batas desa

BATAS DESA: Kades Mangat Baru, Sius (kiri, depan) di acara pembukaan sekolah tata ruang desa bersama lembaga Gemawan di Gedung Serbaguna Mangat Baru, Kecamatan Dedai, Kabupaten Sintang, Rabu (10/02/2016). FOTO: Aloysius Kusnadi/GEMAWAN.

Sintang, GEMAWAN.
Ihwal batas desa era otonomi desa yang semakin luas ini, menjadi persoalan yang sensitif. Bukan hanya desa-desa di kabupaten Sintang, namun soalan ini juga menjadi pekerjaan rumah beberapa pemerintah desa di Indonesia.

Bahkan kadang kala perlu kebijakan keras, demi penuntasan batas desa. Berkembangnya segala aktivitas warga desa, ekspansi dunia usaha, pendangkalan sungai atau parit yang dulu menjadi ciri batas desa diuruk perusahaan tanpa permisi, dan lain-lain, memerlukan kebaikan hati demi menuntaskannya.

Seperti kejadian di kabupaten Kayong Utara, Bupati H Hildi Hamid perlu tangan langsung karena ada beberapa desa bandel yang enggan menuntaskan polemik batas desanya sekian lama, berdalih lebensraum (ruang penghidupan) ekonomi warga desanya.

Pemkab Kayong Utara juga menegaskan, seluruh pemerintah desa wajib memiliki alat GPS dan memiliki orang yang bisa menggunakannya untuk pemetaan. Akhirnya akhir 2015, pemerintah dengan menurunkan berbagai kekuatan dan dialog-dialog, batas-batas antardesa di Kayong Utara sudah selesai.

Batas desa sendiri harus memiliki peta berdasarkan skala yang dapat dipertanggungjawabkan dan mendapat persetujuan kepala daerah, sebelum diundang-undangkan menjadi peraturan desa (Perdes). Demi perencanaan pembangunan desa, bagian dari lebensraum kabupaten, provinsi, hingga pemerintah pusat.

Demikian sebagian dari amanat undang-undang nomor 26 tahun 2007 (UU 26/2007) tentang penataan ruang dan UU 6/2014 tentang desa, desa wajib mempunyai tata ruang desanya sendiri.

Ihwal tantangan dalam pemetaan tata ruang wilayah desa, diakui Kepala Desa (Kades) Apin Baru, Marlinus.

“Batas desa merupakan wilayah yang sangat sensitif. Sebelum kita mengambil titik batas pemetaan, masalah batas dengan desa lain, terkadang sering menjadi polemik antara dua desa,” kata Marlinus.

“Adapun masalah batas yang hanya begeser 4 sampai 5 meter, juga bisa menimbulkan konflik antar desa. Karenanya perlu ketelitian untuk batas tersebut,” ungkap Marlinus.

Hal senada disampaikan Kordinator Pemetaan Gemawan, Mawardi, terkait tapal batas desa sebelumnya memang harus sudah dikordinasikan serta disepakati antardesa tersebut, baik itu batas perkebunan atau batas hutan.

“Pemetaan partispatif inilah juga menjadi langkah alternatif bagi masyarakat dalam menentukan tapal batas desanya, agar desa cepat melaksanakan amanah UU 6/2014 tentang Desa, terkait tata ruang desa tersebut,” tutur Mawardi.

“Kami dari lembaga Gemawan akan membantu masyarakat desa dalam pelaksanaan teknis terkait tata ruang desa. Sebagai acuan bagi masyarakat desa dalam rancangan pembangunan desa,” tambahnya.

Kades Mangat Baru, Sius mengatakan pemetaan partisipatip tersebut menjadi awal langkah terbaik desa dalam menjalankan amanah UU Desa. Sebab masih banyak juga desa yang belum punya tata ruang desanya.

“Kami dari pihak pemerintah desa dan warga desa, sangatlah apresiasi dan mendukung penuh dengan kinerja teman-teman dari lembaga Gemawan dalam membantu desa, terkait tata ruang,” ujar Sius.

Tim Gemawan sendiri, selain menyiapkan tim pemetaan, juga membawa puluhan alat GPS, mengantisipasi warga desa yang tidak punya GPS.

Penulis: Welli Arma
Editor: Mahmudi

Kades Marlinus: Batas Desa Sangat Sensitif