Bank Sampah Asoka
Sampah adalah cermin kita. Kalau kita acuh, ia jadi bencana. Tapi kalau dikelola, ia jadi berkah.”

— Komunitas Bank Sampah Serumpun Asoka.

Di sebuah gang kecil bernama Asoka, Jalan Slamet, Kelurahan Sungai Garam Hilir, Singkawang, ada sekelompok ibu-ibu dan pemuda yang berjuang mengubah sampah menjadi berkah. Mereka adalah penggerak Bank Sampah Serumpun Asoka, sebuah inisiatif yang lahir dari kegelisahan akan tumpukan sampah rumah tangga dan keinginan untuk memberdayakan masyarakat sekitar

Bank Sampah, Dari Karung Sampah ke Buku Tabungan

Tahun 2015, sekumpulan warga membentuk kelompok “Serumpun Asoka” untuk kegiatan sosial. Tiga tahun kemudian, ide mendirikan bank sampah muncul setelah melihat kebiasaan warga yang mengumpulkan sampah kering untuk dijual ke pemulung. “Kenapa tidak kita kelola sendiri? Sampah bisa jadi tabungan,” ujar Wiwin Yuliana, ketua bank sampah, mengenang awal mula perjalanan mereka.

Dukungan datang dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Singkawang yang mengajak mereka mengikuti pelatihan pengelolaan sampah. Dengan semangat gotong royong, mereka mengajukan legalitas ke kelurahan dan resmilah Bank Sampah Serumpun Asoka pada 2018.

Rutinitas di Balik Tumpukan Kardus dan Botol Plastik

Setiap bulan di minggu pertama, anggota bank sampah sibuk memilah sampah di gudang kecil mereka. Kardus, botol plastik, kaleng, dan kertas HVS dikumpulkan dari 58 nasabah aktif—sebagian besar warga komplek perumahan setempat. “Kami harus pilah ulang sebelum dijual ke Bank Sampah Induk (BSI). Kalau tidak, harganya sama seperti saat beli dari nasabah. Kas bank sampah tidak dapat pemasukan,” jelas Bu U. Zulfia, salah satu pengurus.

Uang hasil penjualan ditabung dalam rekening kolektif. Tabungan tertinggi pernah mencapai Rp3 juta, meski sebagian nasabah hanya menabung Rp100.000. “Saat Lebaran, banyak yang mengambil tabungan untuk beli kebutuhan hari raya,” tambah Budhe Mujilah.

Tak hanya menabung, mereka juga berkreasi. Dari tangan Bu Nurambia dan Mami Julina, sampah plastik berubah menjadi tas cantik, sementara sarang telur bekas disulap menjadi bunga hias. Sayangnya, karya ini hanya laku saat acara khusus seperti fashion show atau pameran lingkungan. “Kalau tidak ada event, produknya numpuk di gudang. Kami butuh pasar tetap,” keluh Wiwin.

Tantangan: Cibiran dan Motor Roda 3 yang Tak Selalu Melaju

Meski berdampak, jalan mereka tak mulus. Banyak warga yang masih meremehkan nilai sampah. “Satu karung besar cuma dapat Rp3.000. Mereka bilang, lebih baik dibuang ke TPS,” ujar Budhe Mujilah. Untuk mengatasi ini, mereka mengajak anak-anak kecil menabung sampah. “Meski cuma Rp2.000, mereka senang bisa beli jajanan,” ceritanya.

Dukungan sepeda roda 3 dari DLH dan kelurahan sempat menjadi angin segar. Tapi biaya operasional yang tinggi membuat kendaraan ini sering mangkrak. “Kami sepakat bagi hasil 7:3 dengan sopirnya. Yang penting bisa jalan, meski untung kecil,” kata Bu Alfy, anggota tim pemberdayaan.

Kisah Inspiratif: Yatim Piatu yang Menemukan Harapan

Salah satu sopir sepeda motor pengangkut sampah mereka adalah pemuda yatim piatu yang baru memeluk Islam. “Dia kami berdayakan agar punya penghasilan. Sekaligus ajakan untuk peduli lingkungan,” ujar Budhe. “Untuk operator tossa angkut sampah dari rumah ke rumah di komando oleh bapak RT 010/003 setempat yaitu Bapak Zamhari”, tambah Budhe Mujilah. Kisah lain datang dari Bu Nurambia dan Mami Julina, ibu rumah tangga yang gigih mengajari anggota membuat kerajinan daur ulang. “Dari kantong plastik bekas, ia bisa baju unik. Tapi kami sedih lihat karyanya menumpuk,” tutur Wiwin.

Impian Besar untuk Lingkungannya

Saat ini, Bank Sampah Serumpun Asoka baru menjangkau 3 RT dari 12 RT di Kelurahan Sungai Garam. Mimpi mereka sederhana: setiap RT punya titik pengumpulan sampah. “Kalau semua RT aktif, dampaknya akan lebih besar,” harap Wiwin.

Mereka juga berharap mitra, seperti Gemawan atau pemerintah, dapat membantu membuka akses pemasaran produk daur ulang. “Kami butuh lemari kaca untuk menyimpan kerajinan agar tidak rusak. Tapi malu terus meminta bantuan,” tambahnya.

Dampak yang Mengubah Lingkungan dan Kehidupan

Di sudut Kelurahan Sungai Garam Hilir, Singkawang, Bank Sampah Serumpun Asoka telah menjadi titik terang yang membuktikan bahwa sampah bisa menjadi berkah. Perubahan yang mereka hadirkan tidak hanya terlihat di permukaan, tetapi merubah mindset masyarakat kehidupan sehari-hari peduli lingkungan sekitar bebas sampah.

Adapun tujuan dari Bank Sampah Serumpun Asoka untuk melestarikan dan mengurangi volume sampah serta membuat lingkungan lebih bersih dan tertata, dan menjadikan sampah bernilai rupiah. Bu Anisah mengajarkan pembuatan sampah organik yang diolah menjadi pupuk cair, sementara botol plastik, kardus, dan kaleng disulap menjadi tabungan atau kerajinan tangan. Tossa sampah hasil kolaborasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan kelurahan rutin beroperasi, mengangkut sisa sampah yang tidak terkelola.

Bagi ibu-ibu di kompleks Asoka, sampah kini bukan lagi musuh, melainkan sumber harapan. Setiap botol atau kertas yang terkumpul menjadi tabungan darurat. Mama Cahyani, salah satu nasabah, berbagi kisah: “Saat anak saya demam tinggi, uang dari tabungan sampah ini membantu beli obat.” Total tabungan nasabah saat ini mencapai Rp3 juta, dengan nominal per orang berkisar Rp100.000 hingga Rp500.000. Angka ini mungkin kecil di mata banyak orang, tetapi bagi mereka, ini adalah bukti bahwa sampah bisa menjadi penyelamat di saat genting.

Tidak hanya lingkungan dan ekonomi, bank sampah ini juga membuka pintu bagi pemuda marjinal. Seorang sopir Tossa sampah, yatim piatu yang baru menemukan pekerjaan tetap, kini bisa menghidupi keluarganya. “Saya bangga bisa berkontribusi membersihkan lingkungan sambil mencari nafkah,” ujarnya. Anak-anak kecil pun diajak terlibat dengan menabung sampah—uang Rp2.000–Rp3.000 yang mereka terima menjadi cara sederhana menanamkan kesadaran lingkungan sejak dini.

Karya seni daur ulang yang dihasilkan oleh anggota seperti Bu Nurambia juga menjadi simbol perlawanan terhadap budaya konsumtif. Tas dari plastik bekas dan bunga dari sarang telur tidak hanya indah, tetapi juga menyuarakan pesan tentang keberlanjutan. “Setiap kali ada yang membeli tas saya, saya merasa usaha ini tidak sia-sia,” kata Bu Nurambia. Meski pemasarannya masih terbatas, karya-karya ini kerap menjadi pembuka diskusi tentang pentingnya gaya hidup ramah lingkungan di sekolah dan pertemuan warga.

Penulis: Wanti A., pegiat Gemawan.

Bank Sampah Asoka: Menabung Sampah, Memberdayakan Komunitas
Tag pada: