Perspektif GESI dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Gemawan menggelar Workshop Strategi Perlindungan dan Pengelolaan Potensi Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat, Senin (14/03). Heru Suprihartanto, Project Manager Gemawan, pada pembukaan kegiatan mengatakan tema ini dipilih karena Gemawan berpandangan bahwa pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam harus melibatkan masyarakat yang hidup berdampingan dengan sumberdaya alam itu sendiri, khususnya kelompok masyarakat rentan, seperti perempuan, masyarakat adat, dan marjinal lainnya.
“Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat itu termaktub dalam visi dan misi Gemawan. Karena itulah Gemawan berupaya agar pengelolaan sumberdaya alam dapat diakses secara berkeadilan oleh masyarakat yang hidup di dalam atau di sekitar sumberdaya alam,” ujarnya pada kegiatan yang berlokasi di Biva Cafe, Sukadana.
Heru, yang juga Ketua Divisi Pengelolaan Sumberdaya Alam Gemawan, menjelaskan bahwa workshop ini menjadi upaya menjalin sinergitas para pihak untuk secara bersama-sama membahas strategi perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam, baik itu di kawasan hutan maupun non-hutan, yang dituangkan melalui penyusunan rencana kerja dan kelola dengan perspektif GESI (gender equality and social inclusion) atau keadilan gender dan inklusi sosial.
Baca juga: SDGs Desa dan Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Berkelanjutan
SDGs Desa menjadi panduan bagi para stakeholder di desa dalam menyusun rencana pembangunan desa yang harmonis dengan alam. Secara khusus, SDGs Desa telah mengarusutamakan perempuan dan kelompok marjinal lainnya sebagai penerima manfaat besar dalam pembangunan. “Penyusunan rencana kelola ini harus memuat perspektif GESI, agar implementasinya melahirkan manfaat bagi semua pihak,” imbuh spesialis GIS Gemawan ini. Karena itu, terangnya lagi, Gemawan selalu mendorong pelibatan perempuan di setiap proses kegiatan yang dilakukan, baik pada tahapan perencanaan maupun saat implementasi. Heru berharap upaya ini melahirkan aksi kolektif dan memberikan manfaat yang menyentuh semua pihak, khususnya perempuan, kelompok marjinal, dan kelompok rentan lainnya.
Senada dengan itu, Deputi Direktur Gemawan, Ridho Faizinda memaparkan bahwa keadilan gender harus dipahami sebagai upaya memberikan akses yang setara bagi perempuan dan laki laki dalam akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Menurut Ridho, panggilan sehari-harinya, selain akses dan distribusi yang berkeadilan gender, pengelolaan sumberdaya alam juga harus berkelanjutan. “Sumberdaya alam merupakan tema hari ini, besok, dan yang akan datang. Buruk atau baiknya pengelolaan sumberdaya alam mempengaruhi keberlangsungan hidup dan sumber penghidupan yang kita nikmati,” jelasnya lagi di hadapan peserta yang berasal dari perwakilan 10 desa, kelompok perempuan, dan perwakilan mitra Gemawan lainnya.
Baca juga: Aktivis Dukung Partisipasi Perempuan dalam Pengelolaan SDA
Ridho menjelaskan, saat ini keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan komitmen seluruh negara di dunia pasca kesepakatan COP-26 yang dilaksanakan akhir tahun 2021 lalu. “Indonesia merupakan salah satu negara yang berkomitmen menekan laju pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celcius. Efek gas rumah kaca dapat ditekan melalui aktivitas pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan melibatkan multi stakeholders,” jelasnya.
COP-26 atau Conference of the Parties ke-26 merupakan forum tingkat tinggi yang membicarakan solusi penanggulangan isu perubahan iklim global. Pada COP-26 November 2021 lalu di Glasgow, Skotlandia, diikuti 197 negara dunia yang menghasilkan komitmen adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Mengutip laman Detik, beberapa kesepakatan pada COP-26 adalah, pertama, melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca; kedua, mendorong peningkatan produksi energi terbarukan; ketiga, mempertahankan suhu global di bawah 2 derajat Celcius, atau idealnya maksimal 1,5 derajat Celcius; dan keempat, komitmen menyumbangkan miliaran dolar untuk dampak perubahan iklim yang dihadapi negara-negara miskin.
Ridho juga menjelaskan kembali arti penting perspektif GESI dalam implementasi komitmen COP-26. “Fokus aktivitas implementasi COP-26 berada di wilayah atau negara rentan terdampak perubahan iklim. Lebih khusus lagi, kelompok rentan yang bermukim di sana menjadi perhatian besar, sehingga perlu perspektif GESI,” imbuhnya.
Ridho mengungkapkan, beberapa riset terbaru telah menyebutkan perempuan sebagai kelompok yang paling terdampak perubahan iklim, sehingga penting menggunakan perspektif GESI sebagai acuan bagi para pemangku kepentingan. “Meskipun demikian,” tambah Ridho, “Perspektif GESI jangan dipahami hanya pada konteks perempuan, karena tidak hanya perempuan yang mengalami penindasan dan tekanan,” jelasnya.
Sinergi dan Kolaborasi
Upaya sinergitas para pihak ini didukung oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Kayong Utara, Hendarto. Pada pelaksanaan workshop ia menjelaskan KPH memiliki tugas untuk menjaga dan memastikan hutan dapat bermanfaat bagi masyarakat. “Dengan keterbatasan sumber daya KPH, bekerjasama dengan berbagai pihak menjadi langkah paling efektif dalam upaya perlindungan dan pemanfaatan hutan yang berkelanjutan,” jelasnya.
Menurutnya, pemanfaatan hutan secara bijak juga harus menjadi kesadaran bersama. “Pemanfaatan yang berlebihan akan merusak ekosistem yang ada di hutan, karena hutan merupakan sumber kehidupan bagi habitat lainnya juga,” imbuhnya. (MY)