PONTIANAK, BeritAnda – Banyaknya kasus sengketa lahan yang berpotensi menjadi konflik, memerlukan penyelesaian alternatif. Demikian salah satu solusi yang dipaparkan oleh Delsy Ronnie dari Konsultan Mediasi dan Konflik Lahan, dalam kegiatan dialog tentang Sengketa Lahan dan Desain Standarisasi Pelaporan dan Penanganan Sengketa Berbasis Kaidah Free, Prior Informed Consent (FPIC) yang diselenggarakan oleh Swandiri Institute dan Gemawan, Jumat (15/2/2013) petang, di Kantor Swandiri Institue di Jalan dr.Wahidin Gg.Silva Jaya, Kota Pontianak.
Terhadap konflik-konflik yang ada saat ini, ia menyebutkan, legal formal tidak dapat menjangkau keadilan yang substansi, pengadilan hanya bisa memutuskan perkara secara prosedural, artinya ada yang menang dan ada yang kalah di pengadilan.
“Kita menawarkan ada pendekatan alternatif diluar pengadilan yang disepakati oleh semua pihak,” ujarnya.
Menurut Delsy, mekanisme penyelesaian alternatif ini bisa berbasis hukum adat atau hukum positif lainnya, dan teknisnya bisa berbentuk konsensus, mediasi, negosiasi dan seterusnya. “Jika usulan alteratif ini hanya datang dari masyarakat, menjadi mubazir. Penting untuk semua pihak untuk membicarakan masalah ini,” jelasnya.
Ia memaparkan, untuk pencegahan konflik, masyarakat harus diberikan pemahaman yang utuh tentang untung ruginya investasi. Sehingga mereka tahu persis apa manfaat dan kerugian jika investasi dijalankan, terutama tentang hak-hak mereka seperti hak adat, hak sosial dan hak lingkungan. “Karena jika investasi terus berkembang, artinya akan mempersempit ruang mereka untuk membuka lahan, dan kita tahu secara demografis kebanyakan masyarakat tinggal didaerah yang secara ekonomi tergantung terhadap lahan dan hutan,” tuturnya.
Karena ia menilai, seluruh Indonesia secara karakter permasalahannya sama, masyarakat merasa haknya dirampas, masyarakat merasa dirugikan oleh perusahaan seperti kerusakan lingkungan, sehingga muncul kekerasan yang direspon dengan tindakan represif.
“Tapi akar pemasalahan sebenarnya adalah pengetahuan terhadap investasi, pola bagaimana investasi itu berjalan serta tidak adanya partisipasi atau melibatkan masyarakat,” katanya.
Sayangnya, lanjut Delsy, penyelesaian hanya bersandar pada mekanisme peradilan formal. Dibeberapa kasus, dikenakan sanksi adat dan itu berjalan. “Kita ingin ini diinstitusikan atau diakui oleh perusahaan dan pemerintah, bahwa ada penyelesaian alternatif diluar pengadilan,” harapnya.
Sementara itu, Dewan Pengurus Gemawan, Hermawansyah, mengatakan bahwa diskusi yang digelar pihaknya ini dimaksudkan untuk berbagi informasi tentang situasi konflik lahan akibat ekspansi perkebunan sawit di kalbar. “Ada hasil dari assessment atau pembacaan lapangan dari Delsy Ronnie, terutama studi kasus di Kabupaten Sintang dan Kubu Raya, terutama bagaimana melihat pola modus operandi penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan sawit,” paparnya. Sehingga, lanjut Hermawansyah, dari pembacaan lapangan itu, bisa dilihat peluang-peluang penyelesaian permasalahan konflik lahan seperti apa.
“Tentu kita tidak ingin letupan konflik lahan ini menjadi meluas. Oleh sebab itu pelan-pelan harus ada upaya sistematis dan terpadu dengan melibatkan semua pihak untuk bagaimana menginventarisir, mengidentifikasi situasi konflik yang terjadi, kemudian merumuskan jalan keluar untuk menyelesaikan konflik lahan,” ungkapnya.
Ia menilai, langkah yang dilakukan Polda Kalbar kemarin merupakan langkah positif, dengan mengumpulkan pemerintah daerah termasuk pengusaha untuk menyamakan persepsi akar permasalahannya seperti apa, sehingga dalam merumuskan langkah-langkah penyelesaian, maka itu didasari oleh kesamaan pandangan.
“Seharusnya memang begitu, bahkan inisiatif itu seharusnya diambil oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten,” usulnya.
Ia menghimbau agar Pemerintah Kabupaten membuat road map atau peta jalan tahapan penyelesaian konflik, sehingga konflik itu tidak terus menerus dan berulang-ulang.
Hadir sebagai perwakilan masyarakat Desa Seruat II, Kabupaten Kubu Raya (KKR), Abdul Majid, mengungkapkan permasalahan diwilayahnya terkait penolakan masyarakat terhadap PT Sintang Raya. “Perusahaan itu tidak jelas dan dari awal masyarakat sudah menolak tapi perusahaan jalan terus,” ujar Majid.
Menurutnya, pada waktu pembahasan perijinan perusahaan tersebut, masyarakat tidak pernah dilibatkan. “Sepengetahuan saya pengeluaran rekomendasi Kades perpanjangannya tahun 2002, kita tidak pernah mengetahui. Lalu diperpanjang lagi tahun 2007, hingga keluarlah HGU tahun 2008, dan lagi-lagi kita tidak pernah mengetahui,” jelasnya.
“Seharusnya pemerintah dan perusahaan itu melakukan sosialisasi dan transparan menyampaikan kepada masyarakat. Jika masyarakat tidak mau menerima, silahkan perusahaan angkat kaki,” tegas Majid. Dikatakanya, masyarakat ingin segera melakukan eksekusi dilapangan.
Ia mengatakan, yang diklaim masyarakat ada sekitar 500 hektar dan itu merupakan tanah adat yang turun temurun, jadi memang tidak ada surat-suratnya. “Tapi sertifikat pun tidak menjamin. Ada suatu lahan disatu desa di sana, yang memiliki sertifikat, tapi bermasalah juga,” pungkas Majid.
Ia memperingatkan agar permasalahan ini harus segera ada tindak lanjut, karena jika tidak, dikhawatirkan akan menjadi bom waktu
Selain Abdul Majid, kegiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan masyarakat desa Teluk Pakedai KKR bernama Solihin, yang tergabung dalam Komite Nelayan Pantai Selatan. (mwd/rfi)
Sumber : http://www.beritanda.com/nusantara/kalimantan/kalimantan-barat/11853-sengketa-lahan-perlu-penyelesaian-alternatif-diluar-pengadilan.html