Perempuan Sambas Penenun Sejarah dengan Tenun Lunggi

Banyak penghargaan prestisius telah diterima Kak Budi. Pada Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2021, tenunnya menjadi Juara 1 untuk kategori Songket Tradisional. Yang tak kalah istimewa, kain tenun lunggi motif ulat mate ayam kini dijadikan tugu yang berada di tengah-tengah Jalan Pembangunan, Kabupaten Sambas.

Budiana, perempuan penenun kelahiran Sambas, 5 Desember 1970 yang kini menetap di Dusun Keranji, Desa Tanjung Mekar, Kecamatan Sambas, telah lebih dari 3 dasawarsa berprofesi sebagai penjaga warisan peradaban bangsanya: tenun lunggi. Kisahnya adalah narasi penuh inspirasi atas jalan hidup seorang perempuan yang memilih untuk merawat sejarah dan alam melalui kekuatan yang dimilikinya.

Lunggi, begitu sebutan tradisi menenun Sambas, sudah ada sekitar 300 ratus tahun yang lalu, sejak era Sultan Muhammad Tsjafioeddin I dari Kesultanan Sambas. Pola tenunnya jelas dan memiliki fitur signifikan; diambil dari tema yang berhubungan dengan alam, seperti menampilkan lansekap, benda langit, binatang, serta tanaman – khususnya rebung. Kain ini dibuat dengan penuh kecermatan menggunakan benang emas, sehingga dikenal pula sebagai tenun emas. Pengerjaannya yang manual, bisa memakan waktu produksi berminggu-minggu, tergantung tingkat kesulitan. Episentrum lunggi berada di Desa Jagur, Tanjung Mekar, dan Sumber Harapan di Kecamatan Sambas, serta Desa Jirak dan Tengguli di Kecamatan Sajad. Kak Budi, demikian sapaan akrabnya, merupakan bagian dari episentrum tersebut.

Baca juga: Perempuan Sambas: Menjaga Lingkungan, Sumber Penghidupan, dan Warisan Tradisi

Tenun Lunggi | Budiana, menggurat sejarah dengan tenun lunggi khas Sambas. Foto: Muhammad Y. A. P.

Meski tak bisa menamatkan pendidikan dasarnya karena himpitan ekonomi orang tua, Kak Budi tak patah arang. Untuk membantu ekonomi keluarga, ia mempelajari teknik menenun dan menjadi penenun di usia 20 tahun. Saat itu ia masih bekerja sebagai tenaga upahan. Ia lebih memilih tetap di kampung halaman, meskipun banyak kaumnya yang memilih menjadi pekerja migran di Malaysia dan Brunei Darussalam. Sambas memang berbatasan darat dengan Malaysia Timur.

Kak Budi tetap melangkah pasti merajut kisahnya dengan lunggi. Ia mulai menenun secara mandiri tahun 1993, berbekal pengalamannya dulu. Perlahan, tenunnya berkembang. Hingga pada tahun 2006 ia berjumpa dengan Gemawan, saat mengikuti pertemuan rutin Kelompok Serumpun (Serikat Perempuan Pantai Utara) Asoka Desa Tanjung Mekar. Sejak itulah ia aktif di organisasi yang diinisiasi Gemawan, hingga saat ini dipercaya menjadi Ketua Serumpun Sambas, mengorganisir para perempuan agar mampu berperan lebih besar. Melalui Gemawan pula, yang tergabung dalam ASPPUK, Kak Budi memperluas jaringan dan mempelajari teknik pewarnaan alami untuk kain tenun lungginya. Teknik ini tentu memberikan nilai lebih dalam setiap wastra karya Kak Budi.

Gemawan memotivasi Kak Budi untuk berani meminjam modal di CU Sari Intugin guna mengembangkan usaha tenunnya. Itu dilakukannya, karena ia ingin tenun lunggi tetap lestari. Kini sudah ada 30-an orang perempuan yang menjadi mitra binaannya di Barkat Songket – nama galeri yang berlokasi di kediamannya sendiri. Sejumlah pameran pernah diikutinya, termasuk yang bertaraf internasional, yakni Wonderful Indonesia dan Sarawak Timber Expo. Keduanya terjadi pada tahun 2019 dan berlokasi di Kuching, Malaysia. Para pecinta tenun dari negeri jiran pun mendatangi Barkat Songket.

Baca juga: Berkah untuk Barkat Songket

SONGKET SAMBAS: Kaum ibu-ibu dan remaja putri Serumpun di pelatihan teknik produksi tenun di kediaman ibu Budiana, Ketua Serumpun yang dihelat di Sambas, 25-27 Mei 2016. Foto: Siti Rahmawati/GEMAWAN.
SONGKET SAMBAS | Ibu-ibu dan remaja putri Serumpun di pelatihan teknik produksi tenun di kediaman ibu Budiana, Ketua Serumpun yang dihelat di Sambas, 25-27 Mei 2016. Foto: Siti Rahmawati/GEMAWAN.
Berbagi Pengetahuan Tenun Lunggi, Mewariskan Cinta pada Sejarah

Sayang, pandemi Covid-19 yang melanda sejak 2020 turut berimbas bagi tenunannya. Pendapatannya turun drastis karena lock-down dan ditutupnya PLBN Aruk dan Entikong. Budiana tak pernah berubah. Sedikitpun tak menyerah meski usahanya tersendat. Baginya, bukan uang yang utama, melainkan apresiasi atas wastra perlambang peradaban daerahnya. Kecintaannya pada lunggi jauh lebih besar, sehingga ia senantiasa berupaya – di setiap kesempatan – mengenalkan lunggi serta berbagi pengalaman dan pengetahuannya atas tenun lunggi kepada banyak orang.

Menjadi weaving instructor merupakan kebahagiaan tersendiri baginya, dapat berbagi pengetahuan, keterampilan dan wawasan, sekaligus melestarikan warisan budaya Sambas. Ia ingin memperlihatkan bahwa tenun lunggi khas Sambas tak kalah dengan tenun dari daerah lain.

Kak Budi cukup sering menjadi instruktur tenun, khususnya di Sambas, meskipun di tengah kesibukannya. Baginya, pengetahuan itu harus dibagikan, agar setiap orang memiliki ikatan dengan sejarah masyarakatnya – lunggi, sebagaimana dirinya yang terikat dalam jalinan sulam lunggi. Di akhir 2021, ia kembali dipercaya sebagai tenaga pengajar pada pelatihan tenun yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sambas.

Tenun Lunggi Menjaga Alam

Kisah Kak Budi juga didokumentasikan Gemawan, dengan menyusun film singkat dan memublikasikan jejaknya di berbagai media di 2021 lalu. Usaha takkan pernah mengkhianati hasil, ujar pepatah. Itu pula yang terjadi pada Kak Budi. Meski pandemi belum usai, peluang masih tetap bisa diraih. Masih di tahun 2021, Kak Budi mengikuti kompetisi pada Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2021 untuk kategori Songket Tradisional. Tenun lunggi karyanya yang berjudul Tenun Cual Rantai Berserong Mawar berhasil bertengger di urutan pertama pada pengumuman 5 besar pemenang.

Saat fase penilaian oleh para juri yang berlangsung virtual, ia berjumpa lagi dengan orang yang mengajarkannya menggunakan pewarna alami; Merdi Sihombing. Merdi pernah menginap di galeri Kak Budi saat memberikan materi Pelatihan Ecodesign bersama ASPPUK dan Merdi Sihombing. Kala itu, Merdi mengenalkan berbagai tumbuhan yang bisa digunakan sebagai pewarna alami untuk kain, termasuk daun intenet. Merdi juga sempat membeli lunggi corak Siang-Malam karya Kak Budi waktu itu. Kain itu telah dibeli oleh Samuel Watimena, karena itulah Merdi meminta Kak Budi untuk membuat lagi tenun serupa itu untuknya. Secara khusus, Merdi menyampaikan rasa bangganya karena Kak Budi masih konsisten menggunakan pewarna alami untuk menciptakan karya tenun yang unik.

 

Tenun Lunggi dan Budiana: 3 Dasawarsa Menulis Sejarah dengan Tenunan
Tag pada: