
Fenomena K-Pop tidak lagi sebatas musik dan hiburan. Di balik sorak-sorai konser, trending topic Twitter, dan koleksi album, para penggemarnya—terutama orang muda—telah menjelma menjadi kekuatan sosial dan politik. Bukan hanya mendukung idola dengan membeli album atau menonton konser, komunitas penggemar K-Pop kini aktif menggalang dana, melakukan aksi sosial, bahkan ikut bersuara dalam isu-isu politik di negara mereka.
Di tingkat global, nama ARMY, penggemar BTS, sempat menjadi sorotan saat mereka menyumbang jutaan dolar untuk gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat. Tak lama, K-Popers juga viral karena ikut “mengacaukan” kampanye Donald Trump di Tulsa dengan mendaftarkan tiket palsu sehingga tempat acara tampak kosong. Dari sana, dunia melihat bahwa penggemar K-Pop punya keterampilan digital dan kekuatan kolektif yang bisa diarahkan ke isu-isu serius.
Fenomena serupa juga terjadi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Thailand—dua negara dengan jumlah penonton K-Pop tertinggi di YouTube. Bedanya, aktivisme orang muda penggemar K-Pop di kedua negara ini kerap bersentuhan langsung dengan isu sosial, lingkungan, bahkan politik nasional.
Dari Donasi Pohon hingga Aksi Sosial, Dari Musik ke Politik
Di Indonesia, komunitas penggemar BTS pernah menyumbang lebih dari 8.700 pohon mangrove di Demak, Jawa Tengah, sebagai hadiah ulang tahun untuk salah satu member, Jimin. Mereka juga menggalang dana miliaran rupiah untuk korban bencana alam di Sulawesi. Semua aksi ini dipublikasikan lewat media sosial, bukan hanya demi idola, tetapi juga untuk mengubah stigma negatif bahwa K-Popers hanya “fans histeris”.
Di Thailand, para penggemar K-Pop melakukan hal serupa. Mereka pernah menggelar donor darah massal hingga ratusan liter sebagai bentuk perayaan ulang tahun BTS. Lebih unik lagi, pada masa pandemi, penggemar menggunakan tuk-tuk untuk memajang ucapan ulang tahun idolanya. Bukan sekadar merayakan, langkah itu juga dimaksudkan untuk membantu para sopir tuk-tuk yang kehilangan penghasilan.
Aktivisme penggemar K-Pop tidak berhenti pada kegiatan amal. Di Thailand, ketika gelombang protes pro-demokrasi meletus pada 2020, banyak penggemar ikut turun ke jalan dan menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi lewat tagar #WhatsHappeningInThailand. Mereka juga menggalang dana untuk alat pelindung demonstran dan bantuan hukum bagi aktivis yang ditangkap. Kehadiran idola K-Pop asal Thailand seperti Nichkhun 2PM yang ikut menyuarakan keprihatinan semakin memperkuat semangat gerakan ini.
Di Indonesia, penggemar K-Pop juga menunjukkan peran politik mereka saat ramai perdebatan Omnibus Law pada 2020. Dengan jaringan luas di Twitter, mereka berhasil mengangkat tagar-tagar protes ke trending topic dunia. Awalnya banyak penggemar yang tidak tahu isu tersebut, tetapi diskusi di media sosial membuat mereka melek politik dan akhirnya ikut bersuara menolak kebijakan yang dianggap merugikan rakyat.
Kekuatan Baru Orang Muda
Apa yang dilakukan orang muda penggemar K-Pop menunjukkan bahwa fandom bisa lebih dari sekadar komunitas hiburan. Ikatan emosional pada idola memberi mereka alasan untuk bergerak, tetapi dampak yang tercipta melampaui batas fandom itu sendiri. Mereka membuktikan bahwa cinta pada musik bisa menjadi energi untuk aksi sosial, solidaritas, bahkan demokrasi.
Melalui media sosial, mereka belajar berorganisasi, mengelola kampanye, menggalang dana, hingga menyebarkan informasi ke publik luas. Keterampilan digital yang biasa dipakai untuk mendukung idol kini beralih menjadi senjata politik dan sosial yang nyata.
Fenomena ini memberi pelajaran penting: orang muda punya cara sendiri untuk terlibat dalam isu masyarakat. Fandom hanyalah pintu masuk, tetapi di baliknya ada semangat solidaritas, kepedulian, dan keberanian yang mampu memengaruhi perubahan nyata.
Penulis: Mohammad R., pegiat Gemawan.
Sumber: Exploring Youth Political Participation: K-Pop Fan Activism in Indonesia and Thailand, Amalia Nur Andini & Ghaziah Nurika Akhni, 2021