Pontianak (Gemawannews)-Pemberian atau penambahan izin kuasa pertambangan yang terus dilakukan pastilah akan menjadi bumerang bagi persoalan lingkungan hidup di Kalimantan Barat, artinya terus bertambah izin menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah lebih mengedepankan kepentingan modal.
“Dengan demikian, semakin berkurang kelola rakyat dan potensi sumber daya alam lainnya yang akan terus digusur dan rusak kemudian berimbas pada pencemaran lingkungan,” ungkap Hendrikus Adam Kepala Divisi Riset dan Kampanye Walhi Kalbar, kepada Gemawannews, Rabu (27/06/12).
Menurutnya, kebijakan yang tidak dibarengi komitmen penghormatan terhadap keberadaan warga dan penyelamatan sumber-sumber kehidupan warga maka sulit dipercaya akan bisa memberi kontribusi baik terhadap publik maupun terhadap lingkungan hidup.
Hal mendasar ini, saya rasa menjadi penting sebagai catatan. Apakah kebijakan perizinan yang dikeluarkan dan korporasi yang akan melakukan ekspansi tambang menghormati keberadaan warga sekitar.
Kalau pihak pemerintah atau pihak perusahaan menganggap warga sekitar sebagai manusia, maka menjadi wajib hukumnya menghormati hak-hak masyarakat tempatan dan tidak menjadikan warga sebagai korban di kemudian hari.
“Selama ini pendekatan pemberian izin lebih pada pendekatan legal formal dan kesepakatan-kesepakatan antara pemodal dengan pihak pemberi izin. Sementara warga seringkali dinomor duakan,” ungkap Adam.
Lebih lanjut ia menjelaskan, tentunya ada dampak yang ditimbulkan oleh eksploitasi tambang, yakni meliputi dampak sosial dan lingkungan hidup. Dampak sosialnya, tentu saja menimbulkan terjadinya potensi konflik.
Sementara dampak lingkungan, yang pastiya merusak kawasan dengan sumber daya di dalamnya, serta tercemarnya sumber air bersih warga. Dan parahnya lagi, dampak jangka panjangnya terjadinya potensi gangguan mental bila terkontaminasi zat kimia berbahaya dari limbah aktivitas perusahaan pertambangan.
“Untuk itu semua pihak harus memberi perhatian penuh terhadap eksploitasi lahan di wilayah izin tambang, kondisi kerusakan lingkungan sudah sedemikian parah,” pintanya.
Dikatakannya pula, bahwa sejauh ini belum ada laporan terbuka yang menjelaskan bahwa pihak perusahaan tambang telah menjalankan kewajibannya dengan baik dalam memperhatikan kualitas lingkungan atas usahanya di Kalbar.
“Faktanya tetap saja lingkungan terancam dimana usaha pertambangan itu dilakukan, kondisinya tetap rusak dan kualitas lingkungan di daerah tersebut cenderung mengalami degradasi,” sesal Adam.
Selain itu, belum ada sejauh ini tindakan hukum yang tegas dan jelas atas praktek perusahaan penambangan yang tidak mematuhi koridor-koridor yang dipersyaratkan dalam memastikan agar kualitas lingkungan tetap terjaga.
Upaya ke depan, tentunya mesti ada evaluasi yang serius untuk memastikan agar praktek-praktek penambangan yang dilakukan mendapat penilaian yang terbuka dan tindakan tegas.
Disamping itu, penghormatan kepada warga sekitar sebagai manusia menjadi penting dilakukan baik oleh pihak perusahaan maupun pihak pemerintah. Dimana prinsip FPIC, persetujuan bebas didahului informasi tanpa paksaan menjadi penting dilakukan.
“Untuk itulah terkait dengan kepastian peruntukan ruang melalui RTRW menjadi penting diperjelas agar publik dan berbagai pihak dapat dengan proporsional secara kritis terlibat melakukan kontrol atas segala aspek pembangunan yang di nilai memberi dampak besar maupun kecil terhadap lingkungannya,” pungkas Adam mengakhiri.
Sebagai Informasi, sebelumnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat (Pemprov Kalbar) sudah menerbitkan 651 Izin Usaha Pertambangan (IUP) per 2011. Izin tersebut diberikan kepada pengusaha dengan dalih upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya mineral dan batu bara.
Dari 651 total izin tersebut, izin eksplorasi yang dikeluarkan sebanyak 477 dan izin eksploitasi atau operasi produksi sebanyak 174 izin. Jumlah IUP ini meningkat sebanyak 26 izin atau 4,16 persen, dibandingkan 2010 yang jumlahnya 625 IUP. (Joy)