Diperlemah. Itulah kesan yang ditangkap publik saat menyaksikan serangkaian rentetan peristiwa yang dihadapi KPK. Mulai dari revisi UU KPK, pemilihan komisioner bermasalah, ditolaknya judicial review oleh MK, hingga pemberhentian sejumlah pegawai KPK karena tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Muncul satu pertanyaan: akankah ini menjadi senjakala KPK?
Cerita Akhir KPK(?)
Lembaga yang dulu dikenal super-body, bertaring gagah berani memberantas korupsi, kini perlahan tumbang, hingga terancam mati. Turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 (skor 37, peringkat 102 dari 108 negara), hingga turunnya kepercayaan publik, cukup membuat kita berpikir akan nasib pemberantasan korupsi di negeri ini.
Cerita ini bermula dari adanya inisiatif melakukan tes wawasan kebangsaan (TWK) yang diinisiasi oleh pimpinan KPK. TWK kemudian dijadikan sebagai syarat tambahan dalam alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang diatur dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021. Alih status menjadi ASN merupakan implikasi dari revisi UU KPK. Regulasi yang sempat mendapatkan reaksi keras dari publik.
Sebanyak 1.349 pegawai KPK pun akhirnya mengikuti TWK pada Maret-April lalu. TWK dilakukan KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan melibatkan sejumlah lembaga, diantaranya Dinas Psikologi TNI AD, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hasilnya, sebanyak 1.274 pegawai dinyatakan memenuhi syarat, sedangkan 75 lainnya dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Dalam pernyataan pers yang dilakukan oleh Firli Bahuri didampingi Nurul Ghufron saat menyampaikan hasil tes, tidak akan ada pemberhentian pegawai KPK. Namun nyatanya pimpinan KPK mengeluarkan SK yang pada intinya membebastugaskan dan memerintahkan 75 pegawai KPK yang ditanyakan tidak lolos tersebut untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya pada atasan sampai batas waktu tertentu.
Sejumlah pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dan diberhentikan tersebut, selain penyidik senior Novel Baswedan, terdapat beberapa nama besar dan gigih di KPK yang telah terbukti memiliki peran sangat penting dalam pemberantasan korupsi. Diantaranya Ketua Wadah Pegawai, Yudi Purnomo Harahap, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK, Sujanarko, hingga Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) KPK, Giri Suprapdiono.
Sebelum ada UU KPK baru, mereka dengan tegas menangani beberapa kasus korupsi, seperti e-KTP, kasus korupsi Bakamla, dan kasus besar lainnya yang melibatkan pejabat-pejabat tinggi di kementerian, DPR/DPRD/DPD, dan kepala daerah. Saat ini pun mereka sedang menangani beberapa kasus besar, seperti korupsi bansos yang ditangani oleh penyidik KPK Andre Nainggolan, suap benih lobster, Nurhadi, Harun Masikun yang belum diketahui keberadaannya, ditangani oleh Penyidik KPK Ronal Paul, dan sebagainya.
Lalu bagaimana dengan penanganan kasus tersebut jika mereka diberhentikan? Bisa jadi kasus yang sedang ditangani menguap begitu saja. Tentu kita tidak mau hal itu terjadi.
Pantas jika kritik bermunculan dari sejumlah kalangan atas proses dan hasil TWK. Selain materi TWK yang dinilai janggal, sebagaimana disampaikan sebelumnya, mereka yang dinyatakan tidak lolos tes merupakan pegawai KPK yang dikenal berintegritas dan memiliki prestasi di KPK. Tak heran serangkaian kekelaman KPK ini disebut peneliti ICW sebagai “skenario pembunuhan KPK” (Koran Tempo, 2021).
Bermasalah Secara Hukum
Sejak awal, TWK sudah bermasalah secara hukum karena bertentangan dengan perubahan UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Alih Status Pegawai KPK, yang merupakan turunan dari UU KPK. Tidak ada satupun menyebutkan pengalihan status tersebut harus melalui tes. Bahkan Mahkamah Konstitusi menyebutkan dalam putusan uji materiil Nomor 70/PUU-XVIII/2019 bahwa alih status menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai.
Dengan disahkannya perubahan UU KPK dan PP 41 Tahun 2020 yang berkaitan dengan status pegawai KPK, kita dapat menerjemahkan bahwa hanya membutuhkan proses pengalihan, tidak memerlukan tes apapun karena pegawai KPK sudah melewati seleksi yang ketat. Cukup mudah, namun semua dibuat sulit dan mengada-ngada dengan Peraturan KPK.
Pasal 1 angka 1 PP 41 Tahun 2020 menyebutkan bahwa pengalihan adalah suatu proses pengangkatan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sampai menjadi Aparatur Sipil Negara. Lantas, bagaimana mekanisme pengalihan tersebut? Pakar hukum Feri Amsari menjelaskan mengenai 5 tahapan mekanisme pengalihan menjadi ASN yang bersifat lex specialis, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 PP Nomor 41 Tahun 2020.
Pertama, melakukan penyesuaian jabatan-jabatan pada KPK saat ini menjadi jabatan-jabatan ASN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, melakukan identifikasi jenis dan jumlah pegawai KPK saat ini. Ketiga, memetakan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman pegawai KPK dengan jabatan ASN yang akan diduduki. Keempat, melakukan pengalihan pegawai KPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 menjadi PNS atau PPPK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kelima, melakukan penetapan kelas jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Syarat TWK diketahui baru muncul dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK yang ditandatangani Firli Bahuri. Bahkan kehadiran syarat itu ditengarai baru muncul di ujung pembahasan rancangan Peraturan Komisi.
Ketentuan mengenai TWK dimuat dalam Pasal 5 ayat (4) Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang menyebutkan, selain menandatangani surat pernyataan untuk memenuhi syarat setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan pemerintahan yang sah, dilaksanakan asesmen tes wawasan kebangsaan oleh KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Kini, alih status menjadi ASN jelas bertentangan dengan aturan lebih tinggi. Proses dan hasil TWK beserta pemberhentian sejumlah pegawai KPK oleh Pimpinan KPK secara terang-terangan dapat diyakini sebagai tindakan kesewenang-wenangan oleh pejabat negara melampaui amanat perundang-undangan.
Pembangkangan Konstitusional
Ketika polemik kepegawaian KPK semakin meruncing, Presiden Joko Widodo akhirnya angkat bicara, 17 Mei lalu. Presiden menegaskan, hasil TWK tidak bisa serta merta dijadikan landasan untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes.
Arahan Presiden kemudian tidak serta merta langsung dilaksanakan oleh KPK dan BKN, dengan dalih akan berkoordinasi terlebih dahulu. Hingga akhirnya pada 25 Mei 2021, KPK beserta lembaga negara lain yang dilibatkan, yaitu BKN, Kemenkumham, dan Kemenpan RB memutuskan memberhentikan 51 dari 75 pegawai KPK yang tak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan. Padahal sebelumnya Presiden sudah mengingatkan bahwa hasil tes wawasan kebangsaan tidak dapat serta-merta dijadikan dasar pemberhentian pegawai yang tidak lolos.
Pimpinan KPK beralasan penetapan pemberhentian 51 pegawai dikarenakan sudah tidak bisa lagi dilakukan pembinaan berdasarkan hasil penilaian asesor sehingga tidak bisa bergabung lagi dengan KPK. Bahkan disebut sudah “merah”, tanpa menjelaskan parameter penilaian yang digunakan. Kemudian 24 pegawai lainnya pun diancam diberhentikan jika dinilai gagal mengikuti pendidikan dan pelatihan bela negara dan wawasan kebangsaan.
Sesuai dengan PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS, Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN memiliki kewenangan untuk memanggil dan meminta penjelasan Kepala BKN beserta pimpinan KPK berkaitan dengan proses alih status pegawai KPK. Tidak dijalankannya amanat peraturan perundangan-undangan, putusan MK, serta arahan Presiden merupakan sebuah pengabaian dan pembangkangan konstitusional.
Menjaga Semangat Kolektif
Kritik, penolakan dan masukan yang diberikan berbagai kalangan, mulai dari masyarakat sipil, mahasiswa, hingga akademisi dan guru besar, tidak lain merupakan wujud cinta yang diberikan – tidak hanya untuk 75 orang dan KPK semata, melainkan untuk mewujudkan negeri ini bebas dari korupsi. Publik masih memiliki harapan besar atas keberlanjutan kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia.
Sejarah matinya lembaga antikorupsi di Indonesia tidak boleh kembali terulang. Perjuangan, dukungan dan semangat kolektif harus terus dijaga. Karena itulah, alih-alih pembenahan, jangan sampai TWK malah menambah daftar panjang pelemahan yang akhirnya membuat KPK tinggal cerita.
Sri Haryanti, Pegiat Gemawan
Dimuat pertama kali di kolom opini Harian Pontianak Post pada Hari Kamis, 3 Juni 2021 dengan judul Gara-Gara TWK, KPK Tinggal Cerita?