Fast Fashion

Pernah dengar istilah fast fashion? Fast fashion adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan pakaian murah, berkualitas rendah, yang diproduksi dengan cepat, serta diciptakan agar dapat disirkulasikan dengan mudah di pasar. Tujuannya sederhana: agar dapat dengan cepat memenuhi kebutuhan tren fashion baru. Perubahan tren yang cepat pasti mengakselerasi arus modal kembali ke produsen.

Begitulah cara produsen mengubah jalan manusia di era industri. Perubahan itu terjadi karena ada “tangan-tangan ghaib” yang mengendalikan kehendak manusia. Disadari atau tidak, industri mengontrol pola konsumsi manusia hingga masuk ke dalam ruang-ruang privat manusia. Selera makan, tontonan, berpakaian, bahkan gaya bicara telah didesain sedemikian rupa sebagai objek yang bisa dikapitalisasi dengan cepat oleh industri.

Cepatnya sirkulasi ini ternyata meninggalkan jejak karbon yang sangat banyak. Tentu banyak, karena industri telah memainkan perannya dengan sangat apik ketika mesin-mesin mereka bekerja mencipta produk-produk baru. Polutan yang bertebaran tanpa kendali itu pada akhirnya berdampak bagi lingkungan, pemanasan global, dan – tentu saja – krisis iklim. 

Baca juga: Menanti Langkah Kolektif Hadapi Krisis Iklim: Demi Masa Depan Manusia

Industri mode, khususnya industri fast fashion, menjadi sorotan karena kontribusinya terhadap limbah global dan perubahan iklim.

Apa itu Fast Fashion?

Istilah fast fashion pertama kali diciptakan oleh New York Times pada awal 1990-an. Saat itu, raksasa pakaian Spanyol, Zara, tiba di New York menggambarkan misi merek dagang mereka yang hanya memerlukan 15 hari bagi pakaian untuk beralih dari tahap desain hingga dijual di toko. Sebagai informasi, UNIQLO, Forever 21, serta H&M termasuk merek fast fashion terbesar dan terkenal di dunia.

Fast fashion memang mengacu pada sektor besar industri fashion. Model bisnis ini sangat bergantung pada produksi pakaian berkualitas rendah yang murah dan cepat, yang dipompa dengan cepat melalui toko-toko untuk memenuhi tren terbaru. Model bisnis fast fashion melibatkan desain, produksi, distribusi, dan pemasaran yang cepat. Metode ini memungkinkan merek dan pengecer untuk menarik sejumlah variasi produk yang lebih besar, serta memungkinkan konsumen untuk mendapatkan lebih banyak gaya dan diferensiasi produk dengan harga murah.

Sistem yang mengandalkan produksi murah dan cepat seperti itu hanya mendorong konsumsi berlebihan. Bayangkan banyaknya pakaian yang kita beli memenuhi rak-rak lemari karena tertarik dengan harga yang murah. Konsumen tentu tertarik dengan barang-barang berharga rendah, meski masa pakainya pendek karena harus mengikuti perubahan tren dan bahan baku yang memang tak tahan lama. Tak sadar, banyak yang telah menghamba pada tren terbaru. 

Dan itulah letak masalahnya. Model fast fashion mendorong konsumen untuk terus membeli pakaian murah dan membuangnya dengan cepat karena kualitasnya yang buruk, karena secara signifikan lebih rentan terhadap keausan. Siklus pembelian dan pembuangan ini menciptakan masalah lingkungan yang sangat besar. Setiap hari, dunia harus mengumpulkan gunungan limbah tekstil dan pakaian, yang sebagian besar tidak dapat terurai secara hayati.

Baca juga: Strategi Percepatan Pencapaian SDGs 2030

Mengapa Fast Fashion Buruk?

Secara global, diperkirakan 92 juta ton limbah tekstil diproduksi setiap tahun. Jumlah itu diperkirakan akan melonjak hingga 134 juta ton per tahun pada tahun 2030. Limbah tekstil memang bukan satu-satunya dampak lingkungan yang keluar dari industri fashion. Tidak sedikit energi yang diperlukan untuk memproduksi serat sintetis demi memenuhi permintaan pakaian yang sangat tinggi. Industri fashion menyumbang hampir 10% dari emisi karbon global, lebih besar dari gabungan sektor penerbangan dan pelayaran, dan berkontribusi hampir 20% air limbah global, atau sekitar 93 miliar meter kubik dari pencelupan tekstil, menurut Program Lingkungan PBB.

Meskipun demikian, perusahaan dan pengecer fast fashion tidak memiliki minat atau insentif nyata untuk mengubah model bisnisnya ketika sejauh ini terbukti sudah sangat menguntungkan mereka. Selain itu, produsen memangkas biaya produksi lebih banyak lagi dengan menggunakan bahan sintetis dan bahan kimia untuk menurunkan harga dan mendorong lebih banyak konsumsi. Bahan organik tentu bukan pilihan dalam skema ini, karena waktu dan biaya produksi yang jauh lebih lama dan padat biaya.

Baca juga: Minyak Goreng Langka, 1 Pertanyaan: Masihkah Sawit Jadi Primadona?

Konsumsi pakaian global telah meningkat secara eksponensial, dan industri fast fashion tidak akan hilang dalam waktu dekat. Sejak tahun 2000, penjualan pakaian meningkat dua kali lipat dari 100 menjadi 200 miliar unit per tahun. Pada saat yang sama, rata-rata jumlah sebuah item pakaian dipakai menurun 36% secara keseluruhan.

Sama seperti argumen untuk beralih ke pola makan nabati untuk membantu mengurangi deforestasi dan emisi karbon, maka pilihan menghindari merek fast fashion juga ada di tangan konsumen. Yang pasti, kita perlu mulai mengubah kebiasaan untuk memilih pakaian yang lebih berkelanjutan dan sadar sosial untuk mengurangi kerusakan lingkungan dampak dari industri.

Penulis: Olivia Lai, Earth.org

Sumber: Earth.org

Judul asli: What is Fast Fashion?

Header Image: Wikimedia

Diterjemahkan dan disesuaikan kembali oleh tim Gemawan

Apa sih Fast Fashion?
Tag pada: