Meski Banjir

Banjir besar di Kalimantan Barat menjadi menarik untuk dikaji karena selalu terjadi justru di wilayah hulu Sungai Kapuas, sementara di provinsi lain pada umumnya terjadi di sebelah hilir sungai. Fenomena banjir besar ini tentu menarik untuk dikaji secara serius oleh para ahli hidrologi atau kehutanan. Lima belas tahun terakhir ini, hampir empat tahun sekali terjadi banjir besar yang meliputi Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Sanggau dalam waktu yang bersamaan. Pada November 2021, misalnya, banjir di kawasan hulu Kapuas itu terendam setinggi leher hingga 3 pekan. Peristiwa banjir seperti itu tentu cukup membuat masyarakat khawatir, karena memang sangat banyak keluarga yang berumah di atas rakit (batang kayu) di atas air. Masyarakat lokal menyebutnya dengan lanting. Ada pula berumah dengan jarak yang tidak jauh dari Sungai Kapuas, karena memang kehidupan masyarakat tidak bisa dijauhkan dari sungai terpanjang di Indonesia.

Pendahuluan

Kalimantan Barat pernah tercatat memiliki hutan hujan tropis yang luas dengan beragam jenis flora dan fauna yang menjadikannya sebagai ‘Mozaik Khatulistiwa’. Lazimnya manusia pasca era industrialisasi, keberlimpahan hasil hutan itu menarik mata banyak orang untuk mulai menjamahnya. Sebenarnya eksploitasi hasil hutan sudah dilakukan sejak, bahkan, era kerajaan Nusantara, namun skala itu semakin meningkat drastis ketika kapal-kapal Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) memasuki perairan Nusantara. 

VOC adalah kongsi dagang Belanda yang dibuat untuk memonopoli aktivitas perdagangan di lintas Asia. Praktik ekonomi mereka tentu eksploitatif, tanpa benang kearifan lokal. Hasil jarahan hutan Nusantara itu digunakan VOC untuk bangunan, pembuatan kapal, juga bahan bakar industri. Bahkan ketika Pemerintah Belanda menggantikan VOC yang bangkrut, pola itu tak juga banyak berubah, meskipun banyak kritik yang disampaikan pemerhati lingkungan Belanda (Kumparan, 2017).

Baca jugaHermawansyah: Moderasi Kebudayaan: Menyambung Rantai Sejarah, Membangun Peradaban Emas 2045 dari Kalimantan Barat

Baca jugaRefleksi Gerakan Masyarakat Sipil di Kubu Raya: Hermawansyah: “Open-Door Policy” Menciptakan Ekosistem Kerja Kolaboratif

Karakter ini kembali dipraktekkan ketika Orde Baru berkuasa, ketika izin pengelolaan hutan diserahkan pada kroni-kroni mereka. Berdirilah puluhan industri plywood dan sawn timber. Jadilah hutan sebagai penyumbang devisa besar bagi Pemerintah Indonesia. Di masa ini, pembangunan ditakar dengan tarikan investasi dan kepulan asap industri. Maka apapun bisa “ditukar” agar target pembangunan Orba terealisasi, meskipun hutan harus dipangkas habis.

Posisi hari ini tentu sulit dikatakan dengan rangkaian kalimat indah dan santun. Tak terlihat lagi kepulan asap sebagai penanda industri plywood sedang beroperasi. Tak tercium lagi harumnya aroma meranti, keruing, dan kapur sebagai penanda bahwa industri kayu gergajian sedang membelah batang kayu bulatnya. Dua industri pengolahan kayu hulu itu hanya meninggalkan sebuah cerita masa lalu, di tengah tapak kerusakan hutan di sana-sini dan tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar yang tak pula banyak berubah. 

Sungai Kapuas yang membelah Kalimantan Barat dari hulu sampai ke hilir sepanjang lebih 500 kilometer, ternyata juga mulai secara masif mengalami pendangkalan karena erosi yang terjadi dan menghasilkan sedimentasi yang mulai dirasakan sebagai sesuatu persoalan serius. Sekarang ‘Zamrud Khatulistiwa’ mulai menangis merenungi nasibnya dan memprotes pada angin yang berhembus melalui sebuah pertanyaan sederhana, “Mengapa kami sekarang menjadi begini? Apa salah kami?” 

Kicauan burung enggang semakin sulit terdengar. Teriakan orangutan dan canda bekantan menjadi sesuatu yang sulit untuk ditemukan. Buaya yang sedang berjemur santai di atas bongkahan batu di tepi sungai pun sudah tidak lagi ditemukan wujudnya. Batang kayu ulin yang dijuluki sebagai kayu besi yang merupakan primadona kayu Kalimantan, serta kayu dan buah tengkawang sudah sulit dikenal oleh generasi anak-anak kita. Semua sirna dan semua memerlukan waktu beratus tahun untuk dapat muncul di atas permukaan tanah dengan sempurna. Saling menyalahkan bukan pada tempatnya, menyesali keadaan adalah perilaku yang fatalistik dan jauh dari sifat ksatria.

Pembahasan

Awal Reformasi, kami bersama dengan kelompok masyarakat sipil (civil society organization/ CSO) di Kalimantan Barat tak henti untuk terus menyuarakan ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya alam berupa hutan alam tropika basah. Era Reformasi, yang kami pikir akan menghasilkan suatu struktur masyarakat yang lebih mandiri dan kuat dengan bersandar pada ketaatan regulasi, ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang dipikirkan sebelumnya. Justru tahun 2000-an praktik pembalakan hutan yang tidak terkontrol semakin merajalela, baik melalui jalur jalan umum darat dengan alat angkut truk, jalur sungai dengan rakit atau pontoon, maupun jalur perbatasan negara yang langsung melewati Pos Lintas Batas (PLB) Negara ke negara jiran, seolah bebas tanpa hambatan yang berarti. Saat itulah praktik illegal logging mencapai puncaknya. Semua sudah barang tentu selalu berdalih untuk kesejahteraan masyarakat yang selama ini hanya ‘sebagai penonton’ saja.

Kebijakan pemerintah saat itu yang terkesan ‘populis’, berupa ijin Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) 100 hektar, ternyata justru menjadi bumerang dan pemicu eskalasi konflik di lapangan. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diacak-acak, dibagi menjadi luas 100 hektaran, disebar dalam format beratus izin, yang di kemudian hari kami sangat paham bahwa tangan pemodal besar bermain di belakang semua perizinan itu. Di satu sisi, kepala daerah dengan mudahnya terus menerbitkan izin 100 hektar-an, lagi-lagi dengan dalih demi menyejahterakan masyarakatnya. Perubahan penguasa di Indonesia memang berdampak pada regulasi yang ikut bertransformasi, termasuk di sektor kehutanan. Untuk lebih jelas, lihat kajian Indonesia Corruption Watch dan Greenomics Indonesia berjudul Evolusi Mekanisme Perizinan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman.

Baca jugaDua Langkah Strategis Menjaga Mangrove: Collaborative Efforts and Collective Action!

Baca jugaKolaborasi Multi Pihak Aksi Jaga Bumi Tanam Mangrove di Hari Lingkungan Hidup Internasional 2022

Hutan yang sedang meradang dan berusaha bertahan hidup untuk kembali seperti sediakala, mengalami gangguan dan tekanan yang sangat keras. Belum sempat diameter pohon itu bertambah besar, aktivitas tebang ulang (re-logging) secara masif terjadi dalam luasan yang sangat tidak terkendali. Dalih yang terungkap berbagai macam, meliputi: “Kami telah mendapat izin HPHH 100 hektar dari Bupati,” “Ini wilayah adat kami,” “Mengapa mereka boleh, kami dilarang?” Bahkan tanpa beralaskan izin apapun, praktik-praktik ini banyak dilakukan di berbagai tempat. 

Illegal logging dan destruktif logging terjadi di pelbagai tempat, menghiasi lembaran putih baru era awal Reformasi. Para perusahaan industri plywood dan sawn timber mulanya merasa terpaksa karena diharuskan membeli atau menampung kayu ilegal tersebut, namun pada akhirnya mereka juga merasakan benefit karena harga relatif lebih murah sekaligus untuk mengisi defisit kayu bulat yang terus dirasakan beberapa tahun sebelumnya. Hutan alam tropika basah Kalimantan semakin mengalami kehancuran di tengah euforia Reformasi saat itu.

Hutan sebagai penyangga ekosistem, pengatur tata air, tempat hidup flora dan fauna, serta penyeimbang alam mengalami disfungsi yang sangat menyakitkan. Karunia Tuhan yang tidak dikelola dengan bijak pada akhirnya akan menghasilkan malapetaka di mana-mana. Dua ‘kutukan’ itu secara nyata menjadi semakin sering dirasakan oleh masyarakat Kalimantan Barat, yaitu: kebakaran hutan dan bencana asap bila musim kemarau, serta banjir besar (terjadi satu waktu pada beberapa wilayah secara bersamaan) – bahkan dialami oleh daerah yang selama ini tidak pernah mengalami bencana banjir.

Bukan Fenomena Banjir

Banjir besar di Kalimantan Barat menjadi menarik untuk dikaji karena selalu terjadi justru di wilayah hulu Sungai Kapuas, sementara di provinsi lain pada umumnya terjadi di sebelah hilir sungai. Fenomena banjir besar ini tentu menarik untuk dikaji secara serius oleh para ahli hidrologi atau kehutanan. Lima belas tahun terakhir ini, hampir empat tahun sekali terjadi banjir besar yang meliputi Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Sanggau dalam waktu yang bersamaan. Pada November 2021, misalnya, banjir di kawasan hulu Kapuas itu terendam setinggi leher hingga 3 pekan. Peristiwa banjir seperti itu tentu cukup membuat masyarakat khawatir, karena memang sangat banyak keluarga yang berumah di atas rakit (batang kayu) di atas air. Masyarakat lokal menyebutnya dengan lanting. Ada pula berumah dengan jarak yang tidak jauh dari Sungai Kapuas, karena memang kehidupan masyarakat tidak bisa dijauhkan dari sungai terpanjang di Indonesia.

Di tengah kekhawatiran warga karena peristiwa bencana banjir besar yang terjadi, dari guratan wajah dan gestur tubuhnya, mereka tampaknya tetap tenang walaupun dalam kewaspadaan yang sangat tinggi tentunya. Karena gerakan pasang atau surutnya permukaan air Sungai Kapuas, tentu mengharuskannya untuk menyesuaikan tali ikatan rumahnya yang terapung di atas permukaan air. Suatu tindakan dan perilaku jibaku yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam mempertahankan dan menyesuaikan dinamika gerakan air sungai deras yang terjadi. Kehidupan survival mereka patut diacungkan dua jempol, sekaligus mendapatkan ‘piagam penghargaan’ sebagai contoh masyarakat tangguh yang mampu beradaptasi dengan ancaman bencana yang berulang terjadi.

Beberapa temuan menarik yang patut dicermati secara obyektif dari masyarakat yang bertempat tinggal di atas air adalah:

(1) Di dalam rumah atau lantingnya ternyata sudah disiapkan beberapa buah drum kosong bekas oli atau avtur dan beberapa lembar papan. Tujuannya untuk tempat beristirahat tidur saat malam untuk semua keluarga, termasuk menyelamatkan ternak peliharaan dan barang berharga lainnya;

(2) Kegiatan ekonomi berupa menoreh getah karet tetap dapat dikerjakan dengan cara menuju ladang menggunakan sampan kecil sembari menoreh batang pohon karet pada sebelah atasnya (sekira 50 sentimeter di atas permukaan air banjir tersebut). Mereka biasa bekerja di atas lanting atau sampan kecil;

(3) Sedangkan untuk makan dalam beberapa hari itu, mereka memanfaatkan bantuan dari pemerintah setempat dan para dermawan berupa beras dan mie instan, sambil sesekali memeriksa jala kecil yang diikat kuat di samping lantingnya, barangkali ada ikan atau udang yang sedang bernasib sial masuk dalam perangkap jalanya. Semua yang dikerjakan oleh masyarakat berjalan sangat alamiah, sebagai bagian dari penyesuaian dirinya terhadap banjir yang sedang dialami.

Baca juga: Strategi Percepatan Pencapaian SDGs 2030

Baca juga: 18 Poin SDGs Desa dan Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

Berpaling Ke Lanting Ketika Banjir

Rasa keingintahuan kami membawa langkah kaki mendatangi beberapa keluarga yang berumah di atas lanting dan juga beberapa yang berumah di darat, tidak jauh dari bibir sungai. Sambil menghisap beberapa batang rokok dan makanan kering yang memang kami siapkan untuk menemani dan mencairkan suasana, berbagai temuan dalam diskusi di lapangan ternyata  menarik untuk dibahas sebagai bagian dari menggali upaya membangun masyarakat yang ‘tangguh dalam menghadapi bencana’, serta kebijakan yang sangat mendesak untuk dirumuskan agar masyarakat semakin sadar bahwa mitigasi dan kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman bencana semakin menjadi sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tentu dengan tetap mempertahankan kearifan lokal.

Beberapa temuan dimaksud adalah: (1) Dalam aspek kehidupan ekonomi, walaupun masyarakat sempat terganggu akibat banjir yang terjadi, tapi mereka tetap dapat bersikap bijaksana terhadap kondisi alam dengan tetap menoreh getah karet menggunakan sampan kecil menuju kebunnya; (2) Masyarakat tetap hidup seperti biasa dengan mengandalkan kebutuhan makan dari sumbangan para pihak; (3) Ketika membahas tentang kemungkinan lokasi rumah yang agak jauh dari sungai dengan topografi yang lebih tinggi, ternyata kami mendapat penjelasan yang sangat sederhana dan rasional, yang awalnya berada di luar alam pikir kami, yaitu; 

“Untuk mencuci pakaian dan mandi kami sudah sangat biasa menggunakan air sungai.” 

“Air sungai terasa segar dan sehat serta tidak perlu membayar PDAM.”         

“Banjir besar seperti ini terjadi tidak setiap hari, dan paling hanya satu minggu saja.”

“Untuk kebutuhan makan selama banjir terjadi, Alhamdulillah banyak orang yang membantu kami.”

“Setiap terjadi bencana banjir, rumah ini selalu didatangi para pejabat dan Pak Bupati,” sambil ia menunjukkan foto yang terpajang pada dinding lanting kayunya.

“Di sinilah tembuni semua anak kami dikuburkan.” 

“Biarlah kami tinggal di sini saja menemani tembuni anak kami, kami tidak akan pernah pindah dari sini.”

Bencana banjir yang disebabkan karena berubahnya ekosistem alam serta hilangnya fungsi dan peran hutan sebagai penyangga dan pengatur tata air karena eksploitasi yang berlebihan pada masa lalu, ternyata dimaknai berbeda oleh para pihak yang memandang bencana banjir itu, sesuai dengan perspektifnya masing-masing.

Bagi kita yang berada di tengah sengkarut perkotaan dan hanya mengetahui berita dari televisi atau media sosial, maka kekalutan dan ketakutan yang terbayang. Padahal bagi masyarakat yang selalu berulang mengalami bencana banjir, ternyata mereka merespon banjir dengan suasana tenang dan biasa saja, walaupun tetap kewaspadaan menjadi hal yang sangat diperhatikannya. Kenyataan lapangan memang adalah ‘guru yang nyata’ dari berbagai peristiwa. Lapangan dapat menyelaraskan antara asumsi yang terbangun di kepala kita dengan senyatanya yang kita dapat dari lapangan.

Baca jugaHubungan Internasional Untan Gelar Seminar Nasional Perubahan Iklim: Respon Hasil G20

Baca jugaMengawal Impelementasi Reforma Agraria: Resolusi Konflik Berbasis Komunitas, Studi di Mempawah

Kesimpulan

Ketika keseimbangan alam mulai terganggu, maka alam akan berusaha untuk mencari keseimbangan barunya. Gejolak alam dalam proses menemukan keseimbangan baru itu selalu berwujud munculnya bencana alam itu sendiri, yang semakin meluas, masif, waktu yang lama dan bukan tidak mungkin memangsa korban manusia. Keinginan pemerintah untuk membangun sebuah struktur masyarakat yang ‘tangguh menghadapi bencana’ janganlah merasa sudah tuntas ketika mampu menyelesaikan peraturan dan menyosialisasikan kepada masyarakat belaka. Tetapi evaluasi mendalam dilengkapi dengan kemampuan mendengar, melihat, dan merasakan setiap denyut nadi masyarakat ketika berhadapan dengan bencana, harus mulai menjadi suatu hal yang biasa.

Tempat hidup yang menurut kita nyaman, ternyata berbeda dengan kriteria kenyamanan masyarakat di perhuluan. Ada faktor kemudahan dengan sumber ekonomi, kedekatan dengan kebiasaan hidup tradisionalnya, faktor kesejarahan dan faktor budaya, serta ikatan batin yang sulit dirumuskan dengan kata-kata. Karena itu, memahami banyak hal tentang persepsi dan konsepsi hidup masyarakat perhuluan sangat penting untuk mulai kita dalami.   

 

Biodata

Meski BanjirMawardi., SE; adalah alumni Fakultas Ekonomi, Universitas Panca Bakti (UPB) – Pontianak. Saat ini aktif sebagai Kepala Unit Tanggap Darurat Lembaga GEMAWAN, domisili di Pontianak.

Meski Banjir, Biarkan Aku Di Sini: Menjaga Tembuni Anakku
Tag pada: