Perempuan Sambas Penenun Sejarah dengan Tenun Lunggi Tenun Tradisional

Budiana berharap tenun tradisional Sambas terus dilestarikan dan ditingkatkan kualitasnya agar mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional.

Budiana: Dari Penenun Tradisional Menjadi Ikon Songket Sambas

Di Dusun Keranji, Desa Tanjung Mekar, Kabupaten Sambas, hidup seorang perempuan tangguh bernama Budiana, lahir pada 5 Agustus 1970. Sejak remaja, ia telah akrab dengan alat tenun tradisional. Memulai karier sebagai penenun upahan pada tahun 1990, Budiana kemudian memutuskan untuk menenun secara mandiri sejak 1993. Anak kedua dari lima bersaudara ini hanya sempat mengecap pendidikan hingga kelas 2 SD karena keterbatasan ekonomi.

Didukung penuh oleh keluarga, termasuk suami, anak-anak, menantu, dan cucunya, Budiana terus mengembangkan kemampuannya. Pada tahun 2006, ia mulai bergabung dalam pertemuan rutin kelompok perempuan ASOKA di bawah pendampingan Lembaga Gemawan. Ia aktif pula di kelompok PKK dan Kelompok Wanita Tani (KWT) desanya. Dari keikutsertaan tersebut, ia memberanikan diri membeli alat tenun dan mempekerjakan empat orang penenun.

Seiring waktu, Budiana dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal Serumpun (Serikat Perempuan Pantai Utara) selama dua periode (2015–2021) dan kini menjabat Ketua Serumpun Sambas untuk periode 2024–2027. Di organisasi inilah kapasitasnya sebagai perempuan penggerak komunitas semakin terasah, melalui pelatihan-pelatihan tentang tenun, pewarna alami, desain eco-friendly, hingga manajemen usaha.

Mengenalkan Tenun Tradisional Sambas

Lewat Serumpun dan Gemawan, Budiana diperkenalkan kepada berbagai institusi, termasuk ASPPUK (Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil) di Jakarta, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Sambas, serta CTI (Cita Tenun Indonesia) yang bermitra dengan Garuda Indonesia. Dari sinilah ia mulai mengakses pelatihan lanjutan dan modal usaha yang lebih besar.

Tahun 2010, ia terlibat dalam pelatihan teknik desain motif, pengenalan bahan katun dan sutera, hingga manajemen usaha hasil kerja sama antara CTI dan Pemerintah Kabupaten Sambas. Karya-karyanya tak hanya dikenal di tingkat lokal. Pada 2012, karyanya dengan motif “Ulat Mate Ayam” mendapat penghargaan Award of Excellence for Handicraft dari UNESCO untuk kawasan Asia Tenggara. Pada 2014, ia kembali mendapat penghargaan serupa dari World Craft Council. Kain songket peraih penghargaan kini diabadikan dalam bentuk monumen Songket di Jalan Pembangunan, Kabupaten Sambas.

Budiana juga aktif dalam promosi budaya ke luar negeri. Pada tahun 2020, ia mengikuti pameran antarbangsa di Kuching, Malaysia. Meski pandemi sempat memukul daya beli masyarakat dan mobilitas pengrajin, ia tetap menenun dan menjaga warisan budaya yang ia geluti sejak muda.

Tak hanya memproduksi kain songket, Budiana mengembangkan produk turunannya seperti dompet, selendang, bahan pakaian, hingga kopiah. Kini, ia memiliki galeri sendiri bernama Barkat Songket, serta pemasaran yang menjangkau lokal hingga luar negeri melalui media sosial dan pelanggan setia.

Dalam wawancaranya, Budiana menegaskan pentingnya mempertahankan tenun songket Sambas sebagai warisan budaya untuk generasi mendatang. Pendampingan berbagai pihak telah membuatnya tidak hanya tumbuh sebagai pengrajin, tetapi juga sebagai inspirasi bagi perempuan desa lainnya. “Saya sangat merasakan manfaat dari pertemuan-pertemuan kecil yang ternyata bisa membawa ke kesempatan besar,” ucapnya dengan penuh syukur.

Ketekunan dan kerja keras Budiana membuahkan hasil nyata: peningkatan ekonomi keluarga, perluasan jaringan pemasaran, hingga pengakuan internasional atas warisan budaya Sambas yang ia jaga. Kini, dari rumah sederhananya di Dusun Keranji, karya Budiana mengalir ke berbagai penjuru negeri, membawa serta cerita tentang perempuan, budaya, dan ketekunan.

 

Penulis: Siti Rahmawati, pegiat Gemawan.

Perempuan Penjaga Tenun Tradisional: Budiana
Tag pada: