“Seminar Akhir KLHS RTRW Kabupaten Sintang”
Sintang – Ada yang berharap, ada pula yang khawatir. Hal ini tampak jelas dari kritik dan saran yang disampaikan para peserta Seminar Akhir KLHS RTRWK Sintangdi Aula CU Keling Kumang, Selasa (11/12).
Seminar yang difasilitasi Pemda Sintang ini dipandu oleh 3 orang Tim Narasumber dari Universitas Tanjungpura, Pontianak. Hadir pula sekitar 40 orang peserta perwakilan dari berbagai instansi pemerintah, masyarakat dan LSM.
Pembahasan KLHS merupakan prasyarat yang harus dilakukan sebelum ditetapkannya suatu kebijakan tekait tata ruang, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kabupaten.
Menurut Undang-undang Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan, KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah.
“Pembahasan KLHS RTRW sangat penting, mengingat telah banyak upaya pencegahan dan penanggulangan kerusakan lingkungan, namun laju pengrusakan lingkungan hidup justru meningkat. AMDAL ternyata tak mampu mengatasi berbagai persoalan, baik sosial, ekonomi maupun lingkungan.” Sebut Pak Setda dalam sesi pembukaan.
“Masalah lingkungan hidup bersifat lintas batas, lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan. Untuk itu diperlukan kerjasama antar pihak guna mendeteksi permasalahan yang ada”. Tambahnya.
Pembahasan KLHS RTRW sendiri melewati 3 tahap, yakni (a) Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; (b) Perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan (c) Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Seminar ini adalah penghujung dari serangkaian kegiatan untuk mendapatkan masukan dari stakeholder (pemangku kepentingan). Untuk itu penting bagi kami kembali mendapatkan masukan dan koreksi guna memperbaiki rekomendasi sebelum ditetapkannya Perda RTRWK Sintang.” Jelas Narasumber, Riduansyah, sebelum presentasi seminar dimulai.
“Secara ideal, agar KLHS dapat terintegrasi secara baik dalam penyusunan tata ruang, perlu diperhatikan kaidah dan penjabaran prinsip keberlanjutan yang mendasari penataan ruang, yaitu keterkaitan (interdependency), keseimbangan (equilibrium) dan keadilan (justice). Dengan demikian pengambil keputusan atas kebijakan, rencana dan/atau program(KRP) tata ruang dapat menjawab kemelut seputar masalah sosial, ekonomi dan lingkungan yang terjadi di tengah masyarakat.” Lanjutnya.
Presentasi Tim Narasumber menunjukkan ada 3 Kelompok Isue Strategis, yaitu Isue Lingkungan, Isue Ekonomi dan Kelembagaan, dan Isue Sosial Budaya. Isue lingkungan meliputi illegal logging, penambangan, konversi lahan dan penutupan hutan. Sementara untuk isue strategis ekonomi dan kelembagaan meliputi perdagangan ilegal, Ijin dan proses perijinan. Sedangkan untuk isue strategis sosial budaya meliputi pergeseran nilai-nilai budaya lokal, kearifan lokal (local wisdom) dan lembaga adat.
Pada analisis daya dukung kawasan, ternyata arahan RTRWK Sintang berimplikasi pada perubahan struktur atau pola ruang. Perubahan pola ruang ini menghasilkan pula perubahan peruntukan Kawasan Hutan menjadi APL dengan angka yang cukup signifikan, kurang lebih 229.756 hektar.
“Bila perubahan pola ruang ini ini tak ditangani dengan baik, maka akan berisiko menimbulkan gap dan berujung konflik. Lebih-lebih jika di peruntukkan bagi ekspansi perkebunan besar kelapa sawit.” Ulas Pak Riduansyah.
Moderator langsung membuka sesi dialog setelah narasumber selesai penyampaian materi. Kebanyakan pertanyaan, kritik dan saran yang muncul dari para peserta menohok masalah peruntukan lahan, ruang hidup masyarakat adat/lokal, konflik sosial, dan ancaman ekspansi sawit dan tambang. Sebagian peserta yang lain tampak malas berkomentar.
“Tak sedikit dana yang dihabiskan untuk pembahasan KLHS ini. Saya khawatir jangan-jangan hanya seremonial belaka dan tak menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Buktinya,tak seorang pun perwakilan Dinas PU hadir dalam pertemuan penting ini. Padahal merekalah yang merumuskan Ranperda RTRW. ”Sindir seorang PNS yang hadir dalam pertemuan ini.
“Saya melihat rumusan Ranperda RTRW Sintang mengarah pada perubahan status kawasan hutan menjadi APL. Ini apa maksudnya?. Saya dengar-dengar perubahan status kawasan ini justru bukan untuk masyarakat. Sudah cukup perusahaan sawit yang ada sekarang saja yang buat masalah, jangan ditambah ribet lagi. Mohon pak Setda memberi penjelasan tentang hal ini?” Sindirnya lagi sambil tertawa.
Terlepas dari semua kelemahan proses KLHS RTRWK Sintang yang baru usai dilaksanakan ini, tantangan kedepannya adalah bagaimana pelaksanaan dan monitoring dilakukan secara baik dan efektif oleh para pemangku kepentingan terkait. (Zainul Mubarok)