
Hamparan hutan mangrove Mempawah tumbuh di antara lumpur dan ombak. Barisan benteng alami yang menahan pesisir Kalimantan Barat dari abrasi laut. Di bawah rindangnya, nelayan mencari ikan, kepiting, dan kerang, sementara akar-akar rumitnya menyimpan keseimbangan ekologi yang tak ternilai. Namun, di tengah laju pembangunan dan perubahan iklim, bagaimana nasib hutan mangrove Mempawah kini?
Sebuah penelitian mencoba menjawab pertanyaan itu. Dengan memanfaatkan citra satelit Sentinel 2A, penelitian Reza, dkk. (2025) menelusuri perubahan luas dan kerapatan mangrove Mempawah selama enam tahun terakhir, dari 2018 hingga 2024. Hasilnya menunjukkan pola yang berfluktuasi—ada peningkatan pada awal periode, namun kembali menurun di tahun-tahun berikutnya.
Naik di 2021, Turun Lagi di 2024

Pada tahun 2018, luas mangrove di Kabupaten Mempawah tercatat sekitar 3.047 hektar. Tiga tahun kemudian, luasan ini meningkat menjadi 3.192 hektar, bertambah sekitar 145 hektar. Sayangnya, peningkatan itu tidak berlangsung lama. Pada tahun 2024, luasnya kembali menurun menjadi 3.052 hektar, hampir kembali ke posisi semula.
Perubahan ini tidak merata di semua wilayah. Dua kecamatan, Segedong dan Mempawah Hilir, justru menunjukkan tren positif dengan penambahan area mangrove. Sementara itu, Sungai Kunyit mengalami penurunan cukup signifikan akibat aktivitas pembangunan berskala besar, termasuk proyek Terminal Internasional Kijing dan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR).
Menyingkap Kondisi Vegetasi Mangrove Mempawah
Menggunakan metode NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), upaya untuk menilai kerapatan vegetasi mangrove Mempawah dilakukan. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar area mangrove Mempawah berada dalam kategori rapat, terutama di Kecamatan Jongkat, yang menjadi wilayah dengan hutan mangrove terluas sepanjang periode pengamatan.

Namun, di beberapa kecamatan lain, area dengan kerapatan sedang dan jarang terus berkurang. Hal ini menjadi indikasi bahwa tekanan terhadap ekosistem pesisir masih kuat, baik akibat abrasi alami maupun aktivitas manusia seperti alih fungsi lahan dan pembangunan tambak.
Sungai Kunyit: Pesisir yang Terhimpit Pembangunan
Kecamatan Sungai Kunyit menjadi potret nyata benturan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan. Sebagai wilayah yang strategis di jalur perdagangan internasional, kawasan ini kini menjadi pusat aktivitas ekonomi besar. Namun, ekspansi proyek dan industri di wilayah pesisir berdampak langsung pada penyusutan mangrove yang dulunya tumbuh subur di sepanjang garis pantai.
Penelitian ini menegaskan bahwa tekanan ekologis di Sungai Kunyit semakin besar. Alih fungsi lahan pesisir dan abrasi yang meningkat mempercepat hilangnya area mangrove, membuat garis pantai semakin rentan. Situasi ini menunjukkan bahwa pembangunan tanpa perencanaan ekologis yang matang dapat mengancam keberlanjutan lingkungan pesisir.
Harapan dari Akar Rumput: Konservasi dan Ekowisata
Di tengah kabar menurunnya luasan mangrove Mempawah, secercah harapan muncul dari Mempawah Hilir. Di wilayah ini berdiri Mempawah Mangrove Park (MMP), kawasan ekowisata dan konservasi yang dikelola komunitas lokal sejak 2011. Melalui pendekatan wisata edukatif, masyarakat dan pengunjung diajak menanam mangrove secara langsung sambil mengenal fungsi ekologisnya.
Inisiatif seperti MMP menunjukkan bahwa konservasi berbasis komunitas mampu memulihkan kawasan pesisir sekaligus menciptakan manfaat ekonomi bagi warga. Lebih dari itu, ia menjadi ruang belajar yang menumbuhkan kesadaran generasi muda tentang pentingnya menjaga alam.
Mangrove Mempawah dan Masa Depan Pesisir
Situasi mangrove Mempawah setidaknya menggambarkan dua wajah yang kontras: di satu sisi, upaya konservasi masyarakat berhasil menumbuhkan harapan baru; di sisi lain, tekanan dari pembangunan berskala besar terus menggerus ekosistem yang tersisa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan luasan mangrove di awal periode 2018–2021 belum cukup kuat menahan gelombang degradasi yang datang kemudian. Meskipun masih ada titik-titik pemulihan di wilayah seperti Segedong dan Mempawah Hilir, penurunan kembali pada 2024 menegaskan perlunya strategi yang lebih berkelanjutan.
Masa depan mangrove Mempawah kini bergantung pada upaya kolektif pemerintah daerah, dunia akademik, dan masyarakat membangun kolaborasi nyata. Pengawasan pesisir berbasis data spasial perlu diperkuat, sementara pelibatan komunitas lokal harus dijadikan inti dari kebijakan konservasi. Dengan keseimbangan antara pembangunan dan perlindungan alam, hutan mangrove Mempawah masih berpeluang tetap hijau—menjadi pelindung abadi bagi pesisir Kalimantan Barat.
Penulis: Mohammad R., pegiat Gemawan.