Sumber Cahaya dan Pulau Maya

Kalimantan Barat dikenal sebagai wilayah dengan kekayaan alam melimpah, dari hutan tropis hingga lahan pertanian subur yang menopang kehidupan masyarakatnya. Namun, di balik potensi besar itu, sektor pertanian pangan menghadapi tantangan serius.
Petani yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan justru berada dalam posisi rentan—terjepit di antara krisis ekonomi, ketimpangan akses terhadap teknologi dan modal, serta tekanan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit yang masif.

Dalam konteks inilah, Gemawan menjalankan serangkaian inisiatif yang menempatkan petani sebagai aktor utama perubahan. Melalui asesmen komoditas, penguatan organisasi tani, dan advokasi kebijakan, Gemawan berupaya membangun ekosistem pertanian yang tangguh, inklusif, dan berkelanjutan.

Asesmen Komoditas: Langkah Awal Membangun Ekosistem Pertanian Berdaya

Pada Januari 2024, Gemawan melakukan asesmen komoditas pertanian di enam kabupaten/kota di Kalimantan Barat—Sambas, Singkawang, Mempawah, Sintang, Melawi, dan Kubu Raya. Langkah ini bertujuan mengidentifikasi potensi komoditas unggulan yang dapat dikembangkan oleh komunitas petani untuk memperkuat kemandirian ekonomi desa.

Menurut Heru Suprihartanto, Program Manager Gemawan, asesmen ini merupakan fondasi bagi penguatan jejaring antarpetani.

“Hasil dari asesmen ini akan menjadi dasar untuk memperkuat hubungan antarpetani yang memiliki komoditas serupa. Dengan membangun jaringan kolektif, mereka dapat meningkatkan daya jangkau pasar dengan skala yang lebih besar,” ujarnya.

Komoditas yang diasesmen mencakup padi, pisang, kelapa, umbi-umbian, nanas, kopi, dan pinang—komoditas yang selama ini menopang ekonomi lokal. Namun, Heru menegaskan, daftar ini terbuka bagi potensi baru yang muncul dari inovasi dan perubahan pasar.

“Bisa jadi ada komoditas potensial dengan prospek pasar baik yang belum tercatat. Karena itu, kami berharap terbentuk jaringan dan simpul komoditas yang lebih luas,” tambahnya.

Selain pemetaan, asesmen ini menyoroti pentingnya mendorong petani untuk berorganisasi. Selama ini, petani menjual hasil panen secara individu kepada pengepul, menyebabkan posisi tawar rendah dan harga jual yang tidak adil. Melalui serikat atau koperasi petani, mereka bisa menghimpun hasil panen dalam jumlah besar dan menjual langsung ke pasar atau pembeli besar tanpa perantara.

“Bayangkan jika 100 petani masing-masing punya panen 500 kg, berarti ada 50 ton. Dengan kapasitas itu, mereka bisa menembus pasar besar tanpa tergantung tengkulak,” jelas Heru.

Gemawan menilai, pengorganisasian petani adalah kunci perubahan struktur ekonomi desa—dari ketergantungan individu menuju kekuatan kolektif.

Potret Krisis Petani Pangan, Ancaman Kedaulatan Pangan Kalimantan Barat

Meski sektor pertanian menyumbang lebih dari 20% terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalimantan Barat, petani pangan tetap menjadi kelompok yang paling rentan.
Sensus Pertanian 2023 menunjukkan lebih dari 50% pengelola usaha pertanian berusia di atas 45 tahun. Fenomena aging farmer ini menjadi ancaman bagi regenerasi pertanian.
Petani muda enggan terjun ke sawah karena minimnya dukungan modal, akses lahan, dan jaminan harga yang layak.

Hanya 20% petani yang telah memanfaatkan teknologi modern dalam aktivitasnya. Sebagian besar masih menggunakan metode tradisional, tanpa sistem irigasi efisien atau mekanisasi. Di sisi lain, program bantuan pemerintah sering kali tidak tepat sasaran dan tidak menjangkau petani kecil di tingkat desa.

Krisis ini diperburuk oleh dampak perubahan iklim. Curah hujan ekstrem, kekeringan, banjir, serta kebakaran lahan membuat hasil panen menurun drastis. Petani padi di daerah rawa dan pesisir kehilangan lahan akibat intrusi air laut dan abrasi.
Dalam kondisi seperti ini, ketahanan pangan lokal terancam, dan banyak keluarga petani jatuh ke jurang kemiskinan.

“Krisis iklim dan krisis kebijakan membuat petani kehilangan daya tahan. Mereka berada di garis depan, tapi paling sedikit mendapat perlindungan,” ungkap Muhammad Yamin Adysa Putra, pegiat sosial.

Perkebunan Sawit dan Ancaman terhadap Ketahanan Pangan

Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit mendominasi bentang pertanian Kalimantan Barat, mencapai sekitar 77% dari total luas lahan perkebunan. Sawit menyumbang devisa besar bagi negara melalui ekspor CPO, serta membuka lapangan kerja di sektor perkebunan dan industri turunan.

Namun, keberhasilan ekonomi ini menyimpan sisi gelap. Pembukaan lahan sawit skala besar menyebabkan deforestasi, konflik lahan, dan hilangnya sumber air bersih. Banyak lahan pertanian pangan yang dialihfungsikan menjadi kebun sawit, membuat ketersediaan pangan lokal menurun. Masyarakat yang sebelumnya memproduksi makanan kini justru bergantung pada pangan dari luar daerah.

Di tingkat sosial, konversi lahan juga mengubah struktur ekonomi desa.
Petani yang dulu menanam padi untuk kebutuhan pangan kini beralih ke sawit yang hasilnya tidak bisa langsung dimakan. Ketergantungan pada pasar meningkat, dan ketika harga CPO turun, ekonomi desa ikut terpukul.

Gemawan menilai, pertanian pangan memiliki urgensi jangka panjang yang lebih dalam dibanding sawit. Pertanian pangan menjamin keberlanjutan sosial-ekologis, sementara sawit hanya menguntungkan secara finansial jangka pendek.

Antara Ekonomi, Ekologi, dan Regenerasi Petani

Ketahanan pangan sejati tidak hanya soal ketersediaan beras di pasar, tetapi juga kemampuan petani kecil untuk tetap bertahan di tanahnya.
Itulah sebabnya, Gemawan mendorong diversifikasi pangan lokal serta penguatan kelembagaan petani. Pendekatan ini mencakup:

  • Adopsi teknologi ramah lingkungan: seperti pertanian tanpa bakar, sistem irigasi hemat air, dan inovasi digital dalam distribusi hasil panen.

  • Regenerasi petani muda melalui pendidikan, pelatihan, dan akses permodalan.

  • Kebijakan afirmatif pemerintah daerah yang melindungi lahan pangan berkelanjutan dan menahan laju alih fungsi lahan.

Dengan cara ini, sektor pertanian tidak hanya menopang ekonomi, tetapi juga menjaga keseimbangan ekologi dan kedaulatan pangan masyarakat lokal.

Jalan Menuju Kemandirian dan Keadilan Pangan

Kalimantan Barat memiliki dua wajah pertanian: satu yang berjuang mempertahankan lahan pangan demi ketahanan masyarakat, dan satu lagi yang berorientasi pada ekspor komoditas global.
Menjembatani dua kepentingan ini membutuhkan keberpihakan politik yang jelas terhadap petani kecil.

Gemawan percaya bahwa masa depan pertanian ada di tangan komunitas yang terorganisir, inovatif, dan berdaulat atas sumber penghidupannya.
Dengan dukungan kebijakan yang adil, kolaborasi lintas sektor, serta penguatan kapasitas di tingkat akar rumput, kemandirian pangan Kalimantan Barat bukan sekadar cita-cita—tetapi keniscayaan yang bisa diwujudkan.

Penulis: Mohammad R., pegiat Gemawan.

Membangun Kedaulatan Pangan di Kalimantan Barat