Strategi kandidat lihat pemilih heterogen. Pendidikan politik mengurangi ’dagangan’ etnis. Meski masih dominan, ertarungan politik mesti kedepankan kapasitas dan kinerja.

PENGALAMAN terdahulu dalam pemilihan Gubernur Kalbar dan Walikota Singkawang, strategi politik etnis terbukti memengaruhi kemenangan kandidat. Meski tak terlalu vulgar, dukungan berdasarkan etnisitas masih dominan di Pilwako Pontianak.

”Jual program dan figur menjadi landasan mendasar dalam memilih kepala daerah. Namun tidak dapat dimungkiri, pengaruh etnis masih membayangi Pilwako Pontianak,” ujar Jumadi SSos MSi, Akademisi Politik Untan kepada Equator, Minggu (12/10).

Dikatakan Jumadi, solidaritas pemilih akan semakin kuat apabila figure yang maju hanya mewakili satu etnis. Sebaliknya, suara pemilih pecah jika ada beberapa pilihan dari etnis serupa. ”Sedikit banyak pengaruh etnis pasti ada, hanya saja tidak terlalu vulgar,” kata Jumadi.

Dijelaskan dia, meskipun masyarakat Kota Pontianak sudah tergolong pintar dalam berpolitik, namun rasa kesukuan itu masih ada. Dalam penerapan politik terbuka, pastinya ada kelompok tertentu yang mendukung kandidat berdasarkan etnis. Kemudian ada penggiringan etnis yang melakukan mobilisasi massa. Apabila mereka melakukan kampanye terselubung, maka ada simbol-simbol tertentu yang dikedepankan.

”Model kampanye seperti ini sangat besar pengaruhnya terhadap dukungan calon tertentu. Selama tidak memancing emosi antaretnis, maka sah-sah saja kampanye model tersebut dilakukan,” papar Jumadi.

Menyikapi politik etnis, tentunya telah terpikirkan oleh calon ketika menetapkan pasangannya. Kondisi masyarakat yang heterogen menjadi pertimbangan bagi calon dalam menetapkan pasangan untuk merangkul suara etnis tertentu. Karena jumlah etnis satu dengan lainnya di Kota Pontianak tidak jauh berbeda, maka jumlah calon yang paling sedikit mewakili etnisnya sangat berpeluang memenangkan Pilwako.

“Etnis merupakan salah satu simbol mobilitas massa dan itu juga tidak bisa kita pungkiri. Politik etnis tidak akan beranjak dari Kalbar selama masyarakat belum dewasa berpolitik dengan mengedepankan demokrasi,” ujar Jumadi.

Dihubungi terpisah, aktivis sosial dari Lembaga Gemawan, Ireng Maulana menilai dalam sebuah proses demokrasi di Kota Pontianak, ada kalimat tepat yang bisa digunakan yaitu jangan pilih kucing dalam karung. “Filosofi sederhana namun sarat pesan. Artinya etnis A jangan memilih calon dari etnis A atau etnis mana pun jangan pilih calon pemimpin dari golongan etnis mereka sendiri jika etnis masih dijadikan jualan politik,” ungkapnya.

Idealnya, lanjut dia, untuk Kota Pontianak dengan tingkat melek politik yang cukup tinggi, perlu lebih objektif dalam menentukan pemimpin yang membawa gerbong Kota Pontianak lima tahun ke depan. “Kesadaran politik di wilayah perkotaan biasanya lebih tinggi sehingga sisi objektif dalam menentukan pilihan bisa lebih di tonjolkan,” tukasnya.

Proses bargaining (tawar-menawar) politis yang didasarkan pada etnis tidak ada urgensinya apabila dijadikan tujuan akhir untuk perebutan kekuasaan, karena akhirnya tidak memihak rakyat. “Pembelaan masyarakat terhadap calon pemimpin dengan memunculkan rasa kesukuan justru tidak membantu masyarakat sama sekali. Bahkan sebaliknya, akan merepotkan masyarakat itu sendiri. Tak jarang satu kelompok etnis bahkan tidak senang dengan calon yang maju dari etnisnya,” terangnya.

Melihat wacana yang berkembang menjelang pelaksanaan Pilwako Pontianak, tentu tak akan terlepas dari persoalan tersebut. Ia meragukan politisasi etnis dalam jabatan politis dijadikan solusi tawar-menawar untuk mengurangi akselerator konflik. “Yang muncul adalah seakan-akan ada ketidakpuasan elit politik dalam pembagian kekuasaan,” jelasnya.

Persoalan seperti itu, kata dia, terus menjadi santapan publik sehari-hari. Padahal belum tentu duet calon dengan pertimbangan etnis merupakan kehendak rakyat. “Atau bahkan sekadar hitungan-hitungan politik untuk spekulasi dukungan,” tukasnya.

Menurut Ireng, perebutan kekuasaan melalui pentas suksesi Pilwako tidak harus dengan dagangan etnis semata. Memunculkan pilihan pengganti seperti teknokrat-birokrat, pria-wanita, pengusaha-agamawan, politisi-akademisi atau lainnya adalah bentuk transformasi perilaku.

“Ini juga pendidikan politik bagi rakyat agar persoalan etnis tidak selalu jadi yang terdepan. Dengan pertimbangan tersebut juga suasana pertarungan politik dibangun atas dasar penilaian kapasitas dan kinerja,” ungkapnya.

Pilihan atas dasar etnis atau atas dasar sentimen dan diskriminasi simbol semestinya sudah harus di tinggalkan. Yang menarik dan perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat adalah ketika sosok calon pemimpin dapat diterima oleh etnis mana pun disebabkan oleh keandalan, kapasitas, pola kepemimpinan dan komitmennya untuk memikirkan kesejahteraan rakyat, bukan lantaran identitas etnis yang melekat.

Keberhasilan sebuah proses demokrasi adalah ketika pilihan rakyat bukan lagi pada faktor etnis. Dalam hal ini campur tangan elit untuk mengubah itu juga penting. “Namun lebih pada keberpihakan kandidat terhadap kondisi rakyat saat ini. Saya kira untuk Kota Pontianak, perubahan ke arah itu sudah mulai berlangsung,” tutup Ireng. (amk/her)

Sumber: www.equator-news.com, Senin, 13 Oktober 2008, 12:53:00

Politik Etnis Kunci Pilwako