
Bagi sebagian kalangan, isu perubahan iklim bukan lagi sekadar wacana ilmiah. Banjir yang semakin sering, musim kering berkepanjangan, hingga cuaca ekstrem yang tidak menentu sudah kita rasakan langsung. Namun, ada satu pertanyaan besar: mengapa pesan-pesan tentang bahaya perubahan iklim sering kali tidak berhasil menggerakkan masyarakat untuk bertindak?
Hambatan Pesan Perubahan Iklim
Penelitian yang dilakukan oleh Boakye, dkk. (2023) menemukan setidaknya terdapat tiga hambatan utama dalam komunikasi perubahan iklim:
1. Benturan Nilai dan Dilema Sosial
Setiap orang memiliki nilai dan keyakinan sendiri. Jika pesan iklim tidak sesuai dengan nilai tersebut, maka cenderung ditolak. Contoh sederhana: kampanye penggunaan mobil listrik di negara berkembang sering dianggap tidak relevan ketika masalah utama masyarakat justru adalah kemiskinan. Akibatnya, pesan iklim gagal menyentuh prioritas hidup masyarakat.
2. Kurangnya Keterlibatan Emosional
Pesan perubahan iklim sering kali disampaikan dengan cara yang menakutkan—gambar bencana, ancaman kepunahan, atau proyeksi masa depan yang suram. Alih-alih memotivasi, pesan semacam ini bisa membuat orang merasa tidak berdaya, cemas, bahkan memilih untuk menolak informasi tersebut. Padahal, komunikasi yang efektif justru harus mampu menumbuhkan empati dan harapan agar orang terdorong untuk bertindak.
3. Penyangkalan Psikologis
Banyak orang memilih menyangkal fakta perubahan iklim, meskipun bukti ilmiah sudah jelas. Hal ini bisa muncul karena informasi yang terlalu teknis, terlalu jauh dari pengalaman sehari-hari, atau disampaikan dengan nada menyalahkan. Ketika pesan dianggap sebagai tuduhan, reaksi alami manusia adalah menolak dan mencari alasan pembenaran.
Menemukan Jalan Keluar
Jika komunikasi tentang perubahan iklim ingin benar-benar menggerakkan orang, maka caranya harus lebih dekat, sederhana, dan penuh harapan. Pesan yang relevan dengan kehidupan sehari-hari akan lebih mudah diterima. Alih-alih menampilkan angka-angka abstrak, komunikator bisa menekankan contoh nyata seperti bagaimana menjaga hutan berarti melindungi sumber air minum, atau bagaimana mengurangi sampah plastik bisa menjaga laut tempat nelayan mencari nafkah.
Emosi pun perlu disentuh dengan cara yang tepat. Harapan lebih kuat daripada rasa takut. Menunjukkan bahwa langkah kecil—seperti menanam pohon, menghemat listrik, atau memilih transportasi ramah lingkungan—dapat membawa perubahan nyata akan membuat masyarakat merasa berdaya. Mereka tidak lagi melihat perubahan iklim sebagai bencana yang tak terhindarkan, melainkan tantangan yang bisa diatasi bersama.
Akhirnya, komunikasi perubahan iklim harus berorientasi pada tindakan yang jelas. Bukan sekadar memperingatkan tentang masa depan yang suram, tetapi memberi arah yang konkrit: apa yang bisa dilakukan hari ini, oleh siapa, dan untuk tujuan apa. Dengan begitu, pesan iklim tidak berhenti di tataran informasi, tetapi menjelma menjadi dorongan nyata untuk bergerak—dari tingkat individu hingga komunitas, dari lingkup lokal hingga skala global.
Penulis: Mohammad R., pegiat Gemawan.
Sumber: Barriers to Climate Change Communications