Indonesia sungguh tanah yang kaya. Aneka tambang dan hasil bumi ada di mana-mana. Tak heran, perkebunan dan pertambangan tak kunjung surut bahkan terus berkembang. Ini tentu menggembirakan, tetapi di sisi lain banyak hak penduduk setempat terlukai oleh pesatnya aneka industri ini.
Danau Semenduk di Desa Sejotang, Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, tampak menyusut, Rabu (10/6). Bekas danau itu kini diisi aneka peralatan industri yang jelas melanggar batas izin yang mereka miliki.
Kenyataan yang ada, aneka pertambangan dan perkebunan di Indonesia tak selalu menyejahterakan semua warga tempat industri itu berlangsung. Banyak kasus membuat pesimistis akan masa depan penduduk setempat, seperti beberapa kasus yang terjadi di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, berikut ini.
Di dekat Danau Bekat, sebuah perusahaan membuat jembatan untuk akses angkut peralatan. Namun, karena pembuatannya agak “kejar tayang”, jembatan tersebut sempat runtuh. Perbaikan jembatan pun asal-asalan sehingga banyak material sisa runtuhan menimbun sungai di bawah jembatan.
“Kini, kalau air surut, sering kami harus mengangkat perahu untuk menuju Danau Bekat mencari ikan,” kata Novi, nelayan Danau Bekat.
Kasus itu jadi contoh terusiknya kepentingan penduduk. Namun, kasus lain membuat penduduk setempat lambat laun akan terusir dari wilayahnya sungguh nyata, seperti di Desa Sejotang, Kecamatan Tayan Hilir. Danau Semenduk di tepi desa itu lima tahun terakhir menyusut drastis. Danau yang lima tahun lalu seluas 41,5 hektar pada awal Juni lalu menyisakan beberapa hektar saja.
Di banyak bagian danau yang kering, berjajar aneka alat industri, seperti backhoe, buldoser, dan truk. Lengkap berikut gudang dan garasinya.
“Siapa pun pemilik aneka peralatan itu pasti melanggar batas izin wilayah usahanya. Wilayah danau dan rawa tak mungkin diizinkan jadi kawasan industri,” kata Arif Munandar, peneliti dari Swandiri Institute yang mendampingi warga memperjuangkan hak-hak mereka.
Sementara itu, Kepala Desa Sejotang Pius Tomi mengatakan, menghilangnya Danau Semenduk akibat aneka penambangan bauksit di sekitarnya. “Pencucian hasil penambangan, lalu pembuangan sisa penambangan yang sembarangan mendangkalkan danau ini. Sebagian besar nelayan di sini kehilangan mata pencarian,” kata Tomi.
Menurut Arif, ia sudah memetakan kembali kawasan Danau Semenduk dan sekitarnya memakai pesawat nirawak (drone) (baca tulisan “Drone, Murah, Mudah, dan Tidak Bohong”). “Hasil pemetaan kami membuktikan, banyak industri sekitar Semenduk melanggar hak daerah izin usaha. Saya pernah melaporkan hal ini ke berbagai pihak, tetapi jawabannya selalu soal keterbatasan tenaga pengawas,” ujarnya.
Hal serupa terjadi di Desa Subah, Kecamatan Tayan Hilir. Penambangan bauksit dan perkebunan kelapa sawit merusak wilayah permukiman warga sejak 1960-an. Sisa penambangan bauksit juga mencemari danau sekitar Desa Subah sehingga warga kian sulit mendapat ikan.
Sukarjo, nelayan di Subah, mengatakan, ada beberapa jenis ikan punah. Secara umum ikan kian sulit didapat. “Dulu dapat 10 kilogram ikan sehari cukup mudah. Sekarang 2 kilogram saja sudah beruntung. Kalau air pembilasan bauksit masuk dan air keruh, ikan menghilang sama sekali,” keluhnya.
Kepala Dusun Subah Antonius Anam memaparkan hal lebih meresahkan. Menurut dia, pengusaha perkebunan sawit malah sudah memaksa menanami rawa-rawa dengan pohon kelapa sawit. “Kedalaman air masih 1 meter ditanami juga. Pelan tapi pasti, rawa-rawa tempat kami ambil air dan ikan makin habis,” katanya.
Ia pun terkejut mendapati kenyataan hutan adat mereka sebagian jadi hak pengusaha kelapa sawit. “Dulu, perkebunan eukaliptus membuat tanah kami tak subur, kini tanah kami pelan-pelan terampas. Kami tak bisa membuktikan koordinat wilayah kami, sementara mereka selalu berlindung dari surat izin. Entah bagaimana ini bisa terjadi,” kata Anam.
Arif mengatakan, pemetaan Swandiri Institute memakai drone membuktikan ada banyak pelanggaran wilayah di Subah. “Bukti ini siap diangkat ke ranah publik,” ujarnya.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juli 2015, di halaman 14 dengan judul “Hak Warga yang Terampas”.