Dari sisi aktifitas petani ladang, metode dalam membuka lahan sejatinya sudah berpikir tentang langkah-langkah pencegahan kebakaran hutan maupun lahan yang dapat menimbulkan masalah baru. Mengapa mereka harus dikambing hitamkan dengan kabut asap!
Kegiatan berladang sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka dan membuka lahan dengan sistem berpindah-pindah dan membakar.
Kegiatan membakar adalah rangkaian akhir dari proses yang dilakukan dalam mengolah lahan, proses membuka lahan yang dilakukan oleh petani ladang adalah pertama menentukan kawasan atau lokasi dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu dengan melakukan survei lokasi untuk mengecek keadaan tanah, seperti apakah subur atau tidak? Gambut atau tidak?
Jika telah dianggap cocok maka lokasi tersebut akan diberi tanda dengan menancapkan kayu sebagai penanda bahwa lokasi tersebut akan dibuka dan dijadikan ladang.
Setelah pasca survei, rentang waktu baru boleh membuka lahan lebih lanjut adalah satu samapai dua bulan, hal ini untuk mendengar tanggapan dan masukan dari masyarakat lainnya, untuk melihat ada tidaknya permasalahan yang timbul serta untuk memastikan lahan sudah dalam keadaan clear and clean.
Setelah lokasi lahan dianggap tidak ada persoalan, berikutnya kegiatan membuka lahan di hari pertama dilakukan untuk mempersiapkan tempat bersistirahat bagi pekerja, memastikan sumber air atau sungai yang dapat diakses selama kegiatan membuka lahan serta mempersiapkan peralatan seperti batu asah dan peralatan lain-lainnya.
Hari pertama ini juga digunakan untuk memberikan ruang mengundang masyarakat luas untuk bergabung dalam kegiatan di hari berikutnya.
Kegiatan membuka lahan biasanya di rentang waktu bulan Mei-Juni, dan waktu membakar lahan di bulan Agustus dan September. Sebelum membakar lahan diberi sekat pemisah mengelilingi lahan yang hendak dibakar dan saat hendak membakar, harus sepengetahuan pemilik lahan yang berada di sekitar lahan yang hendak dibakar serta jika diperlukan biasanya akan meminta bantuan beberapa orang warga masyarakat lainnya, lahan akan ditinggalkan jika sudah dipastikan api sudah dalam keadaan benar-benar padam atau tidak menyasar ke lahan lainnya.
Karhutla dan Kabut Asap Hebat Mulai Terjadi
Semenjak dibukanya ruang bagi investasi untuk perkebunan sekala besar di Indonesia, sejarah mencatat karhutla terparah pernah terjadi di Riau dan Kalimantan tahun 1997 silam. Hal ini juga tidak terlepas oleh kebijakan pertanian dari pemerintah saat itu (https://tirto.id/eijN).
Kejadian karhutla saat ini juga karena disebabkan oleh ulah para pemilik perkebunan yang lalai dalam pengawasan maupun penanggulangan kebakaran lahan dan hutan di sekitar areal perkebunan dan pembukaan areal gambut. Sampai saat ini tercatat lima perusahaan menjadi tersangka penyebab kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap dengan luas yang cukup besar (tempo.co Kamis, 19 September 2019).
Menyoal Kabut Asap
Jadi, persoalan karhutla dan kabut asap hari ini serasa tidak elok jika ditujukan kepada petani ladang sebagai biang keroknya. Untuk itu, mari kita bertanya siapa yang menguasaai hutan dan lahan di Indonesia? Pengusahakah atau petani?
Sudah sejauh mana program pemerintah dalam menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi petani ladang? Sudah hadirkah pemerintah di gubuk-gubuk derita petani yang sampai hari ini masih berjuang melawan statusnya sebagai penyumbang kemiskinan?
Pertama, pemerintah seharusnya hadir jauh sebelum terjadinya karhutla, seperti harus memiliki data dan lokasi yang riil petani yang berladang dan hendak membakar lahan. Dengan demikian akan melahirkan pemahaman bersama antara petani dan pemerintah untuk membangun langkah-langkah strategis yang terencana untuk melakukan pencegahan terjadinya kebakaran hutan maupun lahan.
Sehingga tidak akan muncul lagi statement yang menggores perasaan petani dengan keluarnya kata-kata tanpa kajian dan data yang riil seperti yang diungkapkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Hak Asasi Manusia Wiranto terkait kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Kalteng akibat peladang.
Kedua, ada pekerjaan rumah para wakil rakyat yang baru saja terpilih yang akan dilantik, harus melihat dan menjawab persoalan-persoalan di tingkat petani. Wakil rakyat perlu mendesain, melahirkan dan memproduksi kebijakan-kebijakan yang tidak menimbulkan persoalan baru.
Jika Pemerintah dan wakil rakyat tidak memproduksi kebijakan yang berpihak pada petani ladang, saya ragu mereka akan terus menjadi kambing hitam atau jangan – jangan kambing hitam itu adalah kambing yang berdasi!
Penulis adalah District Office Coordinator Sintang Perkumpulan Gemawan
Pertama kali tayang di Rubrik Opini Harian Suara Pemred pada hari Rabu, 25 September 2019