Izin Eksplorasi Tambang Capai 5 Juta Hektar

PONTIANAK – Izin eksplorasi tambang cukup besar di Kalimantan Barat. Peneliti Swandiri Institute, Arif Munandar mengungkapkan, konsesi pertambangan kini mencapai luas 5 juta hektar yang diberikan kepada 721 perusahaan swasta.

Konsesi pertambangan ini tersebar di semua kabupaten di Kalimantan Barat. Ketapang adalah kabupaten dengan luas konsesi paling besar  yakni 1,3 juta hektar yang diberikan pada 156 perusahaan. Selanjutnya diususul Kabupaten Landak (86 perusahaan) dan Kapuas Hulu (73 perusahaan).

Menurut Arif, meski Ketapang memiliki potensi tambang sangat besar, namun kondisi ini berbanding terbalik dengan tingkat kesejahteraan warganya. Dari data yang ada diketahui tingkat kemiskinan di Ketapang relatif lebih tinggi dari kabupaten lain.

“Jadi tidak ada korelasi satu daerah memiliki banyak tambang dengan tingkat kesejahteraannya. Justru daerah itu semakin banyak penduduk miskinnya,” kata Arif saat memberikan pemaparan pada diskusi Problema Industri Ekstraktif di ruang Redaksi Pontianak Post, Senin (14/4).  Diskusi ini dihelat Lembaga Gemawan bekerjasama dengan AJI Pontianak.

Arif menjelaskan, banyaknya industri ekstraktif justru menyebabkan sumber daya alam yang selama ini dimanfaatkan warga semakin berkurang. “Dulu mereka bisa memanfaatkan berbagai sumberdaya hutan, seperti rotan, kayu, damar, dan lain-lain. Sekarang semua itu sudah banyak hilang. Sebagian besar warga justru menjadi buruh. Itu semua tidak meningkatkat kesejahteraan mereka,” jelas Arif.

Aktivis Lembaga Gemawan, Mursyid Hidayat mengungkapkan, sektor industri ekstraktif merupakan salah satu andalan pemerintah dalam memenuhi sumber devisa negara. Pemerintah kerap menyatakan bahwa pertambangan berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi. Namun optimalisasi kebijakan menggali sumber pendapatan negara lewat kegiatan eksploitasi potensi tambang ini bukan tanpa resiko.

“Banyak sekali dampak adanya tambang ini yang kerap tidak sebanding dengan hasil yang diterima, terutama penurunan kualitas lingkungan dan konflik lahan yang kerap mengemuka di media,” kata Dayat.

Banyak contoh dimana kerusakan lingkungan yang begitu masih terjadi di wilayah bekas pertambangan. Masalahnya, wilayah tersebut sangat sulit untuk direklamasi dan membutuhkan waktu yang sangat lama. “Biaya reklamasi wilayah bekas pertambangan itu tiga kali lipat dibanding keuntungan yang didapat. Karena itu sebagian besar perusahaan pertambangan memilih untuk tidak melakukan reklamasi pertambangan mereka,” kata Arif Munandar.

Berbagai kebijakan dikeluarkan pemerintah dari Perda No 4 tahun 2012 tentang Sinkronisasi Sektor Tambang Dan Sektor Usaha Lainnya hingga Surat Keputusan No 936 tahun 2013 tentang Perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan.

“Sektor tambang diberi keistimewaan dalam hal mendapatkan akses terhadap hutan dan lahan. Jadi setiap izin tambang yang berada dalam perizinan sektor usaha lain seperti HTI, tambang dan perkebunan sawit paling diutamakan adalah sektor tambang,” tambah Arif.

Arif menyayangkan sejumlah kebijakan yang cukup merugikan pelestarian hutan. Misalnya aturan yang memperbolehkan operasi tambang di hutan lindung yakni izin pinjam pakai kawasan.

“Sedikitnya ada hanya ada 10 perusahaan yang memiliki izin pijam pakai kawasan hutan untuk izin operasi produksi dan 5 untuk IUP eksplorasi bisa di katakan di luar itu illegal. Termasuk ada beberapa izin tambang terdapat dalam kawasan konservasi,” katanya.

Aktivis Lembaga Gemawan Muhammad Zuni Irawan mengatakan, ada indikasi korupsi dalam proses pengajuan izin pertambangan di Kalbar. Banyak perusahaan tidak mengajukan izin sesuai prosedur yang ada. Diduga sejumlah perusahaan memberikan uang suap dalam proses pengurusan izin tersebut.

“Ada banyak kasus di mana sebuah perusahaan masih mendapatkan izin eksplorasi, namun pada kenyataannya perusahaan tersebut sudah melakukan eksploitasi. Banyak tahapan perizinan yang melompat,” katanya. (her)

Sumber : Pontianak Post, Senin 14 Maret 2014

 

Izin Eksplorasi Tambang Capai 5 Juta Hektar