
Mimpi Rambutan Sawang jelas: terus berkembang dalam ilmu, wawasan, dan kontribusi sosial. Mereka ingin kantin Ramadan makin maju, bisa membantu lebih banyak warga, dan menjadi garda depan pelestarian kuliner tradisional. “Kalau bukan kami, siapa lagi?” ujar Laila.
Di tengah rimbunnya pepohonan dan hamparan kebun keladi di Setapuk Besar, Singkawang, sekelompok perempuan dengan semangat baja terus menjaga api kebersamaan. Mereka Kelompok Rambutan Sawang, yang sejak 2006/2007 mengukir cerita tentang ketahanan komunitas, pelestarian kuliner tradisional, dan upaya bertahan di tengah arus modernisasi.
Semua berawal ketika Sri, seorang penggerak komunitas, mendatangi warung milik Maria di Setapuk Besar. Pertanyaan sederhana, “Di mana ada kelompok ibu-ibu?” menjadi pemicu terbentuknya kumpulan perempuan yang awalnya hanya berkegiatan di rumah Sumalah—seorang anggota yang rutin mengadakan pengajian.
Nama “Serumpun” baru muncul setelah kongres tahun 2009 di Sedau, di mana perwakilan mereka bersama kelompok lain menyatukan visi. “Waktu itu, kami dikira tim sukses pemilu!” kenang para anggota sambil tertawa. Empat kali pergantian kepengurusan tak menyurutkan semangat mereka.
Silaturahmi sebagai Tulang Punggung
Nama “Rambutan Sawang” bukan sekadar identitas. Ia adalah simbol akar yang kuat: seperti pohon rambutan yang bertahan di berbagai musim, kelompok ini teguh menjaga tradisi sambil merangkul perubahan. Di tangan mereka, setiap helai daun bukan hanya peneduh, tapi pengingat: bahwa di tengah gempuran zaman, solidaritas dan warisan nenek moyang tetap bisa tumbuh subur.
“Yang membuat kami bertahan? Silaturahmi,” ujar Laila Puspasari, ketua kelompok. Meski tinggal berdekatan, kesibukan masing-masing sering membuat mereka jarang bertemu. Melalui pertemuan rutin, mereka tak hanya berbagi kue tradisional, tetapi juga cerita, keluh kesah, dan ide. Prinsip mereka teguh: “Mau berapapun anggotanya, kelompok ini tetap jalan.”
Selama belasan tahun, Rambutan Sawang konsisten mengadakan kantin Ramadan dan berbagi sembako menjelang hari raya. “Walau sedikit, kami ingin membantu yang membutuhkan,” kata Erni, anggota senior. Kegiatan ini perlahan mengubah pandangan masyarakat. Dari yang awalnya diremehkan sebagai “perkumpulan emak-emak orang kaya”, kini mereka dikenal sebagai kelompok yang memberi dampak nyata.
Melawan Kepunahan: Kue Tradisional yang Hampir Punah
Di dapur sederhana mereka, aroma kue daram-daram — yang dibuat hanya dari tepung beras dan gula merah tanpa setetes air — masih sesekali tercium. Namun, banyak resep turun-temurun mulai hilang. Kue putu beras Banjar dan putu jemor nyaris punah karena bahan baku sulit didapat.
“Beras Banjar sudah jarang ditanam. Kalau pun ada, panen pakai combine, sehingga padinya bercampur dengan yang biasa. Ini membuat teksturnya tak lagi sempurna,” keluh Erni, yang masih berusaha mempertahankan rasa autentik dengan menumbuk beras pulut manual.
Tak hanya itu, dodol serang dan gule gantar — kue dari parutan kelapa setengah tua dan gula — juga mulai lenyap. “Dulu, setiap dibawa ke Sambas, dodol serang kami selalu ludes,” ujar mereka dengan rindu.
Bertahan Menghadapi Tantangan
Mereka tak bekerja sendiri. Kelompok ini menjalin kemitraan dengan komunitas mangrove, PKK, dan Kelurahan Setapuk Besar untuk penanaman pohon di kawasan wisata mangrove. Puskesmas Singkawang Utara pernah memberikan pelatihan kesehatan, sementara Pemkot Singkawang mengundang mereka dalam perayaan Hari Ibu. “Kami ingin lebih sering dilibatkan dalam kegiatan pemerintah, seperti seminar atau pelatihan,” harap Laila.
Jalan mereka memang tak mulus. Olok-olok seperti “perkumpulan emak-emak” sempat melukai, tapi dihadapi dengan senyuman. “Kami sudah kebal, anggap saja angin lalu,” kata Erni. Tantangan terbesar justru datang dari dalam: kesibukan anggota dan sensitivitas komunikasi. “Kalau salah bicara, ada yang mau mundur. Kami harus banyak mengalah,” tambahnya.
Di sisi lain, modernisasi menggerus tradisi. Mesin penggiling menggantikan tumbukan manual, beras hibrida menggeser varietas lokal, dan generasi muda lebih memilih kue kekinian. “Beras pulut Thailand lebih putih dan murah, tapi kami ingin tetap pakai hasil lokal,” tekad mereka.
Harapan: Menjadi Pelita bagi Masyarakat
Mimpi Rambutan Sawang jelas: terus berkembang dalam ilmu, wawasan, dan kontribusi sosial. Mereka ingin kantin Ramadan makin maju, bisa membantu lebih banyak warga, dan menjadi garda depan pelestarian kuliner tradisional. “Kalau bukan kami, siapa lagi?” ujar Laila.
Sembari memandang hamparan keladi di belakang rumah — yang dijual Rp6.000/kg ke pabrik keripik — mereka berbisik harap: “Semoga suatu hari, beras Banjar dan kue daram-daram bisa kembali menghidupi keluarga, seperti dulu…”
Catatan Redaksi:
Artikel ini ditulis berdasarkan wawancara langsung dengan anggota Kelompok Rambutan Sawang. Data dan kisah disarikan dari perbincangan pada Mei 2025 di Setapuk Besar, Singkawang.
Penulis: Wanti Astriani, pegiat Gemawan.
Penyunting: Ersa Dwiyana, pegiat Gemawan.