Perempuan Sambas Penenun Sejarah dengan Tenun Lunggi Tenun Tradisional

Tenun lunggi, yang juga dikenal sebagai tenun emas Sambas, telah ada sejak masa Kesultanan Sambas di era Sultan Muhammad Tsjafioeddin I, sekitar tiga abad lalu. Kain ini terkenal dengan motifnya yang kaya akan simbol alam, seperti lanskap, benda langit, binatang, dan tanaman, terutama motif pucuk rebung yang menjadi ciri khasnya. Benang emas yang digunakan menambah kemewahan dan nilai estetika kain ini.

Di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, terdapat sebuah warisan budaya yang telah hidup selama lebih dari 300 tahun: tenun lunggi. Bukan hanya sekadar tekstil, tenun linggi telah menjadi lambang identitas, seni, dan perjuangan perempuan Sambas dalam menjaga tradisi leluhur agar tetap hidup di tengah arus modernisasi.

Tenun lunggi, yang juga dikenal sebagai tenun emas Sambas, telah ada sejak masa Kesultanan Sambas di era Sultan Muhammad Tsjafioeddin I, sekitar tiga abad lalu. Kain ini terkenal dengan motifnya yang kaya akan simbol alam, seperti lanskap, benda langit, binatang, dan tanaman, terutama motif pucuk rebung yang menjadi ciri khasnya. Benang emas yang digunakan menambah kemewahan dan nilai estetika kain ini.

Proses pembuatan tenun lunggi sangat teliti dan manual. Seorang penenun bisa menghabiskan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk menyelesaikan satu helai kain, tergantung pada tingkat kerumitan motifnya. Sentra pembuatan tenun lunggi berada di beberapa desa di Kecamatan Sambas dan Kecamatan Sajad, seperti Desa Jagur, Tanjung Mekar, Sumber Harapan, Jirak, dan Tengguli.

Penjaga Tradisi dan Social Innovator

Perempuan Sambas adalah jiwa dari tradisi tenun lunggi. Mereka tidak hanya menjadi pengrajin, tetapi juga pelestari budaya dan agen pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Salah satu tokoh inspiratif adalah Budiana, yang telah menekuni tenun lunggi selama lebih dari 30 tahun. Ia memulai dari menenun dengan upah harian hingga mampu memiliki alat tenun sendiri dan mengembangkan usahanya.

Budiana dan perempuan-perempuan lain di Sambas tidak hanya menjaga teknik menenun, tetapi juga berperan aktif dalam regenerasi keterampilan dengan mengajarkan anak dan saudara mereka secara turun-temurun. Mereka juga berinovasi dengan menggunakan pewarna alami yang ramah lingkungan, berkat pelatihan dan dukungan dari lembaga seperti Perkumpulan Gemawan dan program Switchasia sejak 2013.

Resiliensi dan Strategi Pembelajaran Sepanjang Hayat

Perempuan Sambas menghadapi berbagai tantangan, mulai dari persaingan dengan industri tekstil modern hingga minimnya regenerasi penenun muda. Namun, komitmen mereka untuk menjaga tenun lunggi tetap hidup sangat kuat. Mereka terus belajar dan beradaptasi dengan teknologi baru, mengembangkan desain, dan memasarkan produk secara lebih luas, termasuk melalui media sosial dan kerjasama kelembagaan.

Strategi life-long learning ini menjadi kunci keberlanjutan tenun lunggi sebagai warisan budaya sekaligus sumber pemberdayaan ekonomi perempuan. Melalui proses pembelajaran yang berkelanjutan, perempuan Sambas tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga menjadikan tenun lunggi sebagai peluang ekonomi yang memberdayakan komunitas mereka.

Pengakuan atas keunikan dan nilai budaya tenun lunggi semakin menguat. Kain ini telah dinobatkan sebagai warisan dunia, menegaskan perannya sebagai kekayaan budaya yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Selain itu, karya-karya tenun lunggi pernah meraih penghargaan bergengsi, seperti dari World Craft Council pada tahun 2014 untuk kategori pewarna alami.

Pelestarian Tenun Lunggi: Menjalin Sinergi

Pelestarian tenun lunggi bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga hasil sinergi antara komunitas penenun, lembaga seperti Gemawan, pemerintah daerah, dan berbagai program pendukung. Gemawan, misalnya, telah aktif membantu para penenun dalam pengembangan keterampilan, penggunaan pewarna alami, dan penguatan kesadaran konservasi lingkungan sejak hampir satu dekade lalu.

Budiana sendiri dipercaya menjadi instruktur dalam pelatihan yang diselenggarakan pemerintah daerah, menunjukkan pengakuan atas perannya sebagai pelopor dan pengajar dalam komunitas penenun Sambas.

Tenun lunggi merupakan simbol ketangguhan dan kreativitas perempuan Sambas dalam menjaga warisan budaya mereka. Melalui pembelajaran sepanjang hayat, inovasi, dan kolaborasi dengan berbagai stakeholder, perempuan Sambas mempertahankan dan mengembangkan tenun lunggi agar tetap bersinar di era modern. Warisan ini tidak hanya memperkaya khazanah budaya Indonesia, tetapi juga memberikan inspirasi tentang bagaimana tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan, dengan perempuan sebagai penggerak utama perubahan yang berkelanjutan.

Penulis: Ersa Dwiyana & Mohammad Reza, pegiat Gemawan.

Sumber: Tenun Lunggi dan Resiliensi Perempuan Sambas: Strategi Life-Long Learning dalam Menjaga Warisan Budaya.

 

Tenun Lunggi dan Perempuan Sambas, Kisah Sulaman Emas yang Terus Bersinar
Tag pada: