Perlu Pengadilan Ad Hoc
AJI Sugiarto, terdakwa korupsi kredit macet Bank Muammalat Indonesia (BMI) Rp 4,4 miliar tidak pernah mengikuti sidang (inabsentia). Sampai vonis bebas oleh hakim, Aji-pun tidak hadir. Semestinya, perbuatan inabsentia itu sudah bisa dijadikan hakim menjatuhkan hukuman kurungan.
“Ketidakhadiran terdakwa dalam proses persidangan hingga diucapkannya putusan oleh majelis hakim itu saja sudah cukup bagi majelis untuk menjatuhkan hukuman. Pasalnya, terdakwa sama saja tidak menghormati proses hukum,” kata Salman, anggota Badan pekerja Kontak Rakyat Borneo, kemarin.
Sebagaimana diketahui, usai eksepsinya diterima setahun silam, Aji Sugiarto menghilang dari Kota Pontianak. Ternyata persidangan kasus tersebut berlanjut. Selama proses sidang, terdakwa selalu tidak hadir. Bahkan, jaksa penuntut umum (JPU) yang mendapatkan tanggung jawab untuk menghadirkan terdakwa selalu tidak berhasil lantaran terdakwa kabur dan tak diketahui di mana persembunyiannya.
“Saya juga heran, kok hakim tak merasa dilecehkan dengan tidak pernah hadirnya terdakwa di persidangan. Bahkan, hingga putusan tetap tidak hadir, jelas ini jadi tanda tanya, kok bebas. Tak hadir saja sudah layak dihukum karena tak kooperatif, apalagi masalah korupsinya,” katanya.
Menurut Salman, lembaga penilai kinerja hakim ini sudah layak turun untuk melakukan evaluasi lantaran sudah terlalu sering kasus korupsi di Kalbar ini mendapatkan vonis bebas. “Bahkan, hakim yang memberikan vonis bebas terhadap korupsi selalu yang itu-itu saja. Jelas ini sangat merugikan bagi gerakan rakyat untuk memberantas korupsi,” tukasnya.
Sementara, Aktivis Antikorupsi yang tergabung dalam Lembaga Gemawan, Hermawansyah mengaku terkejut. Seingatnya hakim yang menyidangkan kasus korupsi ini sudah beberapa kali memberi ganjaran bebas terhadap terdakwa korupsi. Seperti kasus Singkawang Gate yang melibatkan sejumlah anggota DPRD Singkawang dan juga kasus kredit macet Bank BNI belum lama ini walaupun akhirnya diganjar lima tahun penjara dalam sidang banding di PT. “Bebas lagi bebas lagi, wajar kalau ada yang bilang Kalbar merupakan lahan subur praktik korupsi,” kata Wawan, sapaan akrabnya.
Menurutnya, semasif apapun upaya perlawanan masyarakat terhadap korupsi, sementara di sisi lain jaksa dan polisi juga intens untuk menjerat para pelaku, namun jika pengadilan tidak punya semangat yang sama, maka semua upaya yang dilakukan akan sia-sia.
“Jika tak ada komitmen yang kuat dari hakim, upaya untuk memberikan efek jera bagi para koruptor itu akan sangat sulit tercapai. Orang tak akan pernah takut untuk korupsi karena sudah punya gambaran hukuman yang bakal diterima,” ujarnya.
Ia mengatakan, wacana agar ada pengadilan ad hoc untuk perkara korupsi agar dibentuk di daerah menjadi begitu kuat lantaran pengadilan Tipikor-lah yang dapat mengobati kerinduan publik. “Kita rindu untuk melihat lembaga peradilan yang berwibawa yang dapat memberikan efek jera bagi para koruptor yang mencuri uang rakyat. Sudah terlalu lama kita dirugikan oleh para koruptor ini,” pungkasnya. (her)
Sumber: www.equator-news.com, Selasa, 02 Desember 2008, 02:23:00