
Pendekatan deep ecology menawarkan perspektif bahwa penanggulangan banjir tidak cukup hanya dengan solusi teknis, tetapi juga harus melibatkan upaya membangun kembali harmoni antara manusia dan ekosistem sekitarnya. Tanpa perubahan kebijakan yang berlandaskan ekosentrisme, upaya mitigasi banjir hanya akan menjadi respons sesaat yang tidak menyelesaikan akar permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh untuk mengembalikan keseimbangan ekologi dan mengurangi risiko bencana di masa depan.
Sekilas Deep Ecology
Arne Naess pernah menyatakan bahwa setiap kehidupan di bumi ini saling terkait. Baginya, setiap makhluk memiliki nilai, sehingga membangun keselarasan bagi setiap makhluk merupakan sebuah keniscayaan. Gagasan ini lantas dikenal sebagai deep ecology. Deep ecology berakar dari spiritualitas Timur yang melihat setiap keberadaan secara setara, saling terhubung, serta membangun harmoni dalam sebuah sistem ekologi. Dari sini, deep ecology menawarkan pandangan holistik atas alam. Lebih dalam, karena memiliki pondasi spiritualitas, deep ecology tampak turut mengkritik sekularisasi yang melegalkan antroposentrisme.
Deep ecology bukan hanya pandangan filosofis atau etis un-sich. Melalui deep ecology, Naess menyemai benih gerakan lingkungan dengan menginspirasi aksi nyata bagi alam. Basis nilai acuan deep ecology adalah ekosentrisme, sehingga menjadi antitesis antroposentrisme. Bagi deep ecology, permasalahan lingkungan yang muncul saat ini merupakan ulah manusia yang beranggapan dirinya poros utama di alam semesta, sehingga berhak mengeksploitasi alam tanpa batas. Karena itulah, permasalahan lingkungan modern – termasuk krisis iklim – bersumber dari perbuatan manusia.
Buah Ketidakharmonisan
Filosofi deep ecology menjadi sangat relevan ketika melihat dampak nyata kerusakan ekosistem, seperti banjir dan bencana hidrometeorologi lainnya. Fenomena ini bukan hanya sekadar kejadian alam yang tak terhindarkan, tetapi juga mencerminkan cara manusia memperlakukan lingkungannya. Hilangnya kawasan hutan, termasuk mangrove di wilayah pesisir, serta alih fungsi lahan menjadi tambak, permukiman, atau infrastruktur, adalah wujud dari dominasi manusia atas alam yang mengabaikan keseimbangan ekologi. Antroposentrisme yang melihat alam hanya sebagai objek pemuas kebutuhan manusia telah menyebabkan degradasi lingkungan yang semakin sulit dipulihkan.
Kalimantan Barat mengawali tahun 2025 dengan banjir hebat yang melanda tujuh wilayah, yakni Mempawah, Sambas, Bengkayang, Landak, Singkawang, Sanggau, dan Kubu Raya. Puluhan ribu jiwa terdampak, dengan total kerugian yang sangat besar. Berdasarkan laporan BPBD Kalbar pada 30 Januari 2025, sebanyak 83.603 jiwa terdampak, memaksa ratusan warga mengungsi ke tempat yang lebih aman. Selain itu, beberapa daerah juga mengalami tanah longsor dan puting beliung. Tentu saja kompleksitas dampak bencana semakin bertambah karena minimnya infrastruktur penanganan bencana yang memadai, serta kerusakan ekosistem hutan, gambut, dan mangrove yang seharusnya berperan sebagai penahan alami banjir.
Pontianak Terancam Tenggelam
Selain melanda berbagai wilayah di Kalimantan Barat, banjir juga menjadi ancaman serius bagi Kota Pontianak. Sebagai ibu kota provinsi, Pontianak memiliki karakter geografis yang unik, yaitu berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian hampir setara dengan permukaan laut, serta dilalui oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kondisi ini membuat Pontianak sangat rentan terhadap banjir, baik yang disebabkan oleh curah hujan tinggi, pasang air laut, maupun buruknya sistem drainase perkotaan.
Dalam enam tahun terakhir, luas genangan air di Pontianak menunjukkan peningkatan signifikan. Analisis Gemawan Spatial Center menunjukkan bahwa luas genangan air di Pontianak meningkat signifikan antara tahun 2018 hingga 2024. Pontianak Utara menjadi daerah dengan peningkatan luas banjir paling drastis. Pada tahun 2018, genangan air di kawasan ini tercatat 980,10 hektar, tetapi pada tahun 2024, luasnya bertambah menjadi 1.115,40 hektar, mengalami kenaikan 13,81% dalam enam tahun. Peningkatan paling signifikan terjadi pada periode 2021–2024, dengan lonjakan sebesar 20,01%. Sebagai wilayah dengan luas terbesar dan jumlah penduduk tertinggi, yaitu 149.714 jiwa, Pontianak Utara menghadapi tantangan besar dalam mengelola limpasan air akibat alih fungsi lahan, tekanan urbanisasi, dan minimnya kapasitas drainase.
Sementara itu, Pontianak Kota juga menunjukkan tren peningkatan luas genangan air yang cukup mencolok. Pada tahun 2018, luas banjir tercatat 558,94 hektar, dan meningkat menjadi 606,71 hektar pada 2024, dengan kenaikan 8,55% dalam enam tahun terakhir. Lonjakan tertinggi terjadi pada periode 2018–2021, dengan peningkatan 9,11%, sebelum mengalami sedikit penurunan pada tahun 2024. Namun, meskipun terjadi sedikit penurunan, kecenderungan peningkatan genangan air di Pontianak Kota tetap menunjukkan bahwa tekanan lingkungan terus meningkat, terutama akibat berkurangnya daerah resapan air di kawasan urban.
Kondisi serupa juga terjadi di Pontianak Timur, yang mencatat kenaikan luas genangan sebesar 10,63%, dari 363,86 hektar pada 2018 menjadi 402,55 hektar pada 2024. Periode peningkatan terbesar terjadi dalam rentang waktu 2021–2024, dengan lonjakan 7,85%. Dengan populasi yang mencapai 110.904 jiwa, Pontianak Timur menghadapi risiko yang semakin besar akibat urbanisasi pesat dan perubahan pola curah hujan.
Namun, tekanan terhadap ekosistem di Pontianak tidak hanya datang dari urbanisasi, tetapi juga dari degradasi kawasan gambut, yang berfungsi sebagai penyerap alami air. Kota Pontianak memiliki gambut seluas 885,19 hektar, tersebar di tiga kecamatan, yakni Pontianak Kota 52,21 hektar, Pontianak Utara 271,29 hektar, dan Pontianak Tenggara 561,69 hektar. Ketidakseimbangan antara pembangunan dan daya dukung lingkungan menjadi akar dari permasalahan banjir yang semakin meluas. Drainase kota yang tidak memadai semakin memperburuk situasi. Sedimentasi, sampah, dan pertumbuhan kota yang tidak terkendali membuat sistem drainase tidak mampu mengalirkan air secara efisien. Akibatnya, genangan air bertahan lebih lama dan merugikan aktivitas warga.
Pontianak kini berada pada titik kritis yang memerlukan solusi jangka panjang mendesak. Restorasi ekosistem pesisir dan gambut harus menjadi prioritas untuk mengembalikan daya dukung lingkungan. Pengelolaan tata ruang yang berkelanjutan juga harus diutamakan, dengan memperluas ruang terbuka hijau dan kawasan resapan air. Namun, langkah-langkah teknis saja tidak cukup. Dibutuhkan perubahan paradigma dalam memandang lingkungan, di mana manusia tidak hanya menjadi pengguna tetapi juga penjaga harmoni ekosistem. Tanpa langkah nyata, Pontianak akan terus menghadapi ancaman banjir yang semakin kompleks dan merugikan, menempatkan warganya dalam kondisi yang semakin rentan.

Deep Ecology dan Solusi bagi Pontianak
Pendekatan deep ecology menawarkan perspektif bahwa penanggulangan banjir tidak cukup hanya dengan solusi teknis, tetapi juga harus melibatkan upaya membangun kembali harmoni antara manusia dan ekosistem sekitarnya. Tanpa perubahan kebijakan yang berlandaskan ekosentrisme, upaya mitigasi banjir hanya akan menjadi respons sesaat yang tidak menyelesaikan akar permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih menyeluruh untuk mengembalikan keseimbangan ekologi dan mengurangi risiko bencana di masa depan.
Salah satu langkah utama dalam menciptakan keseimbangan ini adalah restorasi ekosistem pesisir dan lahan gambut. Kawasan mangrove dan lahan gambut memiliki peran vital sebagai penyerap air alami sekaligus pelindung dari dampak banjir. Mengembalikan fungsi ekosistem ini menjadi langkah strategis untuk memperkuat daya tahan Pontianak terhadap banjir. Untuk itu, penghentian alih fungsi lahan yang merusak kawasan kritis perlu menjadi prioritas utama dalam kebijakan tata ruang.
Selain restorasi ekosistem, pengelolaan tata ruang yang lebih berkelanjutan juga menjadi kunci utama dalam mengatasi persoalan banjir. Kota yang berkembang pesat seperti Pontianak membutuhkan keseimbangan antara pembangunan dan daya dukung ekologi. Meningkatkan luas ruang terbuka hijau serta memperbanyak kawasan resapan air di dalam kota akan membantu mengurangi limpasan air hujan yang tidak dapat terserap oleh tanah. Kebijakan pembangunan pun harus disesuaikan dengan daya dukung lingkungan, sehingga perlu adanya regulasi yang memastikan bahwa setiap proyek infrastruktur tidak memperburuk kondisi hidrologis kota.
Penguatan sistem drainase dan infrastruktur hijau tetap menjadi langkah teknis yang harus diintegrasikan dalam upaya mitigasi banjir. Drainase ekologis yang memanfaatkan lahan basah buatan dan sumur resapan dapat menjadi solusi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan model drainase konvensional yang sering kali tidak cukup mampu mengalirkan volume air hujan yang meningkat akibat perubahan iklim. Perbaikan sistem kanal dan saluran air juga harus dilakukan secara berkala agar lebih adaptif terhadap curah hujan ekstrem dan perubahan pola hidrologi kota.
Namun, solusi teknis dan kebijakan saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan kesadaran dan keterlibatan aktif masyarakat. Banjir di Pontianak juga diperparah oleh penyumbatan drainase akibat sampah dan sedimentasi. Oleh karena itu, mendorong partisipasi masyarakat dalam menjaga kebersihan sungai dan drainase merupakan langkah preventif yang krusial. Lebih dari sekadar pembersihan lingkungan, edukasi berbasis komunitas perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat memahami pentingnya keseimbangan ekologi dalam kehidupan sehari-hari. Program mitigasi banjir yang berbasis pada inisiatif lokal akan lebih efektif jika masyarakat memiliki rasa kepemilikan terhadap lingkungan tempat mereka tinggal.
Menyelamatkan Pontianak dari ancaman banjir tidak cukup hanya dengan membangun infrastruktur, tetapi juga dengan membangun kembali hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Mengadopsi prinsip deep ecology bukan hanya sekadar idealisme, tetapi merupakan kebutuhan mendesak untuk menciptakan masa depan yang lebih aman dan berkelanjutan.
Penulis: Mohammad R. & Roni Antoni, pegiat Gemawan.