Pontianak, Gemawannews – Figur RA Kartini yang menggugat realitas diri, keluarga dan masyarakatnya, member inspirasi Laily untuk berjuang.

Apalagi darah guru orang tuanya dan aktivitas di berbagai organisasi masyarakat sipil, mengalir dalam dirinya. Laily pun memilih jalur sebagai aktivis yang mengusung ide-ide pemberdayaan untuk masyarakat.

“Perempuan masih terbelakang, tak punya akses, minim kontrol terhadap apapun. Itu yang jadi protes dia (RA Kartini), sehingga mengagungkan perempuan barat. Sebuah perlawanan budaya. Saya pikir itu intinya,” kata Laily di Pontianak, Selasa (24/4).

 

Laily pun mengingatkan agar RA Kartini tak diperingati dengan kebaya. “Sebab itu hanya simbolis. Subtansi perjuangannya adalah keluar dari kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan. Itu bisa dibuat oleh komunitas, budaya dan Negara. Itu yang sekarang kita lawan,” tegasnya

Implementasinya menurut Laily, misalnya sektor pendidikan harus jadi perhatian semua pihak. Pendidikan juga yang adil gender. Saat ini, kultur di masyarakat yang mencari nafkah adalah laki-laki, sehingga pendidikannya harus tinggi.

Pendidikan perempuan ruangnya sangat sempit. Bagi masyarakat miskin, jika hanya punya dua anak, yang satu laki-laki dan satu perempuan, mereka akan menyekolahkan anak laki-laki.

“Negara harus memprioritaskan pendidikan anak perempuan. Bagi yang tak mampu bayar berikan subsidi. Komunitas harus mendorong  kesadaran tiadanya perbedaan pendidikan. Sebab, laki-laki dan perempuan kini sama-sama berperan di ranah publik,” tuturnya.

Laily pun berharap Pemprov Kalbar memperhatikan partisipasi dan pengetahuan kaum perempuan. Misalnya, dalam pengelolaan tata ruang wilayah, jadi tidak semata persoalan sumber daya alam.

“Pengelolaan pertanian, hutan, daerah aliran sungai yang di dalamnya hidup kaum perempuan harus diakui Negara. Misalnya, ada kaum perempuan yang bergantung hidupnya dari pertanian. Jika lahan pertanian dikonversi ke nonpertanian, mereka kehilangan pencaharian. Ini sama saja dengan pemiskinan. Kami berharap DPRD dan Pemprov memperhatikan,” tegasnya

Bagi Laily, dunia aktivis, dirasakan sebagai kehidupan yang bermanfaat bagi orang lain. Bahwa hidup bukan hanya untuk diri sendiri. Ia percaya sebaik-baiknya umat adalah yang bermanfaat bagi orang lain. “Saya ambil jalan itu. Pelatihan-pelatihan di kampung, memperjuangkan hak-hak yang diambil,” ujarnya.

Ia puas apa yang diperjuangkannya berhasil. Misalnya, kehidupan kelompok perempuan, sebelum diberdayakan dulu hanya diam, sekarang sudah merasakan hak. Secara ekonomi mereka jadi mandiri. Saat suami meninggal, mereka tetap tegar melanjutkan hidup.

“Di kelompok kita, SD saja tak tamat. Namun mereka punya tekad menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang lebih tinggi. Kesadaran seperti itu kalau tidak dibangun tak akan muncul. Cara –cara seperti itu yang memutus ketidakadilan ,” tuturnya.

Laily pun tergerak berkecimpung di dunia aktivis. “Saya sering ikut riset, survei dengan teman-teman lembaga kajian. Saya putuskan bergerak di isu-isu pemberdayaan. Saya lebih senang yang independen,” tegas perempuan kelahiran Sambas, 27 Agustus 1975 ini.

Bidang pemberdayaan menurut Laily sama dengan media massa sebagai agen perubahan. Hanya sarananya beda. Ia menggunakan media riset dan advokasi. Ia tak memilih politik karena dinilai menyebalkan.

“Politik itu orientasinya kekuasaan, demokrasi prosedural. Kita NGO dan jurnalis mengedepankan demokrasi subtansial,” tandasnya. Laily meretas karier di Kalbar sejak 2001. Berkecimpung bersama Gemawan, Laily awalnya hanya voulenter. (hasyim ashari)

Bangkitkan Kemandirian Perempuan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *