Ilustrasi bencana Sumatera and Aceh Sumatera dan Aceh

Setiap kali kita menyaksikan banjir besar di Aceh dan Sumatera, kita tidak hanya melihat derita yang jauh di sana. Ada rasa yang tiba tiba terasa akrab, seperti melihat pantulan diri di permukaan air yang keruh. Kita iba, tetapi sekaligus gelisah, sebab kisah itu tidak asing bagi Kalimantan Barat. Di antara Aceh, Sumatra, dan Kalbar, ada jejak yang sama sama mengarah pada kerusakan yang perlahan menjadi tak terbendung. Hutan yang menyusut, sawit yang meluas seperti tak mengenal batas, dan kebijakan yang sering lebih cepat memberi izin daripada berpikir panjang resikonya.

Di Aceh dan Sumatra, banjir datang berkali kali, membawa kayu dari hulu dan lumpur dari tanah yang sudah kehilangan penopang. Tidak bisa lagi menyalahkan hujan. Bencana itu lahir dari antroposen yang rakus, dari bukit yang dibelah tanpa jeda, dari sungai yang dipaksa menahan beban jauh lebih besar daripada kemampuan alaminya. Ketika akar yang dulu memeluk tanah telah hilang, air hanya mengikuti hukum alam. Ia menyusuri dataran rendah, menghancurkan permukiman, dan menyisakan kisah pilu yang terus berulang.

Kalimantan Barat seharusnya membaca kisah ini sebagai cermin, bukan sekadar berita dari jauh. Sebab pola yang sama mulai tampak di sini. WALHI Kalbar mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 provinsi ini kehilangan lebih dari 39.000 hektare tutupan hutan. Gemawan menambahkan bahwa dalam dua dekade terakhir hutan primer Kalbar menyusut lebih dari 1,2 juta hektare. Angka yang tak sedikit.

Kawasan yang dulu hijau berubah menjadi lahan terbuka. Perkebunan terus tumbuh, tambang memperluas batasnya, dan izin sering meluncur dengan mulus melewati kajian resiko ekologisnya. Mungkin kita masih merasa bahwa Kalbar belum separah beberapa wilayah Sumatra. Namun jika arah kebijakan tetap sama, waktu hanya menunggu untuk memperlihatkan kenyataan pahit yang sama.

Kisah ini tidak bisa dilepaskan dari hubungan antara negara, perusahaan, dan masyarakat. Negara memikul kewajiban moral dan hukum untuk melindungi warganya. Dalam kerangka prinsip prinsip PBB tentang Bisnis dan HAM, negara memiliki kewajiban untuk mencegah kerusakan yang dapat memicu bencana. Namun di Aceh dan Sumatra, kita melihat bagaimana izin dikeluarkan tanpa kajian ekologis yang memadai, penegakan hukum kalah oleh negosiasi yang tidak selalu terbuka, dan pengawasan sering hanya menjadi dokumen yang tidak sepenuhnya dijalankan. Ketika mekanisme perlindungan lemah, rakyat yang tinggal di tepi sungai, hulu, dan lereng bukit menjadi pihak pertama yang menanggung akibatnya.

Perusahaan pun memikul tanggung jawab besar. Prinsip menghormati hak asasi manusia tidak hanya berarti tidak menyakiti manusia. Namun juga berarti tidak merusak ekosistem yang menjadi rumah bagi manusia. Banyak perusahaan datang dengan janji sejahtera, tetapi tidak selalu jujur tentang resiko. Mereka membuka lahan luas, mengubah bentang alam, dan sering gagal melakukan kajian dampak sosial dan lingkungan yang menyeluruh. Di sejumlah wilayah Kalbar, WALHI dan organisasi masyarakat sipil menemukan pola serupa. Hutan lindung dibabat, sungai tercemar, dan masyarakat adat tidak dilibatkan dalam proses yang seharusnya menghormati persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan.

Kalimantan Barat bukan tidak pernah merasakan akibatnya. Banjir besar di Sintang yang berlangsung berminggu minggu menjadi penanda bahwa sungai Kapuas pun bisa kehilangan kesabaran. Air masuk ke sekolah, pasar, rumah rumah warga, dan menegaskan bahwa bencana ini tidak semata adalah bencana alam. Ini adalah bencana kebijakan. Alam hanya menunjukkan akibat dari pilihan manusia.

Namun refleksi yang jujur tidak berhenti pada menyalahkan. Refleksi adalah ruang untuk kembali menata diri. Pengalaman Aceh dan Sumatra memberi pelajaran bahwa sekali hutan hilang, tidak ada teknologi yang dapat mengembalikan fungsinya dalam waktu singkat. Reboisasi membutuhkan ketekunan lintas generasi. Diperlukan komitmen yang tidak berubah oleh pergantian politik.

Kalimantan Barat sebenarnya memiliki sumber daya moral dan sosial yang kuat. Masyarakat adat menjaga hutan seperti menjaga nadi mereka sendiri. Ada pengetahuan yang diwariskan dalam ritual, dalam tata cara membuka dan menutup lahan, dalam cara membaca sungai dan musim. Tradisi ini adalah modal ekologis dan spiritual yang tidak dimiliki banyak daerah. Jika negara mau mendengar, jika perusahaan mau menghormati, jika ruang partisipasi benar benar dibuka, maka risiko bencana dapat ditekan, dan Kalbar tidak harus mengulang tragedi Aceh dan Sumatra.

Surat peringatan dari dua wilayah itu kini sudah tiba di hadapan kita. Pertanyaannya bukan lagi apakah kita tahu penyebabnya. Kita tahu. Pertanyaannya adalah apakah kita mau belajar dan berubah. Jika tidak, ketika sungai kembali meluap, kita tidak lagi bisa berkata bahwa bencana itu datang tiba tiba.

Kalimantan Barat masih memiliki harapan. Harapan itu terdapat pada mereka yang setiap pagi menyapa sungai, yang menanam pohon tanpa publikasi, yang menjaga tanah sambil mengenalkan kepada anak anak bahwa alam adalah sahabat, bukan barang untuk dieksploitasi. Jika pilihan keberpihakan kepada kehidupan ini diambil, Kalbar bisa menjaga masa depannya. Kita semua masih bisa merawat tanah ini sebagai ruang perjumpaan manusia dan alam yang saling melindungi, bukan saling melukai.

Sopian Lubis,

Warga Kalimantan Barat; Managing Director Religion and Society in Southeast Asia Initiative (RSEAI)

Sumatera dan Aceh adalah Cermin, Kalimantan Barat Harus Berkaca!
Tag pada: