Air sumber kehidupan

Air adalah sumberdaya alam (SDA) yang sangat vital bagi kehidupan. Ia menjadi elemen utama dan tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia di bumi. Namun, seiring waktu, kondisi sumber daya air di Indonesia terus mengalami kemunduran. Berdasarkan laporan Forestry and Freshwater World Wildlife Fund for Nature (WWF) pada 2019, data per Desember 2018 menunjukkan dari 82 sungai yang dipantau, hanya 50 sungai yang berada dalam kondisi stabil, 18 membaik, dan 14 mengalami kerusakan. Bahkan secara keseluruhan, WWF mencatat 82 persen dari total 550 sungai di Indonesia telah mengalami kerusakan.

Di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang pesat turut mendorong peningkatan kebutuhan air bersih. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan jumlah rumah tangga yang memiliki akses terhadap sumber air minum layak: dari 65,05 persen pada 2012, menjadi 68,11 persen pada 2014, dan mencapai 72,04 persen pada 2017. Namun, akses ini tidak menjamin kualitas lingkungan yang sehat. Laporan WHO pada 2017 menyebutkan bahwa lingkungan yang tercemar—termasuk air yang kotor—berkontribusi terhadap 1,7 juta kematian anak setiap tahun akibat diare berat, malaria, dan pneumonia.

Kebersihan air menjadi tolok ukur penting dalam menjamin keberlangsungan hidup yang sehat. Air yang bersih tidak hanya mendukung kesehatan, tetapi juga mencerminkan keberhasilan masyarakat dalam menjaga lingkungan.

Perempuan dan Air: Peran yang Terlupakan

Perempuan adalah kelompok yang paling dekat dengan urusan air dan sanitasi, baik sebagai pengguna utama dalam pekerjaan rumah tangga, maupun sebagai penerima dampak dari kerusakan lingkungan. Sayangnya, beban ini kerap dianggap sebagai tanggung jawab eksklusif perempuan, padahal pekerjaan domestik seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah dilakukan dalam kerangka memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga.

Meski sering kali berada di garis depan pengelolaan air di tingkat rumah tangga, perempuan masih jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolaan SDA. Padahal, prinsip kesetaraan gender adalah kunci dari pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan. De Vries (2006) menegaskan bahwa kesetaraan dalam pengelolaan sumber daya mencakup kesetaraan gender, bukan hanya antara kelompok kepentingan yang berbeda.

Perempuan, Budaya, dan Tantangan Partisipasi

Pembagian kerja berbasis gender yang terjadi di masyarakat sering kali bukan hasil kesepakatan, tetapi warisan budaya patriarki. Perempuan direpresentasikan dalam ranah domestik, sedangkan laki-laki menguasai ranah publik dan pengambilan keputusan. Hal ini menyulitkan perempuan, khususnya di pedesaan, untuk mendapatkan akses informasi dan berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam pengelolaan SDA.

Padahal, Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 telah menjamin hak partisipasi dan akses informasi bagi seluruh warga desa, termasuk perempuan. Pasal 26 ayat (4) menyebutkan bahwa kepala desa berkewajiban melaksanakan kehidupan demokratis yang berkeadilan gender serta memberikan informasi kepada masyarakat. Pasal 68 ayat (1) dan pasal 82 ayat (1) menegaskan hak warga desa untuk mendapatkan informasi terkait pembangunan, yang sangat relevan bagi perempuan yang hidup berdampingan dengan sumber daya seperti sungai.

Stereotip: Tantangan Sekaligus Peluang

Budaya patriarki masih menempatkan perempuan sebagai pihak yang “kurang layak” untuk terlibat dalam pengambilan keputusan. Ini menciptakan hambatan psikologis dan struktural yang mengurangi partisipasi perempuan dalam pembangunan. Namun, stereotip ini juga dapat menjadi peluang: ketika sebagian perempuan mulai menyadari potensi dan haknya untuk berpartisipasi aktif, kesadaran ini dapat menular dan membentuk gerakan kolektif. Apalagi, dalam isu lingkungan seperti pencemaran air, perempuan adalah pihak yang paling terdampak, sekaligus yang paling memiliki pengalaman untuk terlibat dalam solusi.

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa air dan kekayaan alam lainnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945 ayat 3). Hal ini ditegaskan kembali dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa penyediaan air bersih adalah salah satu tanggung jawab pemerintah daerah sebagai pelayanan publik.

Pemerintah daerah perlu lebih responsif terhadap krisis air, dengan mengambil langkah nyata seperti rehabilitasi sungai, edukasi publik tentang kebersihan air, penegakan hukum terhadap praktik illegal logging dan pembuangan limbah, serta memperkuat kolaborasi dengan masyarakat, termasuk perempuan. Praktik-praktik sederhana—seperti tidak membuang sampah ke sungai—jika didukung kebijakan dan partisipasi aktif, bisa memberi dampak besar dalam menjamin keberlangsungan hidup masyarakat.

Penulis: Arniyanti, pegiat Gemawan.

Penyunting: Ersa Dwiyana, pegiat Gemawan.

Air, Perempuan, dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Alam
Tag pada: