
Komunikasi strategis dipahami sebagai rangkaian perencanaan komunikasi yang bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Estaswara (2021), komunikasi strategis berlangsung terus menerus antara aktor-aktor komunikasi, baik individu, kelompok, maupun organisasi, dengan tujuan membangun pemahaman bersama untuk bekerja sama mencapai tujuan organisasi.
Indonesia merupakan negara dengan tutupan mangrove yang sangat besar di Bumi. Ekosistem mangrove Indonesia mencakup sekitar 3,3 juta hektar, hampir 20% dari total mangrove dunia. Mangrove bukan sekadar hutan pinggir laut—ia adalah penyangga kehidupan. Tanaman ini menyerap karbon empat hingga lima kali lebih besar dari hutan daratan, mencegah abrasi dan intrusi air laut, serta menjadi tempat pembiakan ikan, kepiting, dan kerang yang menopang mata pencaharian masyarakat pesisir.
Namun, ekosistem penting ini berada dalam tekanan besar. Di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, mangrove yang luasnya mencapai sekitar 1.521 hektar terus menghadapi ancaman akibat abrasi, alih fungsi lahan, penebangan kayu, serta pencemaran. Rata-rata abrasi per tahun mencapai 6,74 hektar. Proses akresi memang terjadi, tetapi belum cukup untuk menyeimbangkan kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Kondisi ini membuat perlindungan mangrove bukan lagi sekadar upaya konservasi, tetapi menjadi bagian penting dari adaptasi terhadap perubahan iklim dan perlindungan kehidupan pesisir.
Sayangnya, tantangan terbesar bukan hanya pada aspek lingkungan, tetapi juga pada aspek sosial: siapa yang akan menjaga mangrove dalam jangka panjang? Di sinilah peran generasi muda, terutama Generasi Z, menjadi sangat penting. Mereka adalah kelompok usia yang saat ini berjumlah sekitar 81 ribu jiwa di Mempawah—sekitar 26% dari total populasi. Mereka hidup di tengah kemajuan teknologi informasi, tumbuh dengan media sosial, dan menunjukkan kesadaran yang semakin tinggi terhadap isu lingkungan global.
Namun, kesadaran tidak otomatis berarti keterlibatan. Banyak penelitian menunjukkan bahwa partisipasi Generasi Z dalam isu lingkungan, khususnya di tingkat lokal, masih tergolong rendah. Bukan karena mereka tidak peduli, tetapi lebih karena kurangnya ruang partisipatif, minimnya akses informasi, dan pendekatan komunikasi yang belum sesuai dengan karakter dan kebutuhan mereka.
Sebuah Model Komunikasi Strategis
Yang dibutuhkan sekarang adalah cara yang tepat untuk membangkitkan keterlibatan mereka. Komunikasi tentang lingkungan tidak bisa lagi bergantung pada poster, seminar, atau imbauan klasik. Perlu pendekatan yang mampu menyentuh kehidupan mereka secara langsung: kegiatan yang bisa mereka alami, rekam, dan bagikan. Bukan sekadar diajak tahu, tapi juga diajak turun tangan.
Langkah paling efektif adalah menghadirkan kegiatan yang bersifat nyata. Menanam pohon mangrove, membersihkan pantai, atau membuat kamp lingkungan bersama teman sebaya adalah bentuk-bentuk aksi yang mampu mengikat keterlibatan emosional. Dalam aktivitas itu, mereka tidak hanya menjadi penonton, melainkan pelaku. Semakin mereka merasa terlibat secara langsung, semakin besar peluang keterlibatan jangka panjang.
Media sosial memiliki peran penting dalam mendorong keterlibatan ini. Bagi Generasi Z, apa yang dilakukan seringkali belum terasa lengkap bila belum dibagikan. Instagram, TikTok, dan YouTube bukan hanya tempat hiburan, tapi juga arena narasi. Jika kegiatan lingkungan bisa dikemas menjadi cerita visual yang kuat—entah dalam bentuk video singkat, tantangan digital, atau konten behind-the-scenes—maka pesan lingkungan akan tersebar jauh melampaui lokasi kegiatan itu sendiri.
Agar pendekatan ini berhasil, perlu juga memastikan dukungan yang memadai dari sisi logistik dan pendanaan. Biaya yang dialokasikan untuk aksi langsung, produksi konten, dan promosi di media digital terbukti jauh lebih efektif dibanding pengeluaran yang bersifat administratif. Investasi kecil pada kampanye digital yang cermat justru mampu menjangkau lebih banyak audiens dan membangun citra positif terhadap aksi lingkungan.

Komunikasi untuk Aksi
Kreativitas adalah kunci. Program seperti lomba konten lingkungan, kamp penanaman mangrove, atau kolaborasi dengan komunitas hobi bisa menjadi magnet bagi Generasi Z. Mereka tidak harus selalu diajak dalam kerangka formal edukasi, tetapi bisa pula melalui dunia yang mereka akrabi—komunitas musik, penggemar K-pop, kelompok gamers, atau pelaku konten kreatif. Yang penting adalah menciptakan ruang bagi mereka untuk bertindak dan merasa bahwa tindakan itu berarti.
Harapan untuk keberlanjutan mangrove ada di generasi muda. Tapi harapan tidak tumbuh begitu saja. Ia butuh medium, pesan, dan ruang. Dengan komunikasi yang relevan, bahasa yang mereka pahami, serta aksi yang bisa mereka jalani, Generasi Z bukan hanya akan peduli, tapi juga bergerak.
Mempawah bisa menjadi contoh awal dari transformasi ini. Jika generasi muda diberi kepercayaan dan diberi kesempatan, bukan tidak mungkin mangrove bukan hanya bertahan, tapi juga tumbuh lebih kuat. Bukan hanya sebagai vegetasi pesisir, tetapi sebagai simbol keterlibatan lintas generasi dalam menjaga bumi bersama.
Penulis: Mohammad R., pegiat Gemawan.
Referensi: Model Komunikasi Strategis Peningkatan Partisipasi Generasi Z Kabupaten Mempawah dalam Perlindungan Ekosistem Mangrove, El Jughrafiyah Vol 5 No. 1, 2025.