IUP dioabral kepala daerah. Hanya 33,3 persen saja yang di realisasikan.
Praktik illegal menjamur di sektor perkebunan. Lahan rusak tergerus.
Gabungan LSM mulai bergerak. Apakah kinerja Satgas?
Pontianak. Dugaan korupsi sektor perkebunan di Kalbar yang dikemukakan koalisi Anti Mafia Perkebunan, membuat pihak Dinas Perkebunan (Disbun) Propinsi Kalbar kalang kabut. Data terbaru.
“saya jangan dulu komentar. Nanti masalahnya jadi kisruh.” Ujar Ir Hiarsolih Buchori MM, kepala Disbun Kalbar kepada Equator, Rabu (6/7).
Pun demikian Hiarsolih, mengakui ada sejumlah perkebunan sawit yang bermasalah dalam hal pemanfaatan hutan untuk lahan perkebunan di areal terlarang, seperti hutan lindung. “itu sudah lama. Ada beberapa sudah direvisi oleh kepala daerah. Sampai mana proses revisinya, saya tidak tahu,” tutur Hiarsolih.
Berdasarkan data Dinas Perkebunan Kalbar, luas Izin Usaha Perkebunan (IUP) di Kalbar mencapai 2.1 juta hektar. Namun tidak semua luas lahan tersebut sudah di garap oleh perusahaan pemohon izin, “ada yang belum beroperasi. Yang sudah tertanam (ditanami kelapa sawit, red) baru sekitar 700 ribuan hektar,” katanya.
Dengan demikian terdapat 1,4 juta hektar lahan yang tak ditanami dan belum diketahui peruntukannya, atau hanya 33,3 persen yang dilanjutkan melalui penanaman pasca IUP diterbitkan.
Terhadap perusahaan yang menggarap lahan di luar areal semestinya. Hiarsolih mengakui sudah sering menyampaikan kepada pihak-pihak terkait agar selektif menerbitkan izin perkebunan. Sayang persoalan ini tampaknya tidak diikuti dengan sungguh-sungguh.
“selain memerhatikan kawasan hutan, pemberi izin harus melakukan penyaringan yang ketat terhadap pemberian izin perkebunan kepala sawit di daerahnya masing-masing,” imbuhnya.
Terhadap perusahaan perkebunan yang melakukan dengan menggarap lahan diluar areal semestiny, Hiarsolih berharap kabupaten sebagai pemberi izin bertindak. Kabupaten tidak boleh membairkan pelanggaran itu terus terjadi.
“sesuai Permentan Nomor 7 Tahun 2007, kabupaten punya kewenangan untuk menilai perusahaan perkebunan apakah melakukan pelanggaran atau tidak. Jika ada pelanggaran, harus diberikan teguran,” tuntasnya.
Sementara Koalisi Anti Mafia Perkebunan yang dimotori Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama enam LSM di Kalbar (Kontak Rakyat Borneo, Walhi Kalbar, Gemawan, Yayasan Titian, Riak Bumi, dan LPS-AIR), telah menganalisis dan mengumpulkan data dugaan korupsi sektor perkebunan sawit di Kalbar.
Modusnya bermacam-macam, mulai dari pengurusan perizinan hingga pembiaran beroperasinya perkebunan sawit tanpa prosedur yang benar.
“Bupati sebagai kepala daerah seharusnya tidak melakukan pembiaran. Jika ada perusahaan yang beroperasi melanggar aturan, harus dihentikan operasinya tegas Ir Sy Izhar Assyuri, Wakil Ketua Komisi B DPRD Kalbar kepada sejumlah wartawan di kantor, kemarin.
Sebagai orang yang mengeluarkan izin, Izhar mengharapkan para bupati di Kalbar harus punya komitmen untuk benar-benar mengevaluasi izin perkebunan yang beroperasi di daerahnya. Bupati harus melihat tindak-tindak penyelewangan atau pun penyalahgunaan kewenangan, serta hak perkebunan yang melampaui batas.
“kalau memang di tingkat bupati tidak memungkinkan, kita harap di tingkat pengambil keputusan lebih tinggi berkomitmen menuntaskan persoalan ini,” imbuh Izhar.
Koalisi Anti Mafia Perkebunan memperkirakan kerugian Negara akibat pembukaan 1,3 juta hektar lahan perkebunan sawit di kalbar sejak beberapa tahun terakhir mencapai sekitar Rp 70 Triliun.
Enam Modus korupsi yang umumnya terjadi di sektor perkebunan yakni suap untuk memperoleh izin, mark up dalam pengadaan bibit sawit, usaha perkebunan fiktif, dan penghindaran atau manipulasi pajak dari sektor perkebunan.
Khusus untuk Kalbar, ada tiga modus yang kita temukan.
Masing-masing suap untuk memperoleh izin, pemberian izin untuk keluarga atau kroni kepala daerah, serta pembiaran beroperasi tanpa izin.
Izhar menegaskan turunnya tim gabungan mafia kehutanan pimpinan kementerian kehutanan dalam membongkar praktik penyalahgunaan kawasan hutan, teramasuk lahan perkebunan ke kalbar beberapa waktu lalu, diharapkan harus ada tindak lanjut.
“kita melihat persoalan terjadinya kesalahan prosedur pemanfaatan kawasan hutan memang ada. Kepala daerah di beberapa kabupaten merevisi ajuan mereka tentang RTRWK yang nanti akan menjadi bagian dari rencana tata ruang propinsi,” jelasnya.
Izhar menambahkan, tidak semata-mata kesalahan prosedur, dirinya juga melihat ada perusahaan yang melakukan tindakan ilegal. Beberapa perusahaan menggarap lahan masuk ke batas hutan produksi dan hutan lindung.
“Salah satunya yang sedang kita urus di Komisi B adalah PT Ceria Prima, yang anak perusahaannya Ledo Lestari di Bengkayang. Persoalan perusahaan itu masuk ke hutan produksi dan hutan lindung,” bebernya.
Tak sebatas itu, Izhar juga mengindikasikan ada pelanggaran yang lain dilakukan PT LL di Bengkayang. “Perusahaan tidak memberikan lahan sebanyak 20 persen ke masyarakat, serta tidak mengganti tanam tumbuh milik masyarakat yang digarap, sesuai diamanatkan PP 10 Tahun 2010,” Pungkasnya. (bdu)
Sumber: Equator, kamis (7/7/2011)