Kampanye iklim Jaga Pesisir Jaga Kehidupan

Perubahan iklim semakin terasa nyata di Indonesia: banjir tahunan, kekeringan panjang, naiknya permukaan laut, hingga cuaca ekstrem yang mengancam ketahanan pangan. Meski kontribusi emisi karbon Indonesia hanya sekitar 1,3% dari total dunia, dampaknya bisa jauh lebih besar karena kerentanan geografis dan sosial. Di tengah kondisi ini, peran orang muda—khususnya generasi milenial—sangat penting. Mereka hidup di era digital, dekat dengan teknologi, dan media sosial adalah ruang utama bagi mereka untuk belajar, berdiskusi, sekaligus bergerak.

Sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa media sosial bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga arena kampanye iklim. Orang muda Indonesia menggunakan platform digital untuk menyebarkan informasi, membangun komunitas, hingga mengajak tindakan nyata. Namun, pola penggunaan ini tidak selalu sederhana. Ada faktor sosial, budaya, hingga tantangan yang perlu dicermati.

Panggung Utama Kampanye Iklim

Data penelitian menunjukkan mayoritas milenial Indonesia menjadikan Instagram sebagai ruang utama untuk diskusi perubahan iklim. Sebanyak 41% responden memilih platform ini, jauh di atas WhatsApp (18%), Facebook (13%), Twitter (11%), YouTube (8%), LinkedIn (6%), dan TikTok (4%). Mengapa Instagram begitu dominan? Ada beberapa alasan.

Pertama, sifatnya yang visual membuat isu rumit seperti perubahan iklim bisa dipahami lebih mudah melalui foto, infografis, dan video singkat. Kedua, pengaruh jejaring sosial. Sebanyak 31% responden mengaku menggunakan Instagram karena teman-teman mereka juga aktif di sana. Ketiga, ada daya tarik kampanye ramah lingkungan yang sering muncul di platform ini.

Selain itu, figur publik berperan penting. Nama-nama seperti Nicholas Saputra, Nadya Hutagalung, Nadine Chandrawinata, hingga Hamish Daud sering disebut responden sebagai tokoh yang membuat mereka tertarik pada isu lingkungan. Kehadiran selebritas dan influencer tidak hanya memperluas jangkauan pesan, tetapi juga memberi “role model” yang bisa ditiru.

Namun, ada catatan besar: meskipun diskusi iklim ramai di media sosial, keterlibatan dengan pakar atau ilmuwan masih sangat terbatas. Dari 85 responden survei, hanya lima orang yang pernah berdiskusi dengan ahli perubahan iklim secara online. Sebaliknya, 40% lebih sering berbicara dengan teman, 25% dengan rekan kerja, dan 16% dengan keluarga. Ini menunjukkan bahwa percakapan iklim masih cenderung informal, berbasis kedekatan sosial, bukan sumber pengetahuan ilmiah.

Kampanye iklim dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, disesuaikan dengan pengalaman yang ingin dibangun bagi target khalayak. Gambar: Istimewa.

Dari Kesadaran Digital ke Aksi Nyata

Media sosial memberi banyak keuntungan. Lebih dari 50% responden merasa platform digital memudahkan interaksi langsung dengan audiens, 48% menilai media sosial mempercepat penyebaran informasi, dan 40% percaya kampanye online mendorong orang untuk bertindak. Tidak heran, banyak orang muda yang setelah melihat konten di Instagram atau WhatsApp mulai mencoba aksi sederhana: mengurangi plastik sekali pakai, hemat listrik, ikut donasi bencana, atau menanam pohon bersama komunitas.

Namun, manfaat ini tidak datang tanpa masalah. Misinformasi adalah tantangan terbesar. Lebih dari 70% responden mengaku khawatir dengan berita palsu atau konten menyesatkan tentang iklim. Selain itu, ada fenomena “slacktivism”—ketika seseorang merasa sudah berkontribusi hanya dengan memberi “like” atau membagikan postingan, padahal tidak ada aksi nyata di lapangan. Sebagian responden juga merasa media sosial justru bisa mengalihkan perhatian karena bercampur dengan konten hiburan yang lebih ringan.

Yang menarik, hampir setengah responden justru lebih nyaman berdiskusi tentang iklim secara offline: lewat pertemuan komunitas, seminar, atau forum kampus. Mereka menilai diskusi tatap muka lebih mendalam dan memberi kesempatan bertukar pengalaman langsung. Hal ini menunjukkan bahwa kampanye iklim tidak bisa hanya mengandalkan media sosial, tetapi harus dipadukan dengan pendekatan offline agar lebih kuat.

Penelitian ini memberi beberapa rekomendasi penting. Pertama, kampanye iklim harus fokus pada Instagram dan WhatsApp karena paling populer di kalangan orang muda. Kedua, melibatkan selebritas dan influencer dapat memperluas jangkauan pesan. Ketiga, pakar dan ilmuwan perlu lebih aktif berkomunikasi dengan bahasa sederhana agar mudah dipahami. Keempat, strategi kampanye harus memadukan online dan offline agar kesadaran digital berlanjut menjadi aksi nyata.

Dengan cara ini, energi orang muda bisa diarahkan bukan hanya untuk menciptakan viralitas di dunia maya, tetapi juga perubahan nyata di lapangan. Media sosial memang bukan solusi tunggal, tapi ia adalah pintu masuk yang efektif untuk membangun kepedulian iklim di kalangan generasi milenial Indonesia.

Penulis: Mohammad R., pegiat Gemawan.

Sumber: Adinur Zein dkk. (2024), Social media use for climate change campaign among Indonesian millennials.

Kampanye Iklim, Media Sosial, dan Generasi Z Indonesia
Tagged on: