(Pontianak)-Lembaga Gemawan menilai perumusan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Barat 2011-2030, tidak transparan dan tidak mendengarkan aspirasi rakyat. Hal tersebut dikemukkan oleh Program Manager Advokasi dan Edukasi – Gemawan, Agus Sutomo, Jumat (30/11/2012) usai pihaknya menggelar pertemuan dengan kelompok media menyoal masalah tata ruang Kalbar, di Cafe Tapaz – Kota Pontianak.
Pria berperawakan gempal ini mengatakan bahwa kegiatan ini adalah bagaimana memadukan kerja bersama antara NGO dengan media dalam mengawal proses tata ruang Kalbar, yang menurutnya tidak mengakomodir hak-hak masyarakat seperti hak lahan pertanian, hak kelola rakyat serta hak budaya. “Tapi pemerintah lebih mengakomodir pada kepentingan-kepentingan investasi,” tuturnya.
“Hal ini yang perlu dilakukan pengawalan secara bersama oleh semua pihak, terutama oleh kalangan media yang mempunyai akses lebih luas, bahkan hingga ke pemerintahan,” ujar aktivis yang akarab disapa Tomo ini.
Dari kegiatan tersebut ia berharap terpublikasikannya persoalan-persoalan yang hingga hari ini tidak terakomodir di tingkatan masyarakat serta terangkatnya proses-proses pembahasan RTRWP yang tidak transparan dan tidak menggunakan partisipasi rakyat secara utuh.
“Dampak tata ruang bagi masyarakat, jika kita merunut pada ijin perusahaan perkebunan dan pertambangan yang dikeluarkan pemerintah, maka terlihat benar sudah tidak ada lagi ruang hak-hak kelola rakyat, terutama bagi kalangan petani, nelayan dan lain sebagainya,” ungkap Tomo.
Sebagai gambaran, Tomo menceritakan pada saat Gemawan hearing dengan DPRD Kalbar bulan Juli 2012 lalu, ada masyarakat yang teriak bahwa hutan lindung harus dijaga dan dilindungi. Dalam kesempatan tersebut, menurutnya, masyarakat meminta 64 ribu Ha kawasan hutan mangrove di Kabupaten Kubu Raya harus tetap lestari. “Namun faktanya sampai hari ini ada ijin,” sergahnya.
Ia menjelaskan, hampir 800 ribu Ha yang diusulkan Pemerintah untuk dilepaskan kawasan APL-nya, terindikasi sudah mendapat ijin konsesi. Jika itu dibiarkan, maka menurutnya rakyat sebagai pemilik sah lahan tersebut, sudah kehilangan hak-haknya diatas tanah. “Boleh dibilang bahwa ini adalah modus baru dalam perampasan tanah masyarakat,” sindirnya.
Tomo menegaskan bahwa Pemerintah harus bertanggungjawab secara penuh. “Namun, kelemahan pemerintah kita hari ini, mereka tidak mempunyai database yang utuh terkait dimana saja kawasan potensi masyarakat serta dimana saja pemukiman penduduk di kawasan yang diberikan ijin,”keluhnya. Sehingga, menurut Tomo, penetapan tata ruang tidak partisipatif dan tidak mendengarkan keinginan rakyat, padahal itu diamanatkan oleh undang-undang.
Sebelumnya, dalam pemaparan Gemawan, digambarkan kondisi terkini dari perbandingan pemanfaatan lahan di Kalbar dengan kebutuhan lahan masyarakat. Wilayah daratan Provinsi Kalbar seluas 14,4 juta hektar dengan jumlah penduduk 4,3 juta jiwa. Konsesi perkebunan kelapa sawit yang dikuasai oleh 326 perusahaan seluas 4,8 juta hektar, atau hampir setara dengan luas provinsi Jambi. Izin usaha pertambangan (IUP) seluas 1,5 juta hektar telah diberikan kepada 651 perusahaan. IUPHHK-HA-HT dikuasai oleh 151 perusahaan dengan luasan 3,7 juta hektar.
Data faktual tersebut menggambarkan bahwa 529 perusahaan telah menguasai 10 juta hektar lahan, atau hampir 70% dari luas wilayah Kalbar. Dengan kata lain, tinggal 30% atau 4,4 juta hektar luas wilayah daratan yang dapat diakses oleh 4,3 juta jiwa penduduk Kalbar. Itupun masih harus dikurangi dengan kawasan konservasi dan lindung seluas 3,7 juta hektar.
Usulan revisi RTRWP Kalbar mencakup Perubahan peruntukkan kawasan menjadi APL seluas 2.359.655 Ha, Alih fungsi antar kawasan :725.448 Ha dan Perubahan APL menjadi kawasan seluas 237.581 Ha. sedangkan Rekomendasi Tim Terpadu Kementerian Kehutanan menyatakan Perubahan menjadi APL seluas 885.637 Ha, Alih fungsi antar kawasan seluas 296.508 Ha dan Perubahan APL menjadi kawasan seluas 65.941 Ha.
Gemawan menyatakan peta usulan revisi dan draft Ranperda RTRWP Kalbar belum menjawab berbagai persoalan mendasar dalam pemanfaatan ruang, diantaranya Upaya menekan laju deforestasi yang selalu meningkat tiap tahunnya, Upaya mitigasi konflik pemanfaatan lahan, Perlindungan wilayah pemukiman, pertanian tradisional, pengelolaan SDA berbasis masyarakat dan peruntukkan sentra produksi pangan, serta Adanya indikasi pemutihan penggunaan kawasan hutan yang tidak prosedural.
Lembaga ini juga menyebutkan bahwa konflik pemanfaatan lahan akibat kegiatan investasi pertambangan, HTI-HPH dan perkebunan, tidak hanya memposisikan masyarakat lokal berhadapan dengan perusahaan, akan tetapi juga dengan pemerintah daerah, bahkan antar masyarakat secara horizontal. Disamping itu, tidak jarang masyarakat berhadapan dengan aparat keamanan hingga dikriminalisasi.
Sejak tahun 2004, jumlah konflik meningkat dari 26 menjadi 104 kasus. Bahkan 70 orang masyarakat desa dan aktivis telah ditahan dengan tuduhan menolak ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Gemawan memberikan beberapa rekomendasi diantaranya pembahasan revisi RTRWP harus transparan, akuntabel dan melibatkan partisipasi masyarakat. RTRWP Kalbar harus memastikan perlindungan lahan pertanian tradisional atau sentra produksi pangan rakyat.
RTRWP Kalbar seharusnya dapat memprediksi perkembangan populasi penduduk dan kebutuhan lahan/ruang di masa datang. RTRWP Kalbar hendaknya mengatur mekanismepenyelesaian konflik pemanfatan lahan/ruang. RTRWP Kalbar hendaknya memperhatikan keseimbangan ekosistem dengan mempertahankan fungsi-fungsi hutan dan keranekaragaman hayati di dalamnya. Dan revisi RTRWP Kalbar tidak dijadikan sarana untuk pemutihan pelanggaran kawasan hutan.(mwd/rfi)
Sumber :
http://beritanda.com/nusantara/kalimantan/kalimantan-barat/10373-gemawan-perumusan-rtrwp-kalbar-tidak-transparan.html
Hari/Tanggal : Jumat, 30 November 2012