PERKEMBANGAN demokrasi di Indonesia akhir-akhir ini memberikan ruang lebar bagi perempuan untuk berpartisipasi terutama dalam urusan politik. Sejumlah regulasi secara jelas telah mulai mengikat partisipasi politik perempuan.
“Perubahan itu tampak jelas seperti revisi UU Penyelenggara Pemilu, UU Partai Politik dan UU Pemilu yang menunjukkan adanya kemajuan dengan dimasukkannya beberapa pasal yang lebih mengikat dalam hal partisipasi politik perempuan,” kata Muslimah SH, Koordinator Program Perempuan Lembaga Gemawan kepada Equator di sekretariatnya, Rabu (6/8).
Sebagai perbandingan, lanjut dia, dalam pelaksanaan Pemilu 2004 lalu, partai politik belum secara serius memfokuskan usahanya untuk memberdayakan perempuan atau meningkatkan partisipasi di bidang politik. “Perdebatan mengenai penerapan kuota untuk perempuan yang berlangsung saat pembahasan UU Pemilu 2003 hanya menghasilkan kuota sukarela 30 persen perempuan dalam daftar calon partai politik,” katanya.
Ha itu, kata dia tidak membawa perubahan berarti dalam usaha meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga legislatif. “Kecuali untuk keanggotaan DPD yang jumlahnya lebih tinggi dibandingkan DPR atau DPRD,” ujar Muslimah.
Hasil pemilu 2009 menghasilkan 27 orang perempuan yang duduk di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau 21,1 persen. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tercatat 61 orang perempuan atau 10,9 persen dari seluruh anggota DPR dan untuk DPRD ada 197 perempuan dari total seluruh anggota DPRD di Indonesia.
Perubahan itu mulai dirasakan ketika UU Nomor 2 tahun 2007 tentang Partai Politik menetapkan bahwa pendirian dan pembentukan partai politik menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan. Juga dalam struktur partai politik di tingkat nasional. “Namun struktur partai pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota didirikan hanya dengan kalimat ‘mempertimbangkan’ keterwakilan 30 persen perempuan,” ungkap wanita berjilbab ini.
Hal ini lanjut dia, dikarenakan partisipasi atau ketersediaan perempuan pada tingkatan-tingkatan tersebut sangat rendah. “Bagaimanapun, UU ini mendorong partai politik untuk merekrut lebih banyak perempuan dan memasukkan mereka ke dalam daftar calon untuk pemilu nasional dan daerah,” tukasnya.
Ia menambahkan, UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD menyatakan partai politik dapat menjadi peserta pemilu hanya jika partai tersebut menyertakan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. Sedangkan UU Nomor 22 Tahun 2007 yang mengatur tentang KPU dan KPUD menyatakan komposisi keanggotaan KPU nasional dan daerah harus mempertimbangkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
“Walaupun keanggotaan KPU di tingkat nasional menunjukkan masa depan yang lebih baik bagi keterwakilan perempuan pada badan penyelenggara pemilu, namun sama halnya dengan tingkat keterwakilan perempuan di partai politik di daerah, kondisi ini dapat memengaruhi tingkat keterwakilan perempuan pada badan-badan penyelenggara pemilu,” beber Muslimah.
Aktivis partai politik perempuan, menurut Muslimah semakin meningkat jumlahnya dan mereka menginginkan kesempatan yang lebih besar dalam proses politik dan kelembagaan di negeri ini. “Mayoritas aktivis politik perempuan ini salah satu penyaluran bagi partisipasi politik. Saat ini akan lebih baik lagi jika dalam pemilu 2009 ini perempuan mendapatkan nomor jadi,” pungkasnya. (her)
Sumber: www.equator-news.com, Kamis, 07 Agustus 2008, 11:48:00