Solusi Krisis Iklim climate change solution

Dipimpin oleh para korban utama krisis lingkungan, inisiatif iklim yang digerakkan perempuan terus bermunculan, namun masih jauh dari cukup mendapat dukungan pendanaan. Akses mereka terhadap permodalan kini menjadi jauh lebih krusial dari sebelumnya.

Perempuan—yang menjadi korban utama perubahan iklim—sekaligus memegang kunci solusi krisis iklim, tetapi akses mereka terhadap pendanaan masih belum memadai untuk mendorong aksi berskala besar.

Oleh Charlotte Meyer

Ini adalah pulau terbesar keempat di dunia. Meskipun Kalimantan hanya mewakili sekitar 1% dari daratan Bumi di Asia Tenggara, pulau ini menyimpan hampir 6% keanekaragaman hayati dunia. Hutan hujan Kalimantan, wilayah yang menjadi bagian Indonesia, menampung kekayaan hayati yang luar biasa, yang setiap hari terancam oleh aktivitas manusia dan percepatan perubahan iklim.

Di Indonesia, sekitar satu juta petani perempuan mengolah dan melindungi tanah setiap hari. Selama beberapa tahun terakhir, pekerjaan mereka kian terancam oleh deforestasi, serta semakin seringnya kejadian kekeringan dan banjir. “Merekalah yang memegang solusi, tetapi kita tidak memberikan mereka sarana untuk bertindak,” keluh Laili Khairnur, Direktur Eksekutif Gemawan.

Sejak 1999, LSM lokal ini berkomitmen memperkuat komunitas di Indonesia, khususnya di Kalimantan. Selama ini perempuan telah lama dikecualikan dari hak atas tanah dan akses terhadap kredit. Karena itu, Gemawan bekerja untuk menjamin akses dan kontrol perempuan atas sumber daya yang mereka perlukan untuk sejahtera.

“Kami menempatkan isu gender di pusat kerja kami,” jelas Ridho Faizinda, Wakil Direktur program tersebut. “Di Indonesia, patriarki masih sangat mengakar. Pekerjaan kami bertujuan memberdayakan perempuan agar dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, termasuk yang menyangkut pengelolaan hutan, serta dapat merasakan manfaatnya.”

Merombak Filantropi

Sejak 2023, Gemawan bekerja sama dengan Co-Impact Foundation, sebuah inisiatif filantropi internasional yang berbasis di Swiss dan didirikan oleh Olivia Leland, untuk mengembangkan Proyek Kuat—yang dalam bahasa Indonesia berarti “strong” atau kuat. Proyek ini bertujuan memperkuat kepemimpinan perempuan sekaligus mendorong praktik pertanian berkelanjutan. Membuka akses terhadap subsidi dan perlindungan hukum bagi hampir 300.000 petani perempuan, membantu pelaku usaha perempuan menjangkau pasar, dan mendorong pemerintah daerah mengalokasikan sebagian anggaran mereka untuk prioritas petani perempuan adalah beberapa misi yang diemban organisasi ini.

“Kurang dari 8% dana pembangunan swasta dialokasikan untuk gerakan feminis. Padahal, beberapa organisasi paling efektif yang kami kenal dipimpin oleh perempuan,” ujar Olivia Leland di Swiss, sambil mengadvokasi agar pendanaan lebih diarahkan kepada proyek-proyek yang dipimpin perempuan. Pada 2017, filantropis berpengalaman ini—yang sebelumnya bekerja di Gates Foundation dan inisiatif Giving Pledge—mendirikan Co-Impact untuk tujuan tersebut.

Disproportionally terdampak perubahan iklim, perempuan justru berada di garis depan upaya adaptasi dan inovasi yang memungkinkan komunitas bertahan hidup dan berkembang. Co-Impact memilih untuk mendukung pendekatan sistemik dengan menawarkan pendanaan yang fleksibel dan jangka panjang, minimal lima tahun. Pendekatan ini dimungkinkan melalui filantropi kolaboratif, di mana banyak donor menggabungkan sumber daya keuangannya.

Delapan tahun setelah diluncurkan, kolektif ini kini mendukung 140 inisiatif di 35 negara, menjangkau hampir 800 juta orang. “Kerja Gemawan bertujuan membuat petani perempuan terlihat dan diakui sebagai agen perubahan iklim. Itulah tepatnya yang mendorong kami mendukung mereka,” jelas Olivia Leland.

Co-Impact juga mendukung LTKL, sebuah organisasi yang membantu pemerintah Indonesia mencapai target iklimnya dengan memastikan kondisi kerja yang adil bagi perempuan pengguna lahan gambut, serta RySS, asosiasi di India yang membantu petani kecil beralih ke praktik agroekologi.

Di Indonesia, LSM seperti Gemawan bekerja memberdayakan petani perempuan, menjamin akses mereka terhadap sumber daya dan suara dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal.

Demi Kedaulatan Pangan

Menurut UNESCO, hanya 1% pembiayaan iklim dunia yang dialokasikan untuk organisasi yang dipimpin perempuan. Namun, Olivia Leland menegaskan, banyak perempuan tengah memimpin proyek-proyek yang berkaitan langsung maupun tak langsung dengan upaya melawan perubahan iklim—“jauh lebih banyak dari yang mampu kami danai,” katanya.

Laili Khairnur berulang kali menegaskan hal ini: “Perempuan adalah korban pertama sekaligus solusi pertama terhadap perubahan iklim.”

Di Indonesia, hubungan erat antara perempuan dan alam kini terancam oleh ledakan industri kelapa sawit dan pertambangan. Produksi kelapa sawit di Indonesia meningkat dari 600.000 hektare pada 1985 menjadi lebih dari 6 juta hektare pada 2007. Tekanan ekonomi juga memaksa banyak anak muda meninggalkan desa. “Keluarga akhirnya menjual tanah mereka ke perusahaan karena generasi muda tidak lagi ingin menggarapnya,” keluh Laili Khairnur.

Dengan mempromosikan pupuk organik sebagai alternatif input kimia, Gemawan mendorong pendekatan yang lebih ramah tanah dan lebih murah. “Ketergantungan pada input kimia membuat petani perempuan mengeluarkan biaya sangat besar. Mengembalikan praktik agroekologi lokal yang menjadi bagian dari budaya kita adalah satu-satunya solusi yang berkelanjutan,” ujar Direktur Gemawan itu, yang ingin menjadikan kedaulatan petani perempuan sebagai isu politik utama.

Perempuan memegang kunci solusi krisis iklim.
Kursi di Meja Pengambilan Keputusan

Bagi Olivia Leland, kuncinya adalah kolaborasi. “Solusinya sudah ada. Solusi itu sedang dijalankan oleh para pemimpin perempuan lokal yang tahu apa kebutuhan komunitas mereka. Peran kami adalah memberdayakan mereka agar mampu bertindak dalam skala besar.” Ia juga menekankan pentingnya bercerita: “Tantangan terbesar adalah menceritakan kisah-kisah transformasi ini sehingga para pendonor memahami mengapa masuk akal untuk berinvestasi pada organisasi-organisasi tersebut.”

Di Kalimantan, investasi ini sudah mulai menunjukkan dampak. Bagi Laili Khairnur, bekerja dalam proyek kemitraan dengan Co-Impact memungkinkan kerja yang lebih efektif di seluruh wilayah. Selain mengadopsi praktik-praktik berkelanjutan yang baru, perempuan perlahan mendapat akses ke lembaga-lembaga pengambilan keputusan. Jika sebelumnya mereka hanya mengisi kurang dari 15% posisi kepemimpinan dalam pemerintahan desa di Indonesia, kini undang-undang mengakui bahwa 30% perwakilan desa harus perempuan. Namun bagi Ridho Faizinda, “ini masih jauh dari kenyataan. Karena wilayah kami sangat luas, pemilihan umum sangat mahal, dan perempuan tidak memiliki cukup kemampuan finansial untuk mencalonkan diri.”

Prihatin terhadap menyusutnya kebebasan berekspresi dan kian termarginalkannya LSM lokal, Laili Khairnur menyerukan akses langsung terhadap pendanaan bagi organisasi komunitas: “Para pemimpin dunia tidak akan mampu menghadapi krisis iklim tanpa pengetahuan perempuan dan komunitas adat. Gerakan ini harus dimulai secara lokal dan kemudian menjadi gerakan global.”

Sementara itu, Olivia Leland tetap “sangat optimistis”: “Setiap kali saya bersama para perempuan ini, saya merasakan harapan. Jika kita menginginkan masa depan yang berkelanjutan, kepemimpinan perempuan harus ditempatkan di jantung perjuangan melawan perubahan iklim.” Pasca COP30, tantangan utamanya adalah mengarahkan pendanaan langsung kepada mereka yang sudah lebih dulu menjalankan solusi di lapangan.

Perempuan adalah Solusi Krisis Iklim
Tag pada: