Kuota 30% Representasi Perempuan Tidak Hanya di Partai Politik[1]
Syahdani Pratama[2]
Pendahuluan: Dasar Hukum Representasi Perempuan di Ruang Publik
Mengawali Tulisan dengan tema sebagaimana di atas pertama sebagai referensi dasar akan dikutip dari beberapa pasal dalam UU yang mengakui keterwakilan kaum perempuan dalam institusi pemerintahan. Adalah pasal 55 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD yang secara tegas menyebutkan daftar bakal calon yang disusun partai politik memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan. Pasal diatas kemudian diperkuat lagi pada Pasal 56 ayat 2 yang menyebutkan bahwa dalam setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan.
Berangkat dari dua pasal diatas dapat dipahami bahwa secara hukum, negara telah mengakui keterwakilan kaum perempuan dalam ruang publik di pemerintahan. Walaupun masih terlihat begitu formal, namun pengakuan adanya keterwakilan kaum perempuan dalam institusi pemerintahan sebagaimana dalam dua pasal diatas menunjukan langkah maju dari gerakan gender secara keseluruhan. Dimana kaum perempuan harus keluar dari bingkai lama kebudayan patriarkhi yang membuat mereka seolah-olah menjadi klas nomor dua (second clas) dalam kehidupan social masyarakat.
Dua pasal di atas jika ditilik secara lebih jauh sesungguhnya tidak hanya menginginkan keterwakilan kaum perempuan secara formal. Namun lebih dari itu melalaui keterwakilan kaum perempuan dengan kouta sekurang-kurangnya 30 % dalam institusi pemerintahan (DPR, DPD dan DPRD) mereka dapat menjadi representasi dari kaum perempuan secara keseluruhan. Sehingga keterwakilanya dalam institusi yang memiliki peran strategis tersebut dapat menjembatani masalah-masalah khusus kaum perempuan agar mendapat perhatian yang lebih serius dalam institusinya. Lebih dari itu keterwakilanya juga dapat menjadi stimulus bagi kaum perempuan secara keseluruhan agar keluar secara perlahan dari kebudayaan patriarkhi lama. Sehingga keterwakilan kaum Perempuan tidak hanya dalam ruang – ruang politik melalui partai politik, namun benar-benar menjadi sebuah gerakan seluruh masyarakat dimana dalam seluruh ruang public baik di kota maupun di desa kaum perempuan tampil dan ambil bagian secara aktif.
Kontradiksi Representasi Perempuan
Namun demikian apa yang diinginkan dalam pasal-pasal di atas ternyata masih berlawanan dengan fenomena yang terjadi pada saat ini. Sebagai satu contoh kasus pada pesta Demokrasi 2014 kemaren, Keterwakilan Perempuan hanya dijadikan sebagai pemenuhan Regulasi. Tampilnya perempuan sebagai calon legislative dinilai belum merepresentasikan golonganya, namun masih merepresentasikan sebagai wakilnya yaitu partai politik yang mengusungnya. Jika demikian yang terjadi maka alih-alih perempuan yang duduk di meja legislative dapat menjadi stimulus bagi kaum perempuan secara keseluruhan. Untuk benar-benar mewakili golonganya sebagai perempuan saja masih perlu dipertanyakan.
Fenomena diatas terjadi tidak hanya sebagai bentuk kelemahan dari perempuan yang tampil dalam Ruang publik sebagai calon legislatif. Lebih dari itu belum adanya kesadaran tentang pentingnya keterwakilan kaum perempuan juga masih menjadi masalah utama bagi kaum perempuan secara keseluruhan. Karenanya dibutuhkan satu gerakan social berbasiskan pemberdayaan bagi kaum perempuan sehingga lahir kesadaran akan keterwakilan kaum perempuan dalam semua ruang publik. Seperti dikatakan oleh Karls (1995) bahwa pemberdayaan kaum perempuan sebagai suatu proses kesadaran dan pembentukan kapasitas (capacity building) terhadap partisipasi yang lebih besar bagi kaum perempuan, kekuasaan dan pengawasan dalam pembuatan keputusan dan tindakan transformasi agar menghasilkan persamaan derajat yang lebih besar antara perempuan dan kaum laki-laki. Sehingga konsep pembangunan kemampuan perempuan yang dipergunakan harus berkembang menjadi pemberdayaan perempuan yang berarti meningkatkan kualitas dan peran perempuan pada semua aspek kehidupan baik secara langsung atau tidak langsung melalui penciptaan situasi-situasi yang kondusif sebagai motivator.
Di samping itu ada stigma yang melekat dalam pandangan umum bahwa kualitas perempuan dalam pembangunan masih sangat rendah yang menyebabkan peran kaum perempuan tertinggal dalam segala hal. Satu sisi stigma ini benar sebagai akibat dari melekatnya kebudayaan patriarkhi yang membuat perempuan merasa lemah, rendah dan tidak memiliki kepercayaan diri untuk tampil berhadapan dengan laki-laki. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan upaya dan strategi mengintegrasikan konsepsi kesetaraan gender ke dalam arus pembangunan dengan cara menempatkan perempuan sebagai subyek pembangunan. Konsepsi demikian dapat dimulai dengan melibatkan perempuan dalam pembangunan ditingkatan desa. Dimana perempuan dalam proses dan keterlibatan mereka sebagai bagian actor pembangunan Demokrasi di desa harus lebih massif, agar terjadi keseimbangan antara peran perempuan dan laki-laki.
Apalagi jika melihat peluang keterlibatan seluruh unsure masyarakat termasuk didalamnya unsure perempuan untuk ambil bagian secara aktif dalam seluruh proses pembangunan di desa sebagaimana dalam UU No 6 tahun 2014 melalaui forum musyawarah desa. Disinilah arti strategis gerakan pemberdayan perempuan sebagai bentuk dari usaha-usaha untuk mewujudkan konsepsi kesetaraan Gender. Melalaui gerakan pemberdayaan ini maka kesadaran kaum perempuan secara perlahan akan muncul dan selanjutnya kesadaran untuk tampil dalam setiap ruang public akan lahir pula.
Jika usaha ini secara sungguh-sungguh dapat dijalankan maka hambatan-hambatan yang selama ini dirasakan oleh perempuan bahwa perempuan tidak memiliki kemampuan untuk terlibat didalam pengambilan keputusan di ruang public akan hilang. Anggapan umum bahwa perempuan tidak memiliki pengetahuan dan kepantasan khususnya terkait Tata Kelola pemerintahan dari tingkat desa hingga nasional, menyebabkan potensi dan suara perempuan tidak didengar dan diabaikan juga dapat dihilangkan. Alhasil ruang-ruang public yang selama ini telah diupayakan dengan berbagai peraturan, kebijakan dan program pemerintah agar perempuan dapat berpartisipasi akan terwujud. Sehingga kuota 30% tidak hanya berjalan secara formal dalam ruang publik melalui partai politik, namun telah berubah menjadi kuota keterwakilan yang substansial dan merata di seluruh ruang publik tanpa terkecuali.
Dari seluruh uraian diatas gerakan masyarakat sipil Lembaga Gemawan-Satunama-UNDEF beserta Aliansi perempuan Kubu Raya untuk Demokrasi mengajukan beberapa Rekomendasi agar kuota 30% perempuan tidak hanya berjalan sebagai kebutuhan formal dan tidak hanya pada partai politik namun berjalan secara substansial dan terjadi pada seluruh ruang publik.
Rekomendasi untuk Representasi Perempuan di Ruang Publik
- Pemerintah daerah Harus membuat Regulasi tentang asas keterwakilan perempuan di pemerintah desa secara khusus berbentuk PERDA 30% Representasi Perempuan di pemerintah desa.
- Pemerintah daerah harus memfasilitasi kaum perempuan dalam hal ini untuk meningkatkan kapasitas mereka agar dapat berperan secara maksimal.
- Adanya gerakan perempuan secara massif di konteks Kalimantan barat secara utuh agar peran meraka menjadi penting dalam proses-proses pembangunan. Kaum perempuan tidak bisa hanya di anggap sebagai objek pembangunan secara utuh.
- Perlu diberikan kesempatan seluas-luasnya bagi kaum perempuan untuk dapat mengakses dan meningkatkan partisipasinya dalam tata kelola pemerintahan desa.
- Perempuan perlu membuktikan kapasitas dan kapabilitasnya dalam keterlibatan mereka dalam sebuah pemerintahan agar mampu membangun trust dari masyarakat desa.
- Pemerintah daerah harus lebih responsif dan tanggap dalam mendengarkan suara-suara perempuan, agar hak dasar mereka sebagai warga negara dapat terpenuhi sebagaimana mestiya.
[1] Tulisan ini di terbitkan di Pontianak Post, tanggal 30 Januari 2015