Perempuan Sambas Penenun Sejarah dengan Tenun Lunggi

Bagaimana perempuan menjadi penjaga sejarah tenun berusia 300 tahun untuk melestarikan alam, sumber penghidupan, dan warisan budaya mereka?

Di Sambas, Kalimantan Barat, hal itu tercatat melalui tenunan bernilai tinggi. Ketika sejarah tidak hanya diabadikan dengan tinta, melainkan dengan sulaman benang.

Untuk menghidupi keluarga, sebagian besar perempuan di Sambas mencari pekerjaan sebagai pekerja migran di luar negeri.

Maklum, Sambas merupakan salah satu kabupaten di Kalbar yang berbatasan darat dengan Malaysia Timur. Keberadaan PLBN Aruk di Kecamatan Sajingan semakin memudahkan keluar-masuk warga ke negeri jiran, bahkan hingga ke Brunei Darussalam.

Pada tahun 2017, misalnya, jumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Sambas sebanyak 871 orang yang terdiri dari 557 orang laki-laki dan 314 orang perempuan (Ramadhani, 2018).

Mereka memilih menjadi PMI tentu karena sulitnya menjalani kehidupan serta impian agar dapat hidup lebih baik, meski harus meninggalkan anak, keluarga, rumah, dan tanah mereka.

Untuk yang memilih tetap tinggal di Sambas, khususnya para perempuan, bertarung asa, berupaya mencari alternatif lain sumber penghidupan dari sela-sela tradisi yang tersisa.

Selain beraktivitas di umme (sawah: Bahasa Melayu Sambas), menenun merupakan alternatif lain yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh para perempuan Sambas kepada anak gadisnya selama beberapa generasi. Tenun yang dihasilkan jemari mereka telah mengambil perhatian banyak pihak, hingga ke luar negeri.

Lunggi, begitu sebutan tradisi menenun Sambas, sudah ada sekitar 300 ratus tahun yang lalu, sejak era Sultan Muhammad Tsjafioeddin I dari Kesultanan Sambas. Bahkan boleh jadi tradisi ini sudah ada sejak masa sebelumnya.

Pola tenunnya jelas dan memiliki fitur signifikan; diambil dari tema yang berhubungan dengan alam, seperti menampilkan lansekap, benda langit, binatang, serta tanaman – khususnya rebung.

Kain ini dibuat dengan penuh kecermatan menggunakan benang emas, sehingga lazim dikenal pula sebagai tenun emas. Pengerjaannya pun manual, sehingga bisa memakan waktu produksi berminggu-minggu, tergantung tingkat kesulitan. Episentrum tradisi lunggi berada di Desa Jagur, Tanjung Mekar, dan Sumber Harapan di Kecamatan Sambas, serta Desa Jirak dan Tengguli di Kecamatan Sajad.

 

Gemawan dan Perempuan: Keberlanjutan Lingkungan dan Tradisi

Sejak hampir satu dekade yang lalu, pada tahun 2013, Perkumpulan Gemawan dengan dukungan dari Switchasia telah membantu dan mendorong para penenun untuk menggunakan pewarna alami pada tenun lunggi mereka.

Para penenun ini dilatih untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan mereka, serta meningkatkan kesadaran terhadap konservasi alam.

Sumberdaya pewarna alami yang diekstraksi dari daun, buah-buahan dan tanaman diperoleh dari sekitar rumah mereka.

Intenet, misalkan, dijadikan sebagai pewarna alami setelah para perempuan penenun ini berinteraksi dengan Merdi Sihombing, salah satu desainer terkemuka Indonesia.

Padahal sebelumnya daun intenet hanya dimanfaatkan sebagai obat sakit perut. Mengetahui manfaat lain intenet, para perempuan ini mengembangkan intenet di sekitar rumah untuk melestarikan tanaman satu ini.

Praktik-praktik tersebut mengurangi penggunaan bahan kimia anorganik yang pada gilirannya berkontribusi pada pelestarian lingkungan mereka.

Penenun lokal juga dilatih sebagai instruktur tenun untuk berbagi praktik baik dan berkolaborasi dengan anggota dan komunitas mereka.

Salah satunya adalah Budiana, perempuan kelahiran Sambas, 52 tahun lalu yang kini menetap di Dusun Keranji, Desa Tanjung Mekar, Kecamatan Sambas. Karena himpitan ekonomi yang dialami keluarganya ketika kecil, Budiana tak bisa menamatkan pendidikan dasarnya.

Untuk membantu ekonomi keluarga, ia mempelajari teknik menenun dan menjadi penenun pada usia 20 tahun. Saat itu, ia masih bekerja sebagai tenaga upahan.

Budiana melangkah pasti merajut kisahnya dengan lunggi. Ia masih tetap konsisten saat ini bersama 20-an orang mitra penenunnya menjaga lingkungan dan tradisinya. Pengetahuan yang diperoleh itu ia bagikan dan praktikkan melalui sulamannya.

Tak ada yang menyangka bahwa ia yang dulu hanya berprofesi sebagai tenaga upahan menenun kini mampu menaungi banyak kehidupan. Ia juga aktif mengorganisir para perempuan bersama Serikat Perempuan Pantai Utara (Serumpun) di Kabupaten Sambas.

Melalui tenun dengan pewarna alam, telah banyak prestasi yang ditorehkannya, seperti UNESCO Award (Award of Excellence for Handicraft tahun 2012 South-East Asia Programme) untuk kain dengan motif ulat mate ayam; penghargaan dari Cita Tenun Indonesia (CTI); Award of Excellent for Handicraft 2014 World Craft Council (WCC) Award. Yang tak kalah istimewa, kain lunggi motif ulat mate ayam kini dijadikan tugu yang berada di tengah-tengah Jalan Pembangunan, Kabupaten Sambas.

Yang terbaru, tenunnya yang berjudul Tenun Cual Rantai Berserong Mawar berhasil menjadi juara pada kompetisi tenun Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2021 untuk kategori Songket Tradisional.

Budiana, bersama para perempuan lain seperti dirinya, bekerja tak kenal lelah melestarikan lingkungan dan budaya mereka, sekaligus menghidupi keluarganya dari menenun.

Para perempuan terus menjadi penjaga warisan budaya mereka dengan memberdayakan perempuan dan komunitasnya untuk mentransfer keterampilan mereka dalam menenun menggunakan teknik dan proses pewarnaan pewarna alami. (*)

 

Penulis:

Uray Endang Kusumajaya (Dewan Pengurus Perkumpulan Gemawan)

Mohammad Reza (Knowledge Managemen Perkumpulan Gemawan)

Editor: M. Reinardo Sinaga

Sumber: Warta Pontianak

Perempuan Sambas: Menjaga Lingkungan, Sumber Penghidupan, dan Warisan Tradisi
Tag pada:                    

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *