Pontianak (Gemawannews)- Perluasan kebun sawit dengan alasan pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja serta pengentasan kemiskinan tentu saja memberikan dampak negative terhadap keberlanjutan sosial dan lingkungan di Indonesia karena tidak direncanakan dan diawasi dengan baik oleh pemerintah.
Dampak sosial yang muncul dan paling signifikan akibat perluasan kebun sawit tadi adalah konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakat adat/lokal, petani dan buruh perkebunan sawit. Tak jarang konflik itu berujung pada kekerasan yang berakibat pada kekerasan, kriminalisasi bahkan kematian. Serta dampak negatif ekspansi perkebunan sawit terhadap keberlanjutan lingkungan hilangnya keanekaragamanhayati salah satunya habitat orang utan.
Kejadian baru-baru ini di Kampung Parit Wadongkak, Desa Wajok Hilir, Kecamatan Siantan, Kabupaten Pontianak, dimana seekor orangutan masuk ke pemukiman warga menunjukkan bahwa keterancaman dari sisi habitat orangutan sudah semakin kuat, orangutan semakin terdesak. Apa lagi Perkampungan Wajok hanya berjarak sekitar 13 kilometer dari Pontianak.
“Dikarenakan ekspansi perkebunan sawit, hutan di Kabupaten Pontianak makin menipis, sudah tentu habitat mereka terganggu sehingga orangutan keluar untuk bertahan hidup,” terang Tomo Divisi Advokasi dan Pengorganisasian Lembaga Gemawan.
Ini merupakan segelintir kasus yang terangkat seharusnya membuka mata pemangku kebijakan, bukan dengan mengobral lahan semaunya untuk pemodal, sesal Tomo.
Dia menuturkan, orangutan terancam kehilangan habitat akibat perluasan perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri, dan pembalakan liar hutan. Masuknya orangutan ke permukiman pun diharapkan semakin meningkatkan kesadaran akan ancaman makin terancamnya jumlah populasi orangutan.
“Ancaman yang paling tinggi terhadap orangutan saat ini adalah konversi hutan, perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi nonhutan yakni perkebunan sawit,” kata Tomo.
Bahkan fakta di lapangan menunjukan bahwa pembukaan areal perkebunan sawit juga dilakukan di kawasan hutan yang menjadi habitat serta masih terdapat populasi Orangutan. Konflik antara perkebunan sawit dan Orangutan terjadi. Berbagai kasus kejahatan Orangutan yang terjadi di areal perkebunan sawit selama ini belum menyentuh kepada pelaku kejahatan baik kepada pelaku maupun kepada pemilik konsesi perkebunan sawit.
Dia menambahkan, berbagai regulasi yang ada belum mampu menekan semua itu, apa lagi lemahnya proses hukum membuat semua terus bertanya dan tetap bersabar menunggu pihak yang berwenang betul-betul menjadi “Penjaga Gawang” dalam penegakan hukum.
Sementara itu, Arif Munandar dari Swandiri Institute (SI) mengatakan, Selain hutan dan spesies lain, masyarakat juga menerima dampak langsung kerusakan hutan dan parahnya lagi masyarakat di kambing hitamkan menjadi penyebab hancurnya habitat orang utan.
“Koorporasi lahanlah pelaku utama akibat dari kebijakan pemerintah yang melakukan konversi hutan alam untuk kepentingan industri ekstraktif, mereka inilah yang harus bertanggung jawab ,” tegas Arif.
Ia menambahkan, bahwa UU No 5 tahun 1990 hanya fokus pada konservasi tapi undang-undang ini dari sisi gerakan sosial juga bermasalah terkait akses masyarakat terhadap pengelolaan kawasan hutan. “Penting juga menambahkan UUPA serta tentang skema PHBM, bahwa masyarakat lebih baik mengelola kawasan hutan dibandingkan dengan koorporasi yang cenderung merusak kawasan hutan,” sarannya.
Kalau melihat dari UU LH bahwa kejahatan yang dilakukan berdampak pada kerusakan lingkungan yang masif, secara hukum perusahaan yang melakukan konversi hutan alam yang menyebabkan hilangnya habitat orang utan dan akses kelola masyarakat harus bertanggung jawab secara penuh, kata Arif.
Solusinya, moratorium konversi kawasan hutan alam dan meninjau ulang izin-izin yang telah ada yang berdampak pada kerusakan lingkungan secara masif, serta melakukan pelanggaran HAM terhadap masyarakat yang hidup dan berpenghidupan di dalam dan sekitar kawasan hutan, pungkasnya. (Joy)