerjaan di Gemawan. Dalam sehari, ia harus membaca semua surat elektronik (e-mail) dan membalasnya. Mengedit dan mengevaluasi laporan. Kalau ada pekerjaan staf belum selesai, ia harus cari solusi dan strategi menyelesaikan hal itu.
Ada satu yang khas pada Laili. Ia presenter yang baik. Kalau menyampaikan ide, orang akan percaya. Suatu presentasi biasa, kalau ia yang melakukan bakal berbeda hasilnya. Cara menyampaikan membuat orang tertarik. Karenanya, dalam berbagai kesempatan untuk presentasi, ia selalu maju terdepan. Tak hanya presentasi, juga menjadi pembicara dalam berbagai pertemuan mewakili Gemawan di berbagai tempat.
Hal paling berkesan selama jadi aktivis adalah, ketika masyarakat dampingan berhasil dibela. Misalnya, saat petani Sambas yang tanahnya tergusur kebun sawit PT Wilmar Group. Permasalahan itu terpublikasi hingga tingkat internasional. Pada 2007, Gemawan dan Milleudefencie (Friends of the Earth Netherlands) memaparkan temuan di lapangan ke Belanda. Ada wawancara dengan media internasional. Seperti, The New York Times, Reuter, VARA TV (TV Belanda), dan lainnya.
Awalnya, media internasional terkejut dan agak kurang percaya. Namun, data, foto, dan temuan lapangan membuat media percaya. Seorang reporter VARA TV bercerita pada Laili, ketika berita pelanggaran PT Wilmar dimuat di media massa, rapat saham Bank Dunia untuk investasi sempat dihentikan. Peserta rapat melihat berita tersebut. Ada keguncangan terhadap peserta rapat.
“Ini menunjukkan pekerjaan Gemawan besar,” kata Laili.
Mempengaruhi pengambil kebijakan sebuah lembaga besar, seperti Bank Dunia. Bahkan, Presiden Bank Dunia langsung mengirim surat ke Laili sebagai Direktur di Gemawan, dan signatories atau penandatangan keluhan lain di Indonesia dan negara lainnya. Karena ini kerja bersama.
Laili dan anggota Gemawan lain tak pernah berpikir, efeknya hingga seperti itu. Yang mereka ingin hanya, tanah warga kembali dan hutan tidak diganggu investasi perkebunan sawit. Siapa pun yang berinvestasi di mana pun harus menghormati adat setempat, hak masyarakat setempat, aturan dan hukum yang berlaku di Indonesia, serta lingkungan. Sebab bila hal tersebut tidak dilakukan, bakal berdampak pada kerusakan lingkungan dan timbulnya masalah sosial.
Meski bergelut dengan berbagai buku dan aktivitas pemberdayaan, Laili tak terlalu mengidolakan tokoh. Setiap tokoh punya kekurangan dan kelebihan. Mereka hanya inspirator. Ia yakin setiap orang dapat menginspirasi orang lain. Saudara, keluarga atau orang di sekitar, bisa memberikan inspirasi. Baginya, siapa saja bisa memberi inspirasi.
Ia memberi contoh. Seorang ibu tak lulus SD. Ia keluar sekolah karena tak ada biaya. Saat punya anak, ia ingin menyekolahkan anak setinggi-tingginya. Ada keinginan anak sukses. Ada perspektif memutus mata rantai ketidakberdayaan. Baginya, hal itu sangat menarik. Mewujudkan sesuatu jadi kenyataan, butuh strategi besar.
Sumber: Inside Pontianak