Tingginya potensi korupsi penyaluran dana desa menjadi perhatian berbagai pihak. Termasuk di Kalimantan Barat. Pemerintah diminta melakukan evaluasi secara menyeluruh agar program untuk pembangunan masyarakat desa ini berjalan sesuai harapan.
Desakan ini muncul setelah operasi tangkap tangan kasus suap dalam kaitan dugaan penyalahgunaan dana desa di Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur.

Manajer Program JARI Borneo Barat, Faisal Reza, mengatakan baik alokasi dana desa (ADD) maupun dana desa (DD), penggunaannya harus benar-benar disandarkan pada kepentingan masyarakat desa. Karena itu memang hak desa.
Jangan sampai justru jadi alat bargaining politik bagi para pejabat seperti kepala desa, bupati atau bahkan penegak hukum. Hal tersebut, lanjut dia, sudah terjadi di Kalbar. “Bupati menyalurkan uang, kemudian menjadi APBDes dengan alasan harus sesuai dengan visi misi bupati. Begitu. Ada dua kasus di Kalbar, pertama jadi alat komoditas politik, meng-kapitalisasi sebagai modal politik ke depan, praktik itu terjadi,” terangnya kepada Pontianak Post, Jumat (4/8).

Selain itu, hal krusial lain yang dinilai perlu diperhatikan terkait masalah ini adalah soal sumber daya manusia (SDM). Pemerintah desa masih terhitung baru mendapat anggaran yang besar. Sementara SDM-nya masih lemah. Salah satu contoh adalah untuk laporan keuangan. Tenaga di desa tentu perlu belajar akuntansi.

“Jika salah administrasi, kemudian bupati meminta inspektorat melakukan audit. Kepala desa kemudian bertemu bupati, di sana kembali bisa terjadi bargaining, misal kalau tidak nurut akan dilaporkan dan lain-lain,” katanya.

Dari sisi penegak hukum juga demikian. Kejaksaan tentu mempunya tim pengendalian yang memantau. Termasuk pula laporan dari pihak lain seperti LSM. “Akhirnya bisa terjadi bargaining lagi, dari contoh dua kasus tersebut,” paparnya.
Faisal mendorong aspek pengawasan juga perlu ditingkatkan. Karena itulah ada tenaga pendamping desa yang fungsinya memberikan asistensi terhadap pengelolaan dana desa. “Fungsi pendamping itu sudah sejauh mana,” tanyanya.

Kemudian setelah pengawasan, yang juga tak kalah penting adalah peningkatan kapasitas aparatur desa. Karena akan percuma jika pengawasan baik tapi kapasitas pengelolanya tidak ditingkatkan. “Peningkatan kapasitas itu penting, karena ini belum berbanding lurus, yang mengawasi banyak tapi yang meningkatkan kapasitas sedikit,” tambahnya.

Hal terakhir yang disoroti adalah perlunya review terhadap praktik kebijakan penyaluran dana desa. Selain diketahui oleh Badan Permusyawaratan Desa (BPD), juga harus ada transparansi ke masyarakat. Kepala desa harus melakukannya.
“Ada kewajiban membuka atau transparansi. Seperti memasang baliho pengumuman untuk tiap kegiatan, seperti plang proyek. Kepala desa harus buat itu. Kalau sudah transparan maka tidak bisa jadi alat bargaining,” pungkasnya.

Hal serupa diungkapkan Aktivis Gemawan, M Zuni Irawan. Ia mengatakan, kondisi di lapangan, secara umum pemerintahan desa masih belum terbuka terkait penggunaan dana APBDes. Padahal pemerintahan desa wajib menginformasikan atau menyosialisasikan penyelenggaraan pembangunan, baik melalui media informasi, pertemuan, website, maupun papan pengumuman.
Keterbukaan informasi tentang perencanaan dan pembangunan adalah syarat utama dalam tata kelola pemerintahan yang baik di desa. Hal itu agar ada partisipasi masyarakat dalam menilai maupun mengawasi pembangunan di desa, tidak hanya oleh BPD. “Semua bisa melalukan pengawasan apakah pembangunan tersebut tepat pada sasaran atau justru ada indikasi korupsinya,” ungkap Zuni.
Salah seorang pendamping desa di Kalbar yang tak ingin disebutkan namanya mengungkapkan, penggunaan Dana Desa (DD) cukup rentan mengarah pada tindak korupsi atau kerugian negara. Pengalokasiannya yang lebih besar pada kegiatan pembangunan (fisik) bisa menjadi celah.

Seperti contoh, kata dia, kadang kepala desa kurang optimal memfungsikan staf desa atau yang disebut tim pengelola kegiatan. “Semua kepala desa yang belanja, atau mempercayakan semua pada satu konsultan, sementara tidak semua pekerjaan perlu konsultan,” katanya, Jumat (4/8).
Selain itu, terkadang ada pekerjaan yang kesannya dipaksakan sehingga dari sisi kualitas tidak bertahan lama. “Kadang baru satu tahun sudah hancur, padahal itu kan untuk kepentingan masyarakat,” tambah wanita yang sudah setahun jadi pendamping itu.
Melihat kasus di Pamekasan, Jawa Timur yang sampai melibatkan bupati dan kepala kejaksaan, ia menilai di daerahnya belum ada indikasi ke arah sana. Hanya saja sejatinya untuk penyaluran DD memang diatur melalui Peraturan Bupati (Perbub). “Mungkin di situ celahnya, mungkin ya,” tutupnya.

Terpisah anggota Komisi III DPRD Kalbar, Lutfi A.Hadi membidangi keuangan mengatakan sebetulnya permasalahan pada dana desa sudah ditemukan sejak pertama dikucurkan. KPK pernah membedah data dan mengajinya. ”Biasanya permasalahan ditemukan pada sisa dana, sistem rekrutmen fasilitator, hingga akuntabilitas atau pelaporan keuangan dana desa,” ucapnya.
Penyalahgunaan dana desa rentan terjadi karena ketidaksiapan desa mengelola anggaran. Makanya dalam menekan penyelewengan dana desa, pemerintah desa bersama aparaturnya harus mendapat bimbingan dan konsultasi oleh pemerintah daerah masing-masing.
Lutfi melanjutkan, kekurangpahaman perangkat desa tentang pengalokasian anggaran yang tepat sasaran dan belum optimalnya fungsi pendamping desa juga dapat menjadi celah penyelewengan.

β€œAnggaran dana desa terbilang sangat besar per tahunnya. Di sisi lain, pengawasan terhadap penggunaan anggaran tergolong masih lemah. Penggunaan dana desa juga menjadi wewenang penuh para kepala desa. Tak jarang muncul arogansi terkait pengelolaan dana desa,” paparnya.
Arogansi dari kepala desa sering muncul karena merasa memiliki kewenangan penuh mengelola anggaran. Uang yang dipegang tidak difungsikan bagi kepentingan masyarakat. β€œArogansi rentan dilakukan kades misalnya mengangkat struktur organisasi di bawahnya yang masih saudara-saudaranya, ada unsur kekerabatan. Sekdes saudaranya, bendahara juga demikian. Biasanya seperti itu,” ucapnya.
Celah lainnya adalah masih rendahnya kerjasama antara kepala desa dengan pihak Badan Musyarawah Desa (Bamusdes/BPD). Antara keduanya acap cekcok terkait penyaluran dana desa. Karena itu, ia berharap pengawasan tidak hanya mengandalkan pemeriksaan reguler setahun dua kali. Konsultasi dan koordinasi hendaknya dilakukan sesering mungkin.
Evaluasi Kewenangan Pemda

Sementara itu, Direktur Pelaksana Assosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Iwan Sulaiman Soelasno menyatakan prihatin atas kasus di Pamekasan. Menurutnya, dalam kasus tersebut para elite politik dan hukum ditangkap karena terlibat suap penggunaan dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.
“Kami meminta Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan evaluasi total terhadap tugas pemerintah kabupaten dalam pengelolaan dana desa,” kata Iwan, Jumat (4/8).

Iwan menjelaskan, Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa perlu direvisi terbatas pada tugas dan fungsi pemkab.
Apdesi menduga jangan-jangan praktik dugaan korupsi seperti di Pamekasan sesungguhnya juga terjadi di pemkab lainnya di Indonesia. Akibatnya, kepala desa menjadi korban dan tersandera oleh kebijakan bupati yang terlampau jauh mengintervensi pemerintahan desa. “Saatnya pemerintah pusat menjangkau langsung pemerintahan desa,” jelasnya.

Dia menyesalkan karena alih-alih melakukan tugas pembinaan dan pengawasan, pemkab di bawah bupati malah menjadikan dana desa sebagai ladang baru korupsi, kolusi dan nepotisme. “Maka dibutuhkan satuan tugas dana desa di tingkat kabupaten yang melibatkan unsur masyarakat sipil,” katanya.
Ketua Komite I DPD Ahmad Muqowan menilai ide pembentukan tim evaluasi dana desa sangat tepat untuk merespons maraknya penggunaan anggaran pendapatan belanja desa secara tidak bertanggung jawab. Bahkan, kata dia, saat ini semakin banyak kasus hukum yang bersumber atau diakibatkan oleh program pembangunan desa.

Menurut Muqowan, terbentuknya Undang-undang Desa tidak ditindaklanjuti secara tepat oleh pemerintah. Baik itu tindak lanjut dalam regulasi, kelembagaan, koordinasi di tingkat pusat dan daerah. Maupun, dalam hal pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat dan daerah terhadap pembangunan desa.
“Jika kesadaran pemerintah muncul, walaupun sudah terlambat, dan lebih baik daripada tidak ada kesadaran, maka langkah strategis yang diambil antara lain kembalikan program dan kegiatan pembangunan desa di Indonesia kepada ruh, political will dan visi misi pembentukan UU Desa,” paparnya, Jumat (4/8).(bar/den/ody)

Sumber : http://www.pontianakpost.co.id/jangan-jadi-atm-pejabat

 

Jangan Jadi ATM Pejabat
Tag pada: