“Kendati konsensi beberapa perusahaan telah berada di area desa, tak jua merubah wajah dan kehidupan di Dusun Subah, Desa Subah, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau. Nihilnya sumber listrik, minimnya sarana dan prasarana lainnya menjadi potret desa. Satu hal menjadi ketakutan masa depan yakni keberlangsungan hak masyarakat desa serta lingkungan hidup yang kian tergerus.”
TRIBUNPONTIANAK.CO.ID,PONTIANAK – Dusun Subah adalah satu diantara dusun di bawah pemerintahan Desa Subah, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau. Dusun Subah memiliki 3 Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk total 381 jiwa per data April 2015. Mayoritas penduduk asli Dusun Subah adalah Suku Dayak Toba’/Tobak, kendati terdapat warga pendatang. Suku Dayak Toba’ dikenal juga sebagai Suku Dayak Tebang Benua, berdasar asal usul historis yakni masyarakat suku dayak yang bermukim di Desa Tebang Benua, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau dan Kecamatan Toba’, Kabupaten Sanggau. Suku Dayak Toba’ juga terdapat di Kabupaten Ketapang.
Tribun beserta rombongan media lokal dan nasional, Tim Yayasan Persfektif Baru (YPB) dan Tim Swadiri Institute (SI) berkesempatan mengunjungi Dusun Subah, Selasa (9/6/2015) Pukul 15.30 WIB. Perjalanan menuju Dusun Subah ditempuh menggunakan akses darat melalui Jalan Raya Ambawang-Jl Tayan. Kemudian dilanjutkan dengan melintasi jalan tanah merah dengan kontur bergelombang, tidak rata, licin dan basah.
Di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan ini, terdapat tanaman-tanaman sawit milik perusahaan terhampar luas dengan beberapa pekerja tampak memikul Tandan Buah Segar (TBS) sawit yang baru dipanen. Sembari melayangkan tangan menyambut sapaan klakson Mobil Jeep Nissan Terrano yang kami tumpangi.
Tepat di pertengahan menuju Desa Subah, terdapat satu Bukit dengan landscape yang begitu indah yakni Bukit Satok. Pemandangan danau dan hijau rimbun pepohonan tampak jelas. Namun, jika diamati lebih teliti pohon-pohon tersebut adalah pohon sawit milik perusahaan, bukan pepohonan hutan tropis. Di satu sisi berbeda, daerah Bukit Satok telah gundul akibat aktivitas penambangan bauksit.
Namun, masih terdapat secuil lahan tersisa dan asri di sekitar Bukit Satok yang masih dijaga kelestariannya yakni Pesagi. Menurut keterangan pedagi merupakan tempat keramat yang digunakan untuk ritual kepercayaan masyarakat setempat saat musim panen. Terdapat makam-makam orang terdahulu dan berbagai batu pemujaan di Pedagi ini hingga masyarakat Desa berusaha mempertahankan dari konsensi perusahaan.
Setelah memakan waktu perjalanan lebih kurang dua jam, kami tiba di Dusun Subah. Saat datang tribun mendapati sebuah bangunan tua memanjang yang ternyata adalah sebuah SDN 07 Subah. Bangunan dengan 6 ruang kelas plus 1 ruang guru ini digunakan untuk proses belajar mengajar dengan anak murid sekitar tak lebih dari 30 orang. Menurut informasi yang tribun dapatkan dari warga Dusun, Budiono (54), sekolah ini hanya memiliki satu orang pengajar. Sebelumnya terdapat bantuan beberapa tenaga guru honor namun sekarang telah berhenti. Hingga saat ini sekolah seperti hidup segan mati tak mau, terkadang masuk-terkadang tidak masuk, terutama musim penghujan.
” Kadang masuk, kadang tidak. Kalau hujan tak belajar lah. Sekarang udah pulang, besok pagi bapak lihat,” ujarnya.
Tak lama kemudian kami menuju rumah Kepala Dusun, tampak Seketaris Desa (Sekdes) dan beberapa masyarakat Dusun Subah telah lama menunggu kami. Tak perlu rehat lama, Kadus Subah, Antonius Anam menceritakan ikhwal Dusun Subah yang kini terancam akibat konsensi perusahaan, termasuk kawasan hutan adat yang tergerus.
“Ini kena izin konsensi, rumah kita dan kuburan juga habis. Jadi seluruh pemukiman Subah, tidak ada lahan kosong yang tidak bebas dari izin. Termasuk danau juga dikaplingkan oleh perusahaan,” ujar Anom kepada awak media di rumahnya.
Anom mengutarakan keprihatinannya terhadap keadaan dusunnya. 101 Kepala Keluarga (KK) termasuk dalam konsensi Kawasan Perizinan perusahaan sawit, PT MSP. Kondisi ini jelas sangat merugikan masyarakat dusun dan Desa Subah. Mengenai status kawasan, dikatakan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) sekitar 4 ribu hektar.
“Konsen kita bukan masalah perusahaan tak bisa garap, tapi masalah sertifikat sulit sekali kita usahakan. Hingga saat kita ingin bangun Gedung SMP sempat dipermasalahkan oleh perusahaan karena termasuk Hutan Produksi,” imbuhnya.
Lanjutnya, pembangunan tersebut tak lain untuk meningkatkan mutu pendidikan dan agar lebih dekat, mengingat lokasi SMP dari Dusun Subah sangat jauh.
“Nanti juga ada rencana bangun SMKN tapi terkendala hutan Produksi. Kami berharap bisa dibangun. Kami konsen mendorong agar ada legalitas diakui menjadi kawasan hutan adat. Kesadaran kemarin sudah lama. Namun tak pernah direspon,” terangnya.
Dikatakannya, mengenai status hutan adat hingga sekarang jadi seperti ini masyarakat tak mengetahui. Dengan adanya hal seperti ini, lanjutnya akan diupayakan penyelesaian melalui lembaga adat setempat.
“Hutan adat itu bukan hak milik, tak boleh dimiliki oknum tertentu. Ada hukum adatnya, ketentuannya 25 meter dari lahan pribadi tidak boleh dimiliki. Dilindungi oleh adat,” ujarnya.
Dikatakannya kondisi hutan adat dulu tak seperti ini. Sebelumnya, hutan masyarakat dipenuhi dengan tembawang terdiri dari karet, padi, durian, tengkawang, mentawak, rambutan dan buah hutan lainnya. Dikatakannya, ada 38 jenis buah yang bisa dimakan di luar buah akar dan rotan, termasuk 91 jenis ikan.
“Dulu ikan masih lengkap karena habitat masih banyak, namun sekarang sudah ada yang punah. Dulu ada orang utan, sekarang tidak ada. Itu yang menjadi alasan kami mendorong menjadi hutan adat, semoga bisa dijaga. Kami tak tau hutan di sini main caplok sana, caplok sini. Izin perusahaan tak tau siapa yang beri izin, dan buat SK, tiba-tiba semua udah ada izin perusahaan. HTI, sawit, tambang. Termasuk rumah kita ini ada dua izin,” ungkapnya.
Masyarakat Desa Subah juga menginginkan status Hutan Produksi dikembalikan menjadi hutan adat lagi. Termasuk untuk menjaga sumber-sumber air dan hutan yang tersisa, mengingat sumber air bersih sungai telah tercemar limbah pabrik saat penghujan. Dikatakannya selama ini, datangnya perusahaan tidak memiliki dampak bagi masyarakat Desa Subah dimana hutan dan lingkungan menjadi rusak.
Sumber: http://pontianak.tribunnews.com/2015/06/17/dusun-subah-inginkan-legalitas-hutan-adat