
Mereka berharap kisah ini menginspirasi asa kemandirian perempuan di Desa Linggam Permai. “Kami ingin ada lebih banyak perempuan yang berani mencoba. Tak perlu lahan besar—mulai dari pekarangan sendiri pun bisa,” tegas Natalia.
Di sudut Desa Linggam Permai, Kabupaten Sintang, sekelompok perempuan dengan cangkul dan semangat tinggi sibuk merapikan bedengan kecil berukuran 20×20 meter. Di lahan sederhana itu, kangkung hijau segar, kacang panjang yang merambat rapi, dan jagung yang mulai berbuah menjadi bukti nyata perjuangan Natalia dan 22 anggota Kelompok Kumang Berseri. “Dulu, kami hanya perempuan biasa yang sering gagal. Sekarang, kami petani yang percaya diri,” ujar Natalia, ketua kelompok, dengan senyum lebar.
Awal yang Tak Mudah
Sebelum November 2024, Natalia dan kawan-kawan sudah beberapa kali mencoba membentuk kelompok—mulai dari PKK hingga WK. Mereka juga pernah menanam sayuran bersama, tapi selalu gagal. “Hasilnya tak pernah cukup untuk dijual. Kami sering bertengkar, lalu menyerah,” kenangnya. Kegagalan itu memupuskan mimpi mereka, sampai Lembaga Gemawan datang dengan pendampingan yang berbeda.
Gemawan tak hanya memberi teori, tetapi turun langsung membantu mereka menyusun rencana kerja, membuka lahan, hingga memilih bibit unggul. “Kami diajari bertahap: dari menyiapkan tanah, menanam, sampai menghitung modal dan keuntungan,” jelas Natalia. Perlahan, kebun kecil mereka mulai hidup. Kangkung, kacang panjang, jagung, dan kacang tanah tumbuh subur. Hasil panen pertama laku terjual, menyisakan Rp300.000 untuk kas kelompok—angka yang mungkin kecil bagi banyak orang, tapi sangat bermakna bagi mereka.
Kebersamaan yang Memulihkan Kepercayaan Diri
Bagi Natalia, perubahan terbesar bukan terletak pada uang kas atau panen melimpah. “Kami belajar kompak. Dulu, satu gagal, semua saling menyalahkan. Sekarang, kami saling mengingatkan: Ayo, jangan malas! Besok harus disiram!” ceritanya dengan semangat. Rasa kebersamaan itu yang memicu semangat. Setiap pagi, mereka bergiliran merawat kebun, berbagi tugas tanpa ego.
Perubahan juga terasa dalam diri Natalia. Sebagai ketua, ia kini tak ragu memimpin rapat, mengatur pembagian tugas, atau mengingatkan anggota yang terlambat. “Saya dulu malu bicara di depan. Sekarang, saya berani karena tahu teman-teman mendukung,” ujarnya. Kepercayaan diri itu menular. Anggota seperti Dinau, yang dulu hanya diam di sudut, kini aktif memberi ide pemasaran.
Tantangan yang Berubah Menjadi Bahan Belajar
Meski sudah menuai hasil, jalan mereka tak selalu mulus. Cuaca tak menentu dan hama pernah hampir merusak tanaman. Tapi kali ini, mereka tak menyerah. “Kami belajar dari Gemawan: kalau gagal, evaluasi, lalu coba lagi,” kata Natalia. Mereka mulai mencatat jadwal penyiraman, membuat pupuk alami, dan merotasi tanaman untuk menjaga kesuburan tanah.
Uang kas Rp300.000 juga jadi motivasi. Sebagian disimpan untuk modal berikutnya, sebagian lagi dipakai membeli bibit baru. “Ini uang kami sendiri. Rasanya bangga,” ujar Fitri, anggota termuda. Mereka bahkan berencana memperluas lahan dan menambah komoditas seperti cabai dan tomat.
Asa Kemandirian Perempuan
Bagi Natalia, Kumang Berseri adalah ruang aman bagi para perempuan desa membuktikan bahwa mereka bisa berkontribusi pada ekonomi keluarga. “Suami saya dulu meragukan. Sekarang, dia yang bantu antar hasil panen ke pasar,” katanya tertawa menebar asa kemandirian perempuan desanya.
Mereka berharap kisah ini menginspirasi asa kemandirian perempuan di Desa Linggam Permai. “Kami ingin ada lebih banyak perempuan yang berani mencoba. Tak perlu lahan besar—mulai dari pekarangan sendiri pun bisa,” tegas Natalia. Dengan kebun kecil dan semangat besar, Natalia dan Kumang Berseri membuktikan: kegagalan bukan akhir, melainkan batu loncatan menuju kebanggaan yang lebih berarti.
Penulis: Natalia Kori, pegiat Gemawan.