Kopi Liberika

“Harapan kami, kopi liberika dari Desa Podorukun bisa menjadi ikon. Makanya kemarin, ketika mau dibantu oleh Dinas Perkebunan Kabuaten Kayong Utara, yang seolah-olah menyerukan terima ajalah, terus saya kembalikan. Kalau saya terima, pencinta kopi sudah mulai berkurang,” terang Srianto.

Minum kopi menjadi tren yang tidak terpengaruh oleh pandemi Covid-19. Tren yang sudah ada berpuluh tahun di tengah masyarakat Kalbar ini, tidak hanya bisa dilakukan di rumah-rumah oleh kalangan orang tua. Tetapi juga sudah merambah ke warung kopi bahkan kafe hingga restoran untuk dinikmati oleh kaum muda.

Hal itu pula yang terjadi dengan para petani kopi di Desa Podurukun, Kecamatan Seponti, Kabupaten Kayong Utara.Kebun kopi milik petani di desa ini, sama sekali tidak terpengaruh oleh pandemi. Bahkan penjualannya cenderung mengalami peningkatan setiap tahun.

Untuk diketahui, Desa Podorukun merupakan salah satu desa yang maju dan menjadi penghasil pangan di Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat. Para petani di desa ini sudah menanam kopi lebih 20 tahun yang lalu.

Salah satu petani kopi Desa Podorukun, Srianto mengungkapkan, awalnya kopi masuk ke Podorukun, sekitar tahun 1997. Namun pada tahun-tahun itu, kopi tidak pernah tidak laku. Padahal, dijual dengan harga Rp1.500 per kilogram.

Akhirnya, berkat salah satu warga di Podorukun yang bisa menembus Pasar Sambas, dengan angka penjualan 5-10 ton, kopi dari Podorukun perlahan-lahan naik daun.

“Saya sendiri punya tanaman (kopi) baru satu hektare waktu itu. Tetangga saya sekarang sudah diteruskan oleh tetangganya,” ujar Srianto, di Kantor DesaPodorukun, Jumat (6/11) lalu.

Laki-laki paruh baya yang juga anggota Kelompok Tani (Poktan) Cahaya Kayong itu menuturkan bahwa pengembangan kopi yang ada saat ini adalah kopi liberika. Sebelum ada pengembangan kopi liberika secara masif, petani di Podorukun awalnya berjumpa dengan Iwan, pemilik Kopi Kojal di Pontianak.

Iwan yang menjadi pemasok kopi liberika Podorukun dan sampai sekarang permintaannya masih terus ada. Selain digunakan untuk bisnis warung kopinya, Iwan juga menjadi rekan para petani kopi mengenalkan liberika ke daerah lain.

Menurut Srianto, kopi liberika Podorukun, pernah dipamerkan oleh Iwan Kojal bersama anggota dewan hingga ke Malaysia. Setelah itu, Malaysia menanyakan apakah para petani sanggup memenuhi permintaan 30 ton per bulan. Sayangnya, petani kopi di Podorukun tidak bisa memenuhi permintaan tersebut.

“Di sini kesulitannya adalah waktu pasca panen. Karena punya lahan yang cukup luas, tapi banyak lahan yang terbengkalai. Ada beberapa hektare juga yang udah tidak produksi,” ungkapnya.

Kopi Liberika: Ikon dari Kayong Utara

Selain pernah dipamerkan di Negeri Jiran, hal yang paling membanggakan bagi petani Podorukun yakni pada 14 Agustus, ditetapkan sebagai Hari Kopi Kayong Utara. Penetapan tersebut diinisiasi oleh Bupati Kayong Utara, Citra Duani. Diketahui, pelaksanaan hari kopi pertama kali bertempat di Desa Podorukun, Kecamatan Seponti.

“Harapan kami, kopi liberika dari Desa Podorukun bisa menjadi ikon. Makanya kemarin, ketika mau dibantu oleh Dinas Perkebunan Kabuaten Kayong Utara, yang seolah-olah menyerukan terima ajalah, terus saya kembalikan. Kalau saya terima, pencinta kopi sudah mulai berkurang,” terang Srianto.

“Ternyata juga saya punya misi, dari kelompok Cahaya Kayong, katanya supaya punya ikon. Nanti setelah bibit kopi ini sudah terkenal, dipatenkan, bahwa di Podorukun mempunyai bibit kopi yang unggul yang bisa diakui. Takutnya nanti ada unggulan bibit, sama-sama muncul, berebut nama, jadi salah satu pertengkaran. Kita menghindari hal itu,” imbuhnya.

Sementara itu, Feri, petani muda Podorukun mengatakan bahwa dirinya merupakan ahli waris. Ia hidup dan dibesarkan dari kopi.

“Saya ini sebagai ahli waris. Anggaplah saya besar dari kopi, dari tahun 94. Sampai biaya kuliah saya pun dari kopi. Kehidupan kami dari kopi. Kebetulan pengembang ketiga orang tua saya. Dulu itu penampung di sana orang tua saya,” ujar pemuda yang juga sekretaris desa itu.

Feri mengungkapkan bahwa Poktan Cahaya Kayong memang hasil dampingan dari Iwan Kojal. Oleh sebab itu, ia bersama dengan rekan-rekan pemuda yang menjadi ahli waris membentuk kelompok tani sendiri bernama Mitra Kopi.

“Kami dari desa berterima kasih. Berkat kawan-kawan media, segala macam orang yang masuk ke Podorukun, nama kopi liberika Podorukun bisa naik,” ucapnya.

“Saya terus mengatakan bahwa saya tidak mau mengeluarkan produk. Produk biarlah yang sudah berjalan seperti Bu Lika (pemilik Kopi Lika). Tinggal bagaimana Bu Lika merekrut orang banyak,” imbuhnya.

Feri bersama para pemuda lainnya, ingin fokus pada peningkatan kualitas, seperti pemeliharaan, penambahan lahan, juga menyemangati para petani.

Maka, ia menginginkan ada suatu wadah yang menampung. Sebab, menurut Feri, sekarang ini orang-orang masih semangat menanam kopi, semangat membicarakan kopi, bahkan semangat minum kopi.

“Yang menjadi permasalahan petani adalah hasil panen kami siapa yang nampung, siapa yang beli, laku atau ndaknya, harganya itu gimana?” kata Feri.

Feri menyampaikan beberapa harapan mewakili pemerintah desa dan para petani di desanya.

“Harapan saya, tolonglah dinas-dinas, kami mau menentukan liberika kami varietas ke berapa atau keturunan keberapa atau F (keturunan) ke berapa,” sebutnya.

“Yang kedua, mengapa kami membentuk kelompok yang muda. Kalau kami, terus terang tidak bisa memaksa orang ingin menanam apa. Kami di desa hanya bisa menyarankan, para petani ingin menambah tanaman baru, cari lahan baru. Jangan sampai lahan yang sudah ada ditebang, diganti tumbuhan baru. Maksud saya, masyarakat bisa konsisten dalam hal penanaman,” pungkasnya. (shella)

Sumber:

Telah terbit di laman www.suarapemredkalbar.com dengan judul Pesona Kopi Liberika Podorukun, Hasil Kopi Dikenalkan hingga ke Negeri Jiran. Dirilis kembali di laman www.gemawan.org.

Pesona Kopi Liberika Podorukun, Hasil Kopi Dikenalkan hingga ke Negeri Jiran
Tag pada:                

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *